Pintu kayu tua berwarna coklat kehitaman itu, masih berdiri kokoh di hadapanku. Dengan tangan kanan yang perlahan terjulur ke depan, aku menarik knop pintu, kemudian memberinya sedikit tekanan ke arah dalam ruangan.Nampak di sana, debu-debu halus ruangan yang menari ria di bawah sorot sinar mentari dari lubang ventilasi kamar. Aku menepisnya, menyapu udara dengan tanganku, bermaksud menghalau partikel-partikel debu yang ingin masuk ke lubang pernapasanku tersebut.
Tap-tap. Kedua kakiku melangkah bergantian, berjalan mengitari setiap sudut kamar yang masing-masingnya telah terisi dengan perabotan berumur. Ada lemari baju tua di sudut sebelah kanan kamar, ada juga rak plastik yang berisi barang-barang kecil pajangan, ada juga kasur dengan frame kayu jati yang mengisi penuh sudut di sebelah kiri kamar.
Namun kemudian—dengan perhatian yang telah banyak tersita itu—aku berhenti pada salah satu spot yang sejak tadi selalu menjadi perhatian ujung netraku.
Di sana, terletak sebuah meja belajar—yang lagi-lagi berbahan dasarkan kayu—lengkap dengan kursi belajar, serta barang-barang pengisi bagian atas dan laci-laci di bawahnya. Aku bergerak, berjalan menghampiri meja, kemudian menarik kursi dari kolong meja, lalu mendudukinya perlahan.
Tak sampai situ saja, jemariku belum selesai menghentikan aktivitasnya. Mengusap bagian paling kosong dari meja, aku memilin jari telunjukku dengan ibu jariku yang mengabu terkena debu.
Pelan-pelan, bola mataku mengedar, menarik setiap hal yang ada di sana ke dalam pandangan.
Semuanya masih tampak sama. Susunan buku-buku, alat-alat menulis, pajangan yang hanya berfungsi sebagai penghias, apapun, semuanya masih tersedia di tempat yang sama seperti sedia kala.
Aku membau, aroma di sini pun tidak terlalu banyak mengalami perubahan. Masih mirip seperti ketika aku sering begadang di sini. Ditemani lembaran kertas yang berisikan tugas-tugas kuliah, atau hanya bait-bait tulisan yang tertuang dari dasar hati. Dengan musik dari playlist mainstream remajaku dahulu—Kopi Kustik namanya—aku berdiam di sini, semalaman.
Kadang aku benar-benar melakukan sesuatu, kadang juga aku hanya sekedar melamun, membayangkan sesuatu yang mungkin bisa menghibur diriku di tengah sunyinya malam hari.
"Pft." Aku terkekeh sesaat. Lucu rasanya bisa bernostalgia seperti ini. Membayangkan tentang bagaimana aku melalui saat-saat remajaku dahulu. Masa-masa yang paling berkesan dan membekas di hidupku.
Benar juga. Berbicara tentang nortalgia, rasa-rasanya ada sesuatu yang dahulu pernah aku taruh di sekitar sini. Sesuatu yang sengaja aku niatkan untuk aku buka kembali suatu saat nanti. Tapi di mana, ya? Aku tidak bisa mengingatnya. Sudah terlalu lama sejak terakhir kali aku menyentuh benda tersebut.
Aku pun mencari-carinya, menggeledah setiap tempat yang bisa dijangkau, namun hasilnya nihil, aku tidak bisa menemukannya di manapun, di sekitar sini. Apakah jangan-jangan, benda itu tidak sengaja terbuang olehku sendiri? Tapi jika mengingat bagaimana ukuran benda tersebut, rasanya mustahil jika aku sampai tidak sengaja membuangnya. Benda itu tidak kecil, pun juga tidak terlalu besar rupanya. Sedang, dengan bentuk efisien yang muat hampir di segala tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Suara
Teen FictionSuara Hanum Maheswari. Suara, begitulah namanya dipanggil. Tahun ini segalanya terasa baru untuk Suara. Tempat tinggal baru, teman-teman baru, lingkungan baru, dan status mahasiswa baru. Menjadi seorang mahasiswa menurut Suara bukan hanya ketika nam...