Empat puluh lima.
Angka itu meluber melebihi kotak nilai yang berada di pojok kanan atas lembar ulangan. Warnanya merah membara. Namun, bukan itu yang membuat Aira bolak-balik di depan Airis, tepatnya di dalam kamar Airis. Sesekali ia melirik ke arah Airis yang juga berdecak bingung. Aira bukanlah anak paling pintar di sekolah yang selalu mendapat nilai bagus. Tetapi, peringkatnya lumayan juga, bukan hanya di kelas, tetapi juga di angkatan. Angka yang ia capai tiap ulangan paling sedikit adalah angka tujuh. Itupun karena memang soal yang kelewat susah. Sedangkan ini? Rata-rata di kelasnya bahkan dua angka di atas nilainya. Itu artinya nilai Aira di bawah rata-rata, untuk pertama kalinya.
"Gila, lo mau bilang apa sama Mama?"
Bukannya menenangkan dan membantu mencarikan solusi, Airis justru ikut panik. Mama adalah sosok ibu rumah tangga yang begitu perhatian. Kelewat perhatian sampai-sampai nilai ulangan pun selalu beliau tanyakan.
"Nggak, gue nggak akan bilang sama Mama. Lo nggak akan ngadu, kan, Ris?"
Airis mengangguk pelan.
"Tapi, Ra, kalo kaya gini terus, nilai di rapot lo bakal jelek. Itu yang nggak bisa ditutupin dari Mama," jelasnya disertai decakkan kesal. "Apa sih yang lagi lo pikirin? Sampe-sampe ulangan aja blank. Atau jangan-jangan lo malah lupa nggak belajar?"
Aira menggeleng cepat. Ia duduk di sebelah Airis sedangkan pandangan matanya meredup, tidak panik seperti sebelumnya. Malah sedikit sendu. Mungkin, untuk masalah kali ini, ia harus bercerita pada seseorang.
"Gue berantem, Ris, sama Dita, Karin juga," ujar Aira pelan. Air mukanya berubah.
Pada akhirnya Aira menceritakan duduk permasalahannya dengan kedua sahabatnya. Ia juga menambahkan kesalahpahaman lain yang pernah terjadi sebelum ini. Untuk menegaskan bahwa keretakan persahabatan mereka bukan semata-mata karena masalah ulang tahun Dita, tetapi karena memang dari awal sudah terlalu rapuh untuk dibilang persahabatan.
"Sekarang gue tanya," Airis menipiskan bibir. "apa yang membuat lo lupa sama ulang tahun Dita waktu itu?"
Aira yang tadinya bercerita dengan menggebu-gebu tiba-tiba bungkam. Meskipun empat semester ini Airis jarang berbicara dengan Aira kecuali berdebat dan membicarakan Lilian akhir-akhir ini, ia tetap salah satu orang yang paling mengenal Aira dan pasti cukup mengerti bahwa saat ini Aira sedang bermasalah dengan urusan hati. Bukan sekedar persahabatan yang retak, tapi juga masalah dengan lawan jenis yang membuatnya tidak berpikir jernih. Airis selalu bilang bahwa Aira adalah orang paling rasional yang pernah ia kenal, dan kadang Aira bisa bersikap sangat menyebalkan atas rasioanlitasnya itu.
"Nggak cerita sekarang juga nggak apa-apa," ujar Airis akhirnya, melihat Aira yang tampaknya masih ragu untuk bercerita.
Mendengar nada pengertian tersebut, Aira mendongakkan kepala, lalu berbaring di ranjang Airis dan memejamkan mata. Ia ingin melupakan masalah di otaknya yang ia sendiri tidak tahu apa. Jangan-jangan, yang sebenarnya mengusiknya hingga ke titik memecah fokus dan konsentrasinya, bukanlah masalahnya dengan Dita dan Karin? Pikirannya berlarian ke Lilian dan Ervan meskipun matanya terpejam. Sebenarnya, kenapa Aira begitu tertarik pada masalah Lilian dan Ervan?
*
"Lilian!"
Aira menoleh ke arah datangnya suara. Suara dan kata yang sama-sama membayanginya akhir-akhir ini. Ervan melewatinya begitu saja, mengejar sosok yang kini berjalan dengan tergesa ke arah kelas dua belas. Tampaknya laki-laki itu baru saja kehilangan kesempatan untuk menjemput Lilian sehingga harus repot-repot mengejar perempuan itu di pagi buta begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sketsa Abu-Abu
JugendliteraturPagi itu Ervan berpamitan pada teman-teman sekolah. Akhirnya, Aira tidak bisa menahan apa yang dipikirkannya, bahwa betapa pun Aira ingin Ervan tetap tinggal, ia tahu Ervan tetap akan pergi. Start : Maret 2020