Yang tidak merasakan tidak akan paham. Yang tidak mengalami tidak akan mengerti.
****
Suasana diakhir bulan April ini, London memasuki musim semi dimana pohon-pohon mulai terlihat menghijau dan bunga-bunga ditaman sudah mulai bermekaran. Ara menuruni undakkan tangga lalu menuju dapur. Mengambil segelas air putih untuk menghilangkan rasa haus.
Sudah tiga hari Ara meninggalkan Gio, rasa itu seperti tak mau hilang, bahkan terasa sangat membelenggu dirinya sendiri. Ara berusaha kerasa untuk melupakan, tapi justru ia malah merindu.
Ada sakit yang luar biasa saat Ara menyadari bahwa semua takkan lagi sama dan hanya bisa diam lalu mengharapkan semua berjalan seperti sebelum-sebelumnya. Kenangan bersama Gio tidak benar-benar hilang, ia hanya sembunyi, disudut yang tidak diketahui. Mencoba dihilangkan tapi air mata tak kuasa menahan.
Ara tersenyum, ia bahkan mencoba menguatkan hatinya dan berdamai pada diri sendiri. Tapi, saat ia rindu rasa sakit selalu mengiringi senyumannya. Setelah kehilangan, Ara baru berani mengakui pada dirinya sendiri bahwa ialah yang paling mencintai Gio.
Ara tidak menyerah, tetapi Gio sendirilah yang memaksa Ara untuk berhenti berjuang. Jika seperti ini siapa yang harus disalahkan?
Ara berlalu menuju taman belakang rumah, ia duduk disalah satu bangku tepat dibawah pohon rindang. Taman yang tak pernah dikunjungi oleh perumahan di daerah nya, dibiarkan kosong padahal memiliki pemandangan yang Indah. Wajar saja, karena tetangga sebelah kanan dan kiri rumah Ara adalah seorang pekerja kantoran. Mereka akan berangkat pagi-pagi buta dan pulang larut malam.Ara menikmati kesunyian. Tak sadar, sebulir air mata turun tanpa persetujuan pemilik mata. Kini, hati yang berbicara. Ara bukan perempuan yang pura-pura kuat. Kalau itu sakit, ia pasti akan menangis.
"Dikirain kemana, taunya sedang menangis."
Bariton suara membuyarkan suasana. Ara menolehkan kepalanya kesamping kiri, dimana sosok laki-laki yang sudah menemani Ara selama tiga hari ini berdiri tepat dihadapan Ara. Ialah Maxwell Draxi Xavieer. Pewaris tunggal dari keluarga Xavieer.
"E-enggak, siapa juga yang nangis." Ara mengelak, dengan segera ia menghapus air mata yang membasahi pipinya.
Max terkekeh pelan, Max membimbing Ara untuk berdiri dihadapannya, menarik pinggang itu agar lebih mendekat. Max mengangkat dagu Ara agar Max bisa melihat iris mata cantik yang sedang menangisi seseorang.
Darah Ara berdesir merasakan dekapan tubuhnya dengan tubuh Max dengan jarak sedekat ini, sengatan lembut begitu tatapan mata Max mengunci iris mata Ara agar menatapnya.
"Hei, lihat mataku. Dunia tidak boleh tahu bahwa kau sedang babak belur, dunia hanya boleh tahu kau masih berdiri tegak dan tak hancur selepas badai menerjang. Jangan nangis, besok berjuang lagi." Max mengecup kedua mata Ara yang sembab. Ia takkan biarkan air mata itu mengalir, sesak rasanya melihat gadis yang dicintai tersiksa oleh laki-laki lain.
Pertahanan Ara luruh seketika. "Gak ada lagi yang diperjuangin Max, Gio udah gak sayang Ara!" Ara memukul dada bidang Max dengan berutal, ia menangis histeris. Sungguh, Max sesak rasanya melihat air mata itu, air mata yang sedang terjatuh untuk laki-laki lain.
Max menahan kedua tangan Ara, "Hei, yang bikin segala sesuatu berat itu pikiran kamu sendiri, belum dijalanin tapi udah mengira-ngira apa yang bakal terjadi." Max mengecup kedua tangan Ara lembut, Max memohon dalam hati agar Ara cepat diberikan kebahagian. Ia tidak bisa melihat gadis yang dicintainya terluka sebegitu jauh.
"Max-" lirih Ara, semakin Ara pergi menjauh dari Gio, justru rasa kehilangan semakin besar direlung hatinya.
Max mengusap setetes air mata yang tak sengaja terjatuh dipipi Ara.
"Nanti cari solusinya bareng-bareng ya? Sekarang kita pulang, hari ini kamu udah melakukan yang terbaik, jangan khawatir semuanya akan baik-baik saja." Max berjanji pada dirinya sendiri akan mengembalikan kebahagiaan Ara, membuat Ara tersenyum meskipun itu bukan karenanya.Percayalah, ada seseorang yang diam-diam berperan sebagai bahu terdepan ketika Ara terluka. Ia menyamarkan sedemikian pintar lalu mengusap air mata Ara perlahan. Namun, ia juga mengusap air matanya sendiri sebab kadang yang mendengarkan butuh juga ditempatkan-hatinya.
Max adalah sahabat Ara sejak kecil, tempat segala kenangan pahit yang membuat Ara membenci London, tapi semuanya itu ada alasannya dan Ara menerima Max kembali.
Max berjongkok, ia menepuk bahunya menyuruh Ara agar menaiki punggungnya.
"Max, aku bisa jalan sendiri." tolak Ara.
"Cepatlah naik, sebentar lagi akan hujan, aku harus mengembalikan gadis nakal yang keluar rumah tanpa ijin orang tuanya dulu." ujar Max dengan lembut membuat pipi Ara merona merah.
Ara menaiki punggung Max, melingkarkan kedua tangannya dileher Max, perlahan Max mengangkat tubuh Ara tanpa merasa keberatan.
"Max, apakah aku berat?" tanya Ara saat Max mulai melangkahkan kakinya meninggalkan taman.
"Tidak, apakah selama ini kau makan teratur?" tanya Max, bagaimana bisa dibilang berat jika tubuh Ara semungil ini?
Ara menganggukan kepalanya dipunggung Max. Sedetik kemudian menggeleng. "Tidak juga sih, emm... ya begitulah."
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai dirumah Ara, Max membawa Ara masuk kedalam rumah dimana Reta dan Randa sudah berada diruang tamu.
"Oh God! Kupikir gadis itu menghilang." Reta menggelengkan kepala melihat Ara yang tengah digendong oleh Max.
"Ara pergi ketaman belakang rumah tante, aku bawa Ara kekamar ya?" izin Max.
Randa mengangguk. "Kamarnya masih yang lama Max, bawalah keatas."
Mendengar persetujuan dari Randa, Max menaiki undakan tangga dengan Ara yang berada digendongnanya tengah tertidur pulas. Memang, abis menangis yang paling enak adalah tidur, dan terbangun untuk melupakan segalanya.
Max membuka pintu Ara, aroma strawberry tercium dengan sempurna, Max menghirup aroma strawberry milik Ara dalam-dalam. Kemudian bergumam, "Masih sama seperti beberapa tahun lalu."
Kemudian Max membaringkan tubuh Ara diatas ranjang dengan selimut pikachu. Sesaat, Max memilih untuk memperhatikan wajah Ara yang tengah tertidur, wajah lelah milik Ara, kantung mata yang terlihat menghitam akibat lelah menangis, atau mungkin bisa jadi Ara tidak tidur semalaman?
Max mengelus rambut Ara penuh kasih sayang. Ia bergumam, "Kalau saja aku egois, saat ini juga aku bawa kamu ke Italy dan nikah bersamaku."
Max ingin, bahkan sangat-sangat ingin membawa pergi Ara jauh, melupakan kisah pahit dalam hidup Ara dan memulai kisah bahagia bersamanya.
Ini bukan seperti kisah psikopat Ara dan Gio, ini terlihat sepeti kisah masa lalu yang kembali dengan ending bahagia.
Max tidak seburuk itu untuk memaksa Ara agar ikut bersamanya. Max akan mencaritahu siapa Gio sebenarnya, lalu memastikan apakah mereka masih saling mencintai atau tidak.
Jika Gio masih mencintai Ara begitupun sebaliknya, Max akan membiarkan mereka hidup bahagia. Jika Gio benar-benar melepas Ara sepenuhnya, makan Max akan membawa Ara pergi jauh. Jauh dari kata kesedihan.
Semuanya tergantung keputusan Gio.
FOLLOW nadaagr KARENA BEBERAPA PART TELAH DI PRIVATE! TEKAN TOMBOL BINTANG DI SAMPING KIRI BAWAH, TYSM!
KAMU SEDANG MEMBACA
しぬ SHINU (COMPLETED)
Mystery / Thriller❝Maaf berarti kalah, dan yang kalah harus mati!❞ Semua orang mengenalnya sebagai monster pembunuh. Namun bagiku, dia adalah sosok pelindung. Manusia pencabut nyawa itu terperangkap dalam prinsipnya sendiri. Akankan Adara dapat menaklukkan monster te...