"Aku selalu mengerti kalau kau bodoh, Bhum. Tapi tak pernah kubayangkan bisa sampai setolol ini."
Hah?!
Kukira... kukira aku telah melakukan hal yang benar dengan memberitahu mereka terlebih dahulu? Hal yang sudah... sepatutnya? Tetapi mengapa reaksi Tiarma pahit begini?
"Setuju," lanjut Bang Jack.
Bedebah-bedebah ini—Demi Tuhan, mereka ini sahabatku, kan?!
"Ayolah, Yar. Kasih Bhumi kesempatan," bela Kitkat pelan. Betapa baik. Betapa menggemaskan. Setengah mati kutahan-tahan keinginan untuk mencium pipinya sebagai bentuk rasa syukur.
"Bhumi bisa menjadi bebal dan mencoba merebut kembali cinta pertamanya—padahal dia seutuhnya mengerti kalau cinta pertamanya telah memiliki pacar; yang pastinya lebih tampan, mapan, dan dewasa—lalu, dengan kenaifan yang tidak bisa kutakar-takar, berusaha memenuhi syarat dari cinta pertamanya—yang kelihatan semu dan sama sekali tidak masuk akal—hanya untuk, pada akhirnya, dipermalukan dan disakiti lagi dan lagi dan lagi. Apakah ini perempuan memang berpikir kalau perasaan bisa semudah itu dibolak-balikkan? Dipermainkan? Dijadikan dagelan? Bagaimana mungkin dia menjadikan diri sendiri seolah piala yang harus diperebutkan setiap lelaki yang menyukainya? Bagaimana dengan pacarnya? Bukankah dia sudah memilih lelaki itu jauh sebelum ini semua?"
Termengah-mengah, Tiarma tidak pernah terlihat semarah ini. Tiarma yang kukenal tak pernah berpayah-payah merepet panjang lebar begini. Perempuan garang yang memerah wajahnya itu acap kali lebih memilih membiarkan dollyo chagi-nya yang berbicara.
"Wah, ini kali pertama aku melihatmu sebegitu peduli pada Bhumi."
"Bang Jack!" tegur Kitkat pelan, namun Bang Jack hanya mengangkat bahu, tak betul-betul peduli terhadap selorohnya tadi. Tapi... ya, benar juga apa yang Bang Jack bilang. Sudah lama aku tak melihatnya seperhatian ini terhadapku dan perasaanku. Sudah lama sekali.
"Terserah," ketus Tiarma, mendelik tajam ke arah Bang Jack, lalu ke arahku. "Tapi aku tak punya waktu dan energi berlebih untuk membantumu dalam pusaran kedunguan ini. Sorry."
Kemudian, tanpa menunggu respon apa-apa dariku, atau respon dari siapa pun, Tiarma bergegas pergi. Bel pulang sudah berdering sejak tiga puluh menit lalu.
"Memangnya siapa yang butuh perempuan itu?" gumam Bang Jack acuh tak acuh, mengaitkan jemari di belakang kepala seraya bersandar pada punggung kursi.
Aku yang belum berkata apa-apa sejak selesai mengutarakan hajatku mencoba berdehem, memecah ketegangan yang masih mengambang di udara. "Jadi... menurut kalian bagaimana?"
"Natgeo Indonesia Photo Contest? Ya mesti ikut dong, Bhum! Memangnya kamu nggak penasaran sama kemampuan fotografi kamu?" jawab Kitkat dengan mata berbinar. Kucubit pipinya pelan, terlampau gemas. Sejauh ini hanya reaksi darinya yang mampu membesarkan hatiku.
"Kamu beneran bodoh sih kalau sampai menolak kesempatan ini," sela Bang Jack pelan, "kulihat-lihat hadiahnya lumayan juga. Tanpa perlu biaya pendaftaran atau apa. You have nothing to lose in this competition."
Aku mengangguk-angguk, merasa dibesarkan lagi. Semua amukan Tiarma beberapa saat lalu kusimpan dulu di belakang kepala. Bukannya aku tak mengerti apa yang sahabat perempuanku itu coba tunjukkan, hanya saja aku lebih butuh pembenaran ketimbang pencerahan untuk saat ini. Semua agar Hara kembali ke dekapku.
"Tapi syarat Hara susah juga ya. Kamu harus menjadi pemenang utama, bukan sekadar pemenang dari masing-masing kategori apalagi cuma foto terfavorit. Memangnya kau sepercaya itu pada kemampuanmu?"
Aku terdiam, lama. Bang Jack melengos, merasa telah mengenaiku tepat di mata banteng.
"Kompetisi berlangsung dari tanggal 28 Desember 2019 sampai 25 Januari 2020," tutur Kitkat, membacakan peraturan dan persyaratan yang tertera pada caption, "Mengikuti akun resmi National Geographic Indonesia @natgeoindonesia. Mengunggah foto pada laman Instagram masing-masing dengan tagar #OneStrangeIndonesia dan menandai akun resmi National Geographic Indonesia @natgeoindonesia."
Memang sih, aku tak pernah benar-benar menguji kemampuan fotografiku. Di klub sekolah pun aku termasuk anggota pasif. Selama ini pepujian hanya kudapat dari unggahan-unggahanku di laman Instagram, model-model dadakan yang kufoto, dan beberapa pihak yang memakai jasaku. Tak pernah aku benar-benar dinilai dengan objektif, diadu kemampuanku dengan fotografer lain, diberi batasan dan menaklukkannya.
"Akan ada tiga kategori pemenang: pertama; Fan Favorite, pada setiap kategori akan dipilih satu foto dengan Likes terbanyak, hadiahnya paket langganan majalah National Graphic Indonesia gratis selama setahun ditambah uang tunai satu juta rupiah; Kedua; Pemenang Kategori, pada setiap kategori akan dipilih satu foto pilihan juri, hadiahnya sama."
Aku tak pernah membayangkan fotografi sebagai satu dari banyak setapak yang mesti kutelusuri. Fotografi selama ini hanya menjadi hobi dan eskapisme semata. Satu hal yang paling kunikmati dan tak kugugat-gugat untuk dapat menjadi sempurna. Pun keliar kata-kata tentang passion yang tak melulu dapat membuatku mampu membayar tagihan, mengenyangkan perut, dan menjaminkan atap dan lantai untuk kutinggali, membuatku skeptis dan tak mampu membayangkan masa depan selain kuliah, menjadi duta besar atau setidaknya penerjemah, kemudian hidup dari gaji ke gaji sampai mati.
"Terakhir; Pemenang Utama, akan dipilih satu dari lima pemenang kategori yang berhak mendapatkan satu set kamera Nikon D7500, termasuk di dalamnya camerabody dan AF-S DX NIKKOR 18-140mm f/3.5-5.6G ED VR lens. Wah, aku sama sekali nggak ngerti ini kamera apaan, tetapi sepertinya canggih sekali."
Mungkin ini waktunya.
Mungkin ini waktuku.
"Siapa Anton Ismael, Bhum?"
Hah?
"Siapa?" tanya Bang Jack balik, melirik sedikit ke arah Kitkat.
"Anton Ismael, Bang. Di sini tertulis dia akan menjadi salah satu dari tiga juri untuk kontes foto ini. Satu lainnya dari pihak redaksi Natgeo Indonesia, satu lagi dari pihak sponsor. Itu berarti hanya Anton Ismael yang memiliki latar belakang profesional di fotografi, kan? Jadi, siapa dia, Bhum?"
Aku menatap Kitkat tepat di bola-bola matanya. Aku menatapnya begitu takzim seolah-olah apa yang akan kukatakan ini maklumat nabi-nabi. "Anton Ismael adalah maestro fotografi di Indonesia."
Sialan! Hanya menyebut namanya saja sudah membuat dada sesak dan kepala pening!
"Kenyelenehannya dalam menggarap proyek-proyek yang dicetuskan—bayangkan saja kalau fotografi digabungkan dengan cat air dan seni instalasi!—membuatnya mampu bekerja sama dengan majalah-majalah di eselon yang lebih tinggi seperti Rolling Stone dan Harper Bazaar. Beberapa penghargaan setingkat nasional juga pernah ia bawa pulang. Dan kalian mesti melihat karyanya yang diberi nama "Golden Dust" di Instagram! Selain fotografi, dia juga pernah menghasilkan karya lain seperti lukisan, iklan komersil, dan video musik. Oh, dia juga chef bersertifikat yang diakui oleh Jakarta Culinary Center. Katanya sih, orangnya baik. Kamu pasti bakal senang kalau ketemu dia, Kit," jelasku sembari tersenyum masih kepada Kitkat yang matanya kini membesar, takjub.
"Fotografer dengan kaliber seperti itu bakal menilai foto kamu, Bhum?" desak bang Jack setelah penjelasan panjangku, kemudian tertawa sampai terbungkuk-bungkuk, sampai terbit air matanya. Diledek begitu membuatku keki juga. Bang Jack seolah mengatakan 'Dan dia pikir dia bisa menang?!'. Sahabat bangsat.
"Betul tuh, Bhum! Coba bayangin foto kamu dinilai sama fotografer sehebat beliau! Pasti keren banget rasanya, kan? Kayak aku selalu kepingin masakanku dicicip sama Pak Bondan Winarno atau Bu Siska Soewitomo. Aduh, ngebayanginnya saja sudah bikin merinding!"
Tawa Bang Jack seketika terhenti. Ia menatap Kitkat tak percaya barang sedetik-dua, kemudian mendengus sebal sebelum berjalan malas ke arah pintu kelas.
Orang yang penuh energi negatif seperti Bang Jack memang harus diberi lawan yang selalu positif seperti Kitkat.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Teen FictionTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...