About Love

5.6K 409 1
                                    


Cinta mampu mengubah segalanya. Dari yang buruk menjadi baik, dari yang baik menjadi buruk. Cinta itu fleksibel, ia mau dibawa ke mana saja oleh pemiliknya. Ia bisa dijadikan sebagai obat, juga bisa sebagai racun. Semua itu tergantung.

Lelaki yang badannya mulai tegap itu duduk di tepi ranjang, setelah mengganti bajunya dengan pakaian tidur. Dia melirik ke sekeliling, hanya ia yang masih terjaga tengah malam begini. Ia membuka loker penyimpanan, ditarik selembar foto. Lalu didekapnya, dengan penuh kerinduan. Tentu saja, lembar foto bersama keluarga tercinta.

Ia lepaskan lembar foto itu, mengganti dengan lembar foto berukuran 3 R itu. Ia tersenyum simpul, lalu setelahnya berubah mmenjadi senyum miris. Abid, Rayyan, dan Mira. Mereka tampak bahagia di dalam foto itu. Mira memegang buket bunga, yang ternyata itu diberikan pada Rayyan saat malam kelulusan.

“Sial! Ngapa sih selalu sakit,” katanya sambil memegang dada. Hampir 4 tahun di tempa, selalu digenjot di Akademi Militer, tak menjadikannya lupa pada Mira. Ia malah semakin menggebu, dikawani rindu setiap malam.

Hari rabu, Ia bercermin pada kamera ponsel. Membenarkan tatanan rambut cepaknya, lalu memakai topi kebanggaannya. Ia akan menemui Sang Pujaan Hati hari ini. Bukan tak jarang, dia selalu mengajak Mira untuk bertemu saat ia pesiar. Namun Mira selalu menolak dengan alasan sibuk. Sementara, dia terlihat semangat datang ke pelantikan Rayyan. Inilah kenyataan yang membuat Abid sakit. Kenyataan bahwa Mira mencintai sahabatnya, Rayyan.

Ia menemui Mira di Artos Mall. “Mir, duduk! Aku pesen ini, semoga suka,” kata Abid sambil menarik kursi untuk Mira.

Mira langsung to the point, “Ngapa, Bid? Apa yang mau diomongin?” Mira memang tak memberi embel-embel di depan nama Abid. Baginya, hanya orang spesial yang berhak disebut ‘Bang’ seperti ia memanggil Rayyan.

“Kamu bisa datang ke Makrab? Malam minggu,” Mira langsung menggeleng, “Aduh nggak bisa. Malem minggu temenku ulang tahun.” Abid menghela napasnya. Ia selalu saja mendapat penolakan dari Mira.

“Hm oke, tapi kamu bisa, kan datang di Praspa tiga bulan lagi?”

“Nggak janji, ya. Aku sibuk kuliah, Bid. Banyak banget yang harus aku lakuin.”

“Nggak papa kok, Mir. Bilang aja kalau kamu nggak mau!” kata Abid dingin. Mira mengerjapkan matamya, kaget dengan sikap Abid. Selalunya, Abid tak pernah bersikap dingin pada Mira.

“Mir, kayaknya kamu harus tau ini semua. Kamu nyadar nggak sih kenapa aku ngajak kamu buaat datang ke semua acaraku?”

“Ya karena kita sahabat, kan? Kalau mau ajak Bang Rayyan nggak mungkin, dia di Lampung.” Abid semakin geram dengan gadis yang berhasil memikat hatinya itu.

“Aku tau kamu itu mencintai Rayyan.”

“Iya, emang aku cinta sama dia.” Abid mengepalkan jemarinya. Rasanya hancur.

“Tapi kamu perlu tau kenyataan ini. Aku mencintaimu, Mir. Aku kejar karir di Akmil buat kamu. Nggak ada kah sedikit cinta untukku?” Mira tampak tenang. Dia memang tahu kebenaran ini tanpa perlu dijelaskan lagi.

“Maaf, kita sebatas sahabat. Perihal hati, nggak bisa dipaksa. Aku mencintai Bang Rayyan. Tolong lupakan aku, Bid. Kamu berhak mendapatkan wanita yang lebih dari aku. Kamu seorang perwira nantinya, akan banyak wanita yang tergila-gila padamu nanti.”

“Terima kasih, Mir. Terima kasih untuk rasa sakit yang kau beri. Aku tak bisa memaksa, siapa aku ini? Dan kamu perlu tau, Mir. Aku nggak peduli ada wanita yang lebih baik dari kamu, tapi hatiku tetap memilihmu. Kita berakhir,” ucap Abid meninggalkan Mira.
Jika Abid terluka, lain dengan Mira. Ia tak lagi ditempeli rasa gundah. Ia sudah lega mengatakan kebenaran pada Abid. Ya, kebenaran bahwa tak ada cinta sedikit pun untuk Abid.

Abid mengendarai motornya kencang sekali. Meluapkan amarahnya. Lagi lagi ia patah, ia terluka untuk kesekian kalinya. Semua tentang cinta. Ia pernah hancur, kehilangan dua orang yang ia cintai. Lalu ia rapuh, ketika cinta seorang kakak tak didapat olehnya.

Upacara Prasetya Perwira tampak biasa bagi Abid. Semua harapnya telah sirna terbawa luka. Seharusnya ia senang sudah berada pada fase ini. Tapi, luka terlalu egois. Ia membuat seorang Abid tak bergairah untuk sekadar menikmati hidup.

“Segala sesuatu yang pelik, akan berakhir nantinya. “ Abid menoleh ke sumber suara. Seseorang menggunakan kemeja biru. Ia mendekap sahabatnya, Rayyan. Ini kali kedua dia menangis di bahu Rayyan. Saat dulu ia rasa hidupnya benar-benar hancur, Rayyan menjadi tiang untuk bersandar. Sama seperti kali ini, ia kembali menjadi tiang untuk seorang Abid yang hatinya hancur.

“Selamat, Bro! Letda Abidakarsa Abdullah!” Abid menyalami Om Rudi, lalu memeluk Mama Ani. Di tengah leburnya harapan, ia baru menyadari ada keluarga yang selalu mendukungnya. Dialah keluarga Rayyan.

“Bid, hidup itu emang nggak selalu mulus. Gue emang sedikit lebih beruntung dari Lo. Gue masih bisa merasakan cinta dari Orang Tua. Tapi bukan berarti Gue nggak pernah terluka. Semua itu sudah ada jalannya masing-masing.” Mereka duduk di teras Rumah Rayyan. Setelah selesai, Abid memilih pulang ke rumah Rayyan.

“Kunci bahagia itu bersyukur. Lo udah bersyukur belum? Lo masih dikasih kehidupan sama Allah, Lo dikasih kesempatan buat meraih mimpi Lo di Akmil,” lanjut Rayyan setelah menyeruput kopi.

Abid diam sejenak, lalu berucap, “Iya. Gue kurang bersyukur. Sekarang, rasanya Gue takut mau ngejalanin kehidupan. Cuma takut luka Gue nambah parah.”

“Lo harus tau, Bid. Cara menaklukkan ketakutanmu itu hanya dengan menghadapinya. Kamu harus menghadapinya! Lo patah hati karena cewek?”

“Ah, bukan. Gue Cuma sedih aja di hari kebanggaan ini, Abah dan Umi nggak bisa lihat. Mbak Retno pun tak peduli,” jawab Abid bohong. Sebenarnya benar tebakan Rayyan. Ia patah hati saat ini.

“Bid, Gue di Lampung kehilangan jejak Risel. Waktu itu Gue pernah mampir ke desanya, tapi nggak ada. Kata Mama dia kuliah di luar kota. Doakan aku, Bid biar bisa ketemu sama dia lagi.” Pilu Abid berganti tawa. Sahabatnya itu sangat mencintai gadis bernama Risel.

“Aamiin, semoga Lo ketemu. Terus kalo udah ketemu, cepet ajak nikah sebelum keduluan!”

“Aih, jomblo akut kayak Lo sok nasihatin hahaha.” Abid menjitak kepala Rayyan. “Gue jomblo buat istri Gue kelak. Mau apa Lo?”

‘Gue jomblo karena Gue cinta sama Mira, Yan. Tapi kebahagiaan nggak berpihak ke Gue. Lo beruntung banget!” batinnya.

ABIDAKARSA-Sebuah Jalan.(Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang