Aku menatap mereka dengan senyum terukir di bibirku, kuperhatikan mereka yang berdiri di depanku satu per satu, mereka bernyanyi sembari bertepuk tangan untukku, salah satu dari mereka membawakan kue untukku. Perhatianku seketika terfokus pada lilin berbentuk 2 1 itu, aku memikirkan apa yang akan terjadi pada usiaku yang baru ini, kejadian macam apalagi yang menanti di depanku, mampukah aku menjalani hari-hari ini dengan beban yang semakin berat di pundakku? Yah, hidupku tidak seindah yang orang kira, tetapi entah kenapa kali ini aku lebih khawatir.
"Amo...Amo...? AMO!" pikiranku seketika pecah ketika mendengar Davin memanggil namaku.
"Hah?! Oh, astaga... sorry, sorry... Kenapa?" balasku padanya dengan kaget. Ia hanya melirik ke arah lilin tersebut sambil menaikkan alisnya, mengisyaratkanku untuk meniup lilin tersebut.
Teman-temanku pun sudah menungguku untuk meniup lilin itu, tampaknya aku terlalu lama larut dalam pikiranku tadi, hingga melewatkan ketika mereka bernyanyi tiup lilin. Akupun menutup mataku dan memanjatkan harapan-harapanku, kemudian ketika ku membuka mata, aku menatap lilin itu sekali lagi, larut pada kobaran api kecilnya, akhirnya aku meniup lilin ulang tahunku. Apakah aku senang? Tidak. Anehnya aku tak merasa senang, padahal ulang tahun adalah momen yang selalu kunanti-nanti. Bibirku tersenyum sembari mereka berteriak girang dan memelukku, tetapi aku tak bahagia, apakah mereka bahagia dengan ulang tahunku? Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di ulang tahunku kali ini, aku... entah mengapa merasa hampa dan merasa ada yang tidak benar, tetapi aku menepisnya, sedang lelah pikirku. Mungkin aku sedang lelah.Aku duduk dekat kue ulang tahunku, sembari memotong-motong kue untuk teman-temanku, pikiranku tidak terpusat pada ulang tahunku ini, aku justru memikirkan bagaimana nasibku setelah ini, apakah aku siap menyusun rencana agar hidupku lebih tertata dibandingkan tahun sebelumnya? Aku merasa aku sudah cukup tua untuk tak menyia-nyiakan hidupku lagi. Memang aku masih muda, tapi tak cukup muda hanya untuk bermain-main saja dalam hidup. Davin menghampiriku, memegang pundakku seakan ia tahu, ragaku tak di tempat ini.
"Nikmati dulu hari ini, engga ada salahnya menikmati hari ulang tahunmu sendiri," katanya sembari tersenyum dan menyodorkan sebotol Prost .
"Hohohoo... Tahu aja yang bisa balikin mood," kuambil botol dari tangannya sembari tersenyum lebar dan aku berdiri memeluknya, kemudian berbisik, "Thank you, I mean it"
Kemudian ia mengajakku merapat kepada teman-temanku yang lain dan aku berusaha sekuat mungkin untuk menepis segala kekhawatiranku ini agar dapat bersenang-senang bersama mereka. Dengan tingkah konyolnya, mereka mampu membuatku tertawa. "Baiklah, akan kunikmati hari ini, toh apapun yang terjadi, kutahu ku memiliki mereka," batinku. Perlahan rasa optimisku pun muncul dan meleburkan segala kekhawatiranku tadi.Tak terasa sudah larut malam, aku dan teman-temanku memutuskan untuk pulang ke tempat masing-masing. Sesampainya di rumah aku membuka setiap kado dan kartu ucapan yang mereka berikan padaku tadi. Ada satu kesamaan dalam semua kartu ucapan mereka, semuanya menuliskan "I'm always here for you!". Aku tak tahu itu suatu kebetulan atahu tidak, tetapi aku sangat senang membacanya. Mungkin mereka paham benar bahwa aku sangat takut ditinggalkan sendiri dan aku tak mau lagi merasakan kesepian yang dulunya pernah kurasakan, sepi tanpa banyak teman di sisiku. Sebenarnya, temanku sekarang juga tidak begitu banyak, hanya ada 5, Pita, Idab, Dante, Amerah, dan Davin. Pertemanan kami terhitung cukup baru, 2 tahun. Tapi rasanya aku sudah mengenal mereka dengan baik dan tahu aku akan selalu bisa mengandalkan mereka. Aku kembali melihat foto-foto kebersamaan kami selama ini, mereka membuatku bahagia. Baiklah, cukup untuk hari ini, aku segera beranjak tidur, berharap esok segera tiba.
"Apa-apaan ini?" batinku. Aku keluar rumah mendapati semua orang sibuk menata barang bawaan mereka ke dalam mobilnya masing-masing. Mereka tampak... Hmm, aku tak yakin apa yang dipancarkan oleh wajah mereka, semuanya memakai masker. Tapi satu yang pasti mereka tampak buru-buru, beberapa dari mereka menoleh ke arahku, menatapku dengan aneh dan mengibaskan tangan seakan-akan menyuruhku untuk masuk kembali. Pandanganku tak bisa lepas dari apa yang terjadi di sekitarku, rasanya mencekam, sepi... Aku berjalan terus menyusuri rumah-rumah di sekitarku, sampai akhirnya aku berhenti di depan jendela suatu rumah dan melihat apa yang terpampang di TV mereka, tak terlalu jelas, tapi aku melihat... Ribuan kematian. Mendadak semua gelap dan hal selanjutnya yang aku lihat adalah kipas di langit-langit kamarku. Aku menghembuskan napas lega, tadi hanyalah mimpi. Aku beranjak dari kasurku dan menenggak sebotol air minumku, setelah semua yang kurasakan tadi, aku merasa butuh banyak air. Tak lama handphoneku bergetar, aku meraihnya dan melihat beberapa notifikasi dari teman-temanku. Aneh, pagi-pagi begini di akhir pekan, kenapa mereka sudah ramai di grup chat kami? Aku akan membukanya setelah aku sarapan, pikirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Manusia = Kekecewaan
Short StoryBerharap pada manusia hanya akan berujung kekecewaan. Itulah yang dirasakan Ramona