awalnya cuma manggil

2 0 0
                                    

Tiga jam setelah bel tanda masuk kelas dibunyikan. Suasana sekolah yang damai dimana semua siswa sedang membaca buku, memperhatikan penjelasan guru, mengobrol sambil bisik-bisik, canda gurau dengan guru, bahkan masih ada yang tidur pada jam itu. Sebuah harmoni yang membuat orang-orang mengenang masa indah mereka dulu.

Siapa yang tidak mengingat sesosok guru matematikanya, siapa yang tidak mengenal guru BP-nya, dan siapa yang masih ingat dengan sidak sekolah? Banyak orang yang merindukan hal tersebut bukan? Tidak terkecuali para guru yang mendedikasikan dirinya untuk mencerdaskan siswa-siswanya yang lucu.

Di ruangan yang dipenuhi dengan meja besar dan diatasnya ada beberapa tumpukan buku dan kertas-kertas. Beberapa kursi kosong, karena penghuninya sedang melaksanakan kewajibannya. Disana ada Bu Yura, Bu Intan, dan Bu Anna, mereka adalah guru baru. Belum banyak memegang kelas. Jadi mereka bertigalah yang paling sering di kantor guru.

“Heh An, kemaren kamu lihat drama korea ‘itu’ nggak? Seru loh!”
“Iya Yur, Aku juga tertarik sih, dari trailernya aja bikin baper”
“Ya ampun, kalian masih doyan aja sama drakor, hahaha”
“Ih! Nggak masalah juga kan? Bu Intan juga diem-diem nonton kan?”
“kok Bu Yura tahu....”

Obrolan mereka terhenti seketika ada satpam masuk dan dia membawa sebuah kardus.

“Permisi, ibu-ibu, ini ada paketan. Saya taruh di mejanya Pak Agus”

Satpam itu pun menaruh kardus itu di atas meja yang terdekat dengan pintu masuk. Dia sepertinya terburu-buru, jadi satpam tersebut hanya dibiarkan oleh mereka bertiga yang seketika melihatnya berbarengan.

“Eh iya, tadi katanya Kepsek mesen smartlamp buat kantor kita”
“Kepsek kita keren juga ya?”
“Tapi kok dia mesennya langsung banyak ya?”
“Entah?”

Setengah jam selanjutnya, bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Bu Intan mengambil map kuning yang berlabel kan ‘Kelas 11 IPS A’. Dia menumpuk map itu dengan setumpuk buku tulis, tumpukan buku tidak memberatkan Bu Intan. Dia sudah terbiasa dengan membawa beban berat hingga ke puncak gunung.

“semangat ya In!” bu Yura sangat dekat dengan Bu Intan karena mereka berdua memiliki beberapa hobi yang sama.

“Iya!” Bu Intan seketika menoleh kebelakang nya, ke Bu Yanura.

Bu Intan tidak memperhatikan langkahnya, dengan sepatu pantofel nya dia menginjak beberapa kertas. Dia kehilangan titik tumpunya untuk tetap berdiri, bu Intan seketika terjatuh ke belakang. Dengan refleknya, dia melepas genggamannya dari tumpukan buku ke arah benda yang menurut matanya kokohnya. Tangan kanannya meraih kardus yang berikan beberapa lampu dan suara jatuhnya seseorang yang berbarengan dengan suara kaca yang pecah cukup keras terdengar. Seketika kepsek muncul dari pintu masuk kantor guru.

Kepsek muda itu melihat seseorang guru wanita terjatuh di bawah yang ditindih oleh sebuah kardus yang penuh dengan isolatip coklat. Dia mengenal kardus itu, karena ada sebuah nama perusahan yang dia kenal dan kepsek yakin dengan apa yang dia dengar, suara lampu pecah. Akan tetapi, di pikirannya sekarang adalah, kondisi guru wanita yang pingsan itu.

“Bu Yura tolong suruh piket untuk menggantikan kelasnya Bu Intan!”

Kepsek langsung memberikan perintah ke pada Bu Yura masih kaget dengan temannya yang terjatuh karena dia memanggilnya. Bu Yura lantas berlari ke meja piket. Kepsek mengeluarkan gawainya dan dengan cepat dia mencari kontak Ibu Marcel, selaku pembina wanita PMR. Kepsek menyuruhnya untuk segera datang ke kantor guru karena ada sebuah kecelakaan.

  Tidak perlu berselang lama, Bu Marcel datang dan membantu Kepsek memindahkan Bu Intan ke sofa. Kepsek menceritakan apa yang terjadi. Bu Marcel memeriksa pergelangan kaki Bu Intan dan melepaskan sepatunya.

“Iya benar pak, Bu Intan sepertinya terpeleset dan dia keseleo”

Bu Yura datang dan dia menahan tangis. Wajahnya tidak bisa membohongi orang di kantor, wajahnya memerah dengan mata yang berair. Semua orang tahu, kalo Bu Yura merasa sangat bersalah karena telah memanggil temannya.

“Bu Yura, jangan begitu, itu Cuma kecelakaan, jadi mohon tenang saja” Kepsek mencoba menangkan Bu Yura.
“Tapi pak, nanti uang ganti rugi biar saya tanggung....”
“Tidak perlu, uang ganti rugi sudah saya terima, semua sudah diurus. Mohon Bu Yura tenang saja”
“Tapi pak, harga lampu itu kan sangat mahal. Memang siapa yang sudah membayarnya? Bukannya Bu Intan pingsan dan guru-guru lainnya sedang mengajar? Jangan-jangan bapak yang...”
“Bukan Saya, suami Bu Intan yang sudah membayarnya dan sebentar lagi dia akan sampai disini”

Seketika semua guru yang berada di kantor guru diam seketika. Mereka baru mengenal Bu Intan dalam beberapa minggu ini, tapi mereka belum tahu jika dia sudah menikah. Bahkan Bu Yura membuka mulutnya, sebagai teman terdekatnya, dia masih tidak percaya yang diucapkan pemimpinnya.

“Permisi...., apa Intan masih pingsan?” sebuah suara pria memecah keheningan dan membuat semua orang terpaku padanya.

Seorang pria yang memiliki tinggi ideal, 170an cm. Dengan kemeja berwarna hijau tosca yang digulung kedua lengannya, memancarkan aura maskulin yang kental. Tatapannya tajam dengan wajah yang cerah walau kulitnya berwarna sawo matang. Semua sudah tahu siapa pria asing tersebut, dia adalah suami dari Bu Intan.

Walau mereka baru pertama kali melihatnya, mereka semua merasa familiar dengan wajahnya. Seakan-akan mereka pernah lihat fotonya beberapa kali. Tapi mereka sama, “Aku pernah melihatnya dimana ya?”

“Roland? Apakah Anda penulis Roland yang memiliki buku best seller tahun ini?” dengan spontan Bu Yura menghampiri pria itu.
“Ah... iya? Bener sih tapi jangan memanggil saya dengan itu, soalnya aku disini sebagai suaminya Intan, panggil aja Bastian. Jadi permisi aku akan membawanya”
“Astaghfirullah...” Bu Yura langsung memegang kedua tangannya dan kembali mejanya.

Bu Yura langsung mengingat ketika dia membawa buku karya Roland. Saat itu, Bu Intan hanya tertawa kecil ketika dia menceritakan kekagumannya dengan Roland. Bu Yura juga pernah bilang juga ke temannya jika dia ingin mengundang Roland ke sekolah karena banyak anak-anak yang menyukainya. Akan tetapi, Bu Yura menyerah ketika menghubungi managernya, tapi Bu Intan membalasnya jika dia bisa membawanya ke sekolah.

Bastian membopong Bu Intan dan langsung keluar dari kantor itu. Sebelum dia pergi, kepsek memangilnya.

“Mas, biar sisanya  adek yang urus”
“Ha!?"

Beberapa siswa melihat kepsek baru sedang menundukkan kepalanya pada seorang pria yang sedang membopong Bu Intan. Dengan cepat, mereka memfoto kejadian langka itu. Berbeda dengan  guru-guru yang berada di belakangnya. Mereka lebih terkejut dengan pembicaraan Kepseknya.


“Okey, sepertinya bapak-bapak dan ibu-ibu disini sudah bertemu dengan kakak saya, jadi tolong bekerja kembali. Terimakasih.” Kepsek itu menepuk tangannya dengan keras untuk menyadarkan guru-guru dari lamunannya. Namun cerita tidak berhenti disini.  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cuma Spontan AjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang