Bag 16 (Cair)

512 38 0
                                    

Hubungan Andhin dan Pandu sedikit renggang semenjak kejadian perundungan oleh 4 orang siswa yang masih menyisakan trauma. Mereka tidak banyak berbicara satu sama lain meskipun duduk di bangku kelas yang sama. Pandu mencoba memecahkan suasana kaku itu dengan berbicara terlebih dahulu.

"Dhin, kamu masih marah ya sama aku? Kok cemberut terus dari tadi?"

"Udah lah Du, aku pengen lupain kejadian itu. Kamu juga, kalau lagi kesel sama siapapun mendingan bilang langsung sama orang yang bersangkutan. Jangan rusakin barangnya."

"Iya maafin aku. Janji deh gak ngulangin lagi."

"Harusnya kamu janji sama diri kamu sendiri," ketus Andhin merajuk.

"Iya iya,"

Perasaannya masih tidak karuan meskipun telah mengatakan apa yang ingin ia utarakan. Pandu masih belum mengerti cara menghadapi seorang gadis yang sedang merajuk. Dalam benaknya hanya ada dua pilihan. Membiarkan sampai rasa kesal itu reda, atau ia harus memberi sesuatu yang Andhin sukai. Kunci jawaban masih menjadi misteri bagi seorang lelaki dengan pengalaman yang masih hijau seperti Pandu.

Saat jam istirahat pelajaran, Andhin memilih menghabiskan waktu bersama Nita dan Marsha---dua teman yang duduk di depan bangkunya. Pemandangan yang tak terduga terlihat ketika ia berjalan bersama mereka berdua menuju kantin. Tak jauh dari pandangan, ia melihat 4 pemuda yang pernah 'mengganggunya' sedang berkumpul di salah satu meja kantin.

Berusaha tetap tenang meski jantungnya berdebar, Andhin mencoba tidak menghiraukan keberadaan sekumpulan pemuda sialan itu. Namun salah satu dari mereka menengok ke samping dan menangkap kehadirannya. Sontak Andhin dibuat semakin gelisah dan memilih meminta izin kepada Nita dan Marsha untuk pergi

"Kalian duluan aja ya. Aku kebelet pengen ke toilet."

"Iya. Kita mau duduk di sana. Nanti balik ke sini ya," jawab Marsha santai sambil menunjuk ke salah satu meja.

Andhin mengambil langkah seribu memilih kembali ke kelasnya daripada harus bertemu 4 manusia sialan itu. Rasa risih bercampur takut masih dirasakan ketika harus berjumpa lagi dengan mereka. Baru tiba di dekat kelas, ia berpapasan dengan sepasang sahabat lelaki. Dito tanpa segan menyapa, sedangkan Pandu masih merasa canggung ketika bertatapan langsung dengannya.

"Eh, Dhin! Mau ikut kita ke atas gak? Aku bawa banyak makanan nih." Sambil menunjukkan kantong plastik berisi setumpuk makanan ringan.

"Ke atas? Maksudnya ke lantai 3?"

"Iya, kita santai, nyelow disana. Ayolah ikut bareng kita! Daripada di bawah terus bosen, kan?"

Yang diajak menganggukkan wajah meski merasa ragu. Kendati masih canggung ketika bertatapan dengan Pandu. Hanya Dito yang terus berbicara dengannya.

Di ujung utara yang lantai paling tinggi sekolah, mereka duduk bersantai bersama di atas lantai sembari menyalakan musik yang diputar di ponsel. Menikmati berbagai camilan yang dibawa Dito di kantong plastiknya. Suasana di antara mereka menjadi cair penuh canda tawa. Rasa canggung di antara Pandu dan gadis yang diam-diam ia kagumi menjadi berangsur cair. Berswafoto bersama serta membuat video lucu menjadi penambah keceriaan.

Pandu mulai memberanikan diri untuk diam-diam merangkul Andhin ketika mereka bertiga berswafoto bersama. Sedangkan yang dirangkul masih tidak sadar dengan apa arti dari sentuhan itu. Ia hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa.


Jarak di antara mereka kini sudah kembali mendekat. Saat jam pelajaran kelas berakhir, Pandu sudah tak segan lagi mengajak gadis yang biasa diantarkannya pulang. Keduanya berjalan bersama meninggalkan kelas.

Namun dari kejauhan, Andhin melihat seseorang yang ia kenal di dekat gerbang sekolah. Seorang perempuan berusia 20 tahunan yang duduk di atas vespa tampak sedang menunggu. Andhin baru teringat soal janji yang orang itu berikan kemarin malam. Lalu meminta izin pada lelaki yang berjalan di sampingnya.

"Du, maaf ya. Aku baru inget, sekarang ada perlu ke tempat lain. Kamu pulang duluan aja."

"Emangnya mau ke mana?"

Andhin melirik lagi pada pintu gerbang sekolah. "Aku ada janji mau pergi sama Teh Dara. Tuh, dia udah nungguin di sana."

Pandangannya ikut tertuju pada tempat yang Andhin tunjukan. Ternyata benar, seseorang yang dimaksud terlihat sedang menunggu. Dalam hati Pandu merasa kecewa dengan keputusan mendadak itu. Namun bagaimanapun, ia tak berhak melarang seorang gadis yang masih menganggapnya teman. "Iya. Gak apa-apa. Hati-hati ya." Lalu berjalan ke arah yang berbeda.

Sambil berjalan menuju area parkir, Pandu kembali mengarahkan perhatiannya pada gadis yang seharusnya ia antarkan pulang saat ini. Terlihat di sana Andhin mendatangi dan menyapa perempuan yang akan membawanya pergi entah ke mana. Batinnya merasa tak rela, mengingat ia baru saja memulihkan kedekatan dengan gadis berambut terikat satu itu.

***

Saat berkendara membawa seorang remaja di jok belakang vespa, Dara membuka perbincangan meskipun suara kendaraan bermotor di sekitarnya cukup mengganggu pendengaran mereka berdua. "Kamu hari ini gak ada latihan basket, kan?!"

"Enggak lah kan sekarang hari Senin!" Andhin menjawab sedikit lantang.

"Kita makan dulu yuk. Tenang, aku traktir deh."

"Gak usah lah, aku bisa makan di rumah kok."

Vespa matik yang dikendarai berhenti di depan sebuah kafe. Dara mengajak gadis berseragam SMA memilih menu makan siangnya hari ini. Meski hatinya merasa tak enak, Andhin merasa senang mendapatkan makan siang yang cukup istimewa dibandingkan menu makanan yang biasa ia makan setiap hari.

Di sela menunggu makanan yang telah dipesan datang, Dara mencoba mengutarakan sesuatu yang ingin dia bicarakan.

"Dhin, band aku hari sabtu nanti ada undangan buat manggung di Jogja. Sedangkan asisten yang biasa kerja sama kita udah mengundurkan diri. Kita jadi gak punya kru."

Dengan cukup rinci ia menceritakan segala keperluan untuk memenuhi undangan manggung di Yogyakarta. Band di mana tempat Dara berkarya memerlukan asisten tambahan untuk persiapan manggung di luar kota. Sebuah diskusi dilakukan mereka berdua

Hingga akhirnya gadis berseragam SMA itu mengangguk tanda menyetujui sebuah tugas.

"Tapi itu terserah kamu. Kalau males atau ragu, lebih baik gak usah." Dara menegaskan persetujuan yang telah dibuat.

***

Seorang pria berjaket kulit dan berpostur tinggi mengetuk sebuah pintu rumah kontrakan. Pintu dibukakan oleh seorang pria berpakaian santai mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Di tangannya menggenggam secangkir kopi. Tanpa banyak berbasa-basi, Angga mempersilakan tamunya masuk.

"Bang, ngomong-ngomong, waktu itu mantan istrimu datang ke sini?" tanya seorang pria berjaket kulit.

"Iya, dia permasalahin anaknya lagi. Sampai nawarin apoteknya asal aku bisa bantu cariin anaknya. Polisi kerjanya gak becus sih. Nyariin bocah goblok yang hilang aja gak bisa, apalagi nyari buronan koruptor."

Mereka bedua lalu duduk beralaskan karpet yang merupakan tempat bersantai di dalam rumah.

"Terus, apa kamu terima tawarannya?"

Next Chapter 🔽

About D ( Her Secret ) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang