Tikam Samurai
(Sebuah 'Tribute')(Mohon dibaca juga 'disclaimer' di akhir cerita)
Dari balik semak-semak tempat dia bersembunyi, Si Bungsu tegang memperhatikan pertarungan antara satu regu Kempetai dengan Ayahnya beserta para murid perguruan silatnya.
Pertarungan itu mulai bisa diterka hasil akhirnya. Sepuluh orang anggota polisi militer tentara pendudukan Jepang itu terlihat terlalu tangguh. Tidak sebanding dengan murid-murid ayahnya.
Belum lagi, andaipun bisa mengalahkan Jepang-Jepang itu, pasti mereka tetap tidak akan bisa lolos.
Sebab, meskipun mereka bersikap kesatria dengan mengajak duel secara adil, Si Bungsu yakin, jika kalah bertarung, ujung-ujungnya Jepang-Jepang itu pasti akan berlaku curang dengan menggunakan bedil.
Sejauh ini, mereka memang di atas angin. Lima orang murid ayah Si Bungsu sudah terkapar bersimbah darah di tengah arena pertarungan. Sepertinya tewas.
Si Bungsu was-was menunggu apa tindakan yang akan diambil ayahnya. Dia merasa, ayahnya terlalu sembrono dengan membiarkan murid-muridnya yang masih mentah itu bertarung melawan Kempetai yang jelas-jelas amat terlatih.
Mereka adalah tentara pilihan yang memiliki kemampuan bertempur dan bertarung sama baiknya.
Seorang anggota Kempetai memiliki keahlian beladiri yang tidak main-main. Mereka menguasai setidaknya dua jenis ilmu beladiri Jepang, karate dan judo. Bukan sekedar menguasai, tapi sampai pada tingkat master. Mereka semua berkualifikasi guru untuk dua jenis beladiri yang amat ampuh itu.
Dan satu hal penting lagi sepertinya juga dilupakan ayahnya, tentara Jepang amat mahir memainkan pedang.
Setiap prajurit Jepang, apalagi pasukan elit macam Kempetai, jelas memiliki keahlian memainkan pedang bak para Samurai (kesatria) di negeri asal mereka.
Sementara, di pihak ayahnya, jelas, cuma ayahnya itu saja yang berkualifikasi seorang pendekar silek (silat).
Datuk Bangso--ayahnya itu--memang seorang pendekar Silek Tuo kenamaan seantero Luhak Limopuluah (sekarang wilayah Kabupaten Limapuluhkota dan Kota Payakumbuh, Sumatera Barat).
Sedangkan murid-muridnya, rata-rata masih anak kemaren sore. Ilmu yang sudah mereka dapatkan dari ayahnya jelas belum memadai untuk menghadapi para tentara bermata sipit itu.
Ini terbukti, kelima murid Datuk Bangso dengan mudah terbunuh oleh lawan-lawan mereka.
Si Mahmud yang tadi maju pertama, terdengar berderak tulang rusuknya terkena hunjaman telak 'Oi Zuki Chudan'. Si Bungsu hanya sempat mendengar dia melenguh panjang sebelum akhirnya terkapar dan tak bergerak-gerak lagi. Tulang rusuknya pasti remuk.
Begitu juga ketika pertarungan senjata tajam. Kembali para murid Datuk Bangso kalah dengan mudah. Mereka semua tewas dimakan pedang lawan-lawannya. Ada yang ulu hatinya terburai, ada yang punggungnya belah, ada pula yang lehernya tertebas menggenaskan.
Dalam hati, Si Bungsu menyesali sikap sang ayah yang membiarkan murid-muridnya terbunuh sia-sia. Ia kecewa pada ayahnya yang seorang pendekar tangguh tapi malah mengorbankan murid-muridnya yang bau kencur.
Kenapa bukan ayahnya itu saja yang sejak awal bertarung? Supaya tidak ada korban pembantaian brutal sebagaimana pada lima pertarungan tak seimbang yang barusan disaksikannya. Si bungsu benar-benar kecewa.
Namun, baru saja dia selesai bergumam demikian, prasangka buruknya itu segera terbantah.
Datuk Bangso maju beberapa langkah dari posisinya semula, kemudian berbicara lantang.