Happy Reading
***Lari!
Terus berlari!
Dengan kaki pendek yang kumiliki, aku terus berlari. Yah, untuk sekarang hanya ini yang bisa kulakukan: berlari tanpa arah yang jelas dengan pikiran yang hanya terdapat sebuah harapan bahwa sosok pria botak berbaju hitam yang mengejar tidak akan bisa menangkapku.
Entah sudah berapa jauh dan berapa lama aku berlari, kakiku yang tanpa dialasi apa pun masih melangkah di bawah langit malam distrik Jung, salah satu distrik terkecil di Kota Busan. Sudah sembilan tahun aku tinggal di sini, bersama kedua orang tuaku tentunya. Dan aku sendiri adalah anak tunggal. Tapi tak jauh dari tempatku tinggal ada keluarga dari pihak ibu yang tinggal di sana sehingga tak jarang aku bermain dengan sepupu yang sudah seperti saudara kandung bagiku.
Embusan napas berat ke luar dari mulut bersamaan kakiku yang berhenti di tempat. Aku menoleh ke belakang, hendak memastikan apakah pria yang juga membawa pisau masih mengejar atau tidak. Dadaku terasa begitu sesak, seakan-akan telah kehabisan oksigen. Dengan kedua tangan yang bertopang pada lutut, aku berusaha mengontrol napas sambil sesekali menoleh ke belakang.
Sungguh! Aku sangat ketakutan sekarang. Tapi juga yang terus membuatku bertanya-tanya adalah: kenapa di tempat ini begitu sepi? Seolah-olah semua orang telah lenyap, tersisa aku sendiri yang sedang dikejar-kejar oleh pria berdarah dingin.
Ketika samar-samar mendengar langkah kaki, kepalaku langsung berputar mencari tempat persembunyian. Mataku menangkap sebuah jalan sempit yang tak jauh di sebelah kanan. Segera aku berlari kecil ke tempat itu dan bersembunyi di balik tumpukan kardus juga tumpukan peti kemas.
Mulut kututup menggunakan kedua tangan sambil terus mengucap doa dalam hati. Jantungku yang malang masih berdetak cepat, keringat dingin terus berkeluaran di sekujur tubuh. Dan parahnya, sekarang aku ingin menangis, apalagi saat mengetahui bahwa langkah kaki sosok itu berhenti di ujung jalan.
Bagaimana ini? Itu adalah satu-satunya jalan keluar.
Dengan kehati-hatian aku mengintip lewat celah kardus. Ya, itu adalah dia. Beruntung di tempatku bersembunyi tidak ada lampu yang menerangi, membuatku masih memiliki harapan untuk tidak tertangkap olehnya.
Terlihat dia mengambil ponsel di kantong celana dan menjawab panggilan setelah terdengar nada panggilan.
Ah! Kenapa dia harus berdiri di sana ketika menjawab panggilan? Sialan! Tidak tanggung-tanggung aku merutukinya dalam hati.
Sekitar sepuluh menit berlalu. Dapat kurasakan bahwa sebelah kakiku mulai kesemutan. Tapi beruntung napasku sudah kembali normal hingga masih memungkinkan bagiku untuk berlari –jika mengharuskan untuk berlari.
Kulihat dia kembali mengantongi ponselnya. Ia melangkah pergi sambil membawa pisau dengan darah yang menetes-netes.
Apakah ini kesempatanku? Berulang kali pertanyaan itu terlintas di kepalaku.
Dengan keraguan, mata besarku terus mengamati lewat celah kardus. Sampai satu menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kehadirannya lagi. Ya, mungkin inilah saatnya.
Aku berdiri, berjalan mengendap-endap sambil terus berharap tidak menimbulkan suara apa pun. Secara sekilas aku menoleh ke kanan, di mana pria itu melangkah pergi. Kosong. Kemudian menoleh ke kiri yang ternyata juga tak ada siapa pun.
Aku mengembuskan napas lega.
Akan tetapi, semua ini ternyata tidak semudah yang kupikirkan.
Aku terperanjat kaget saat mendengar langkah kaki dari arah kanan yang begitu cepat dan langsung membekap mulut beserta pisau yang diarahkan ke leherku. Jantungku kembali berdetak tak karuan. Aku tampak kalut. Aku tidak bisa melawannya. Kurasakan kesadaranku semakin lama semakin menghilang. Ah... Apa dia memberikan obat bius pada kain yang membekap mulutku ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHO | Vol.1 [Revisi]
Mystery / Thriller(16+) Terdapat adegan kekerasan dan bahasa-bahasa kasar - Be Careful Honey - Kini aku sadar, itu adalah perkenalan singkat pembawa petaka yang dampaknya terasa hingga sekarang. Mereka, orang-orang yang kusayangi dan telah menjadi bagian dalam hidup...