Chapter : 6

360 97 93
                                    

Happy Reading
***

Author POV

Dia terus berjalan mondar-mandir di lorong rumah sakit yang sepi. Hanya dia sendiri di sana, ‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍ditemani perasaan khawatir serta harapan yang begitu besar menjadi satu dalam benaknya.

Rambut hitam serta pakaiannya telah basah dan tanpa disadari membuat lantai lorong menjadi basah akibat tetesan air dari pakaian santainya.

Jeno mengembuskan napas berat, tampak sedikit gemetar –merasa kedinginan serta merasa takut. Ia memandang ke dalam ruangan melalui kaca kecil pada pintu. Ia hanya bisa terus berharap yang terbaik untuk keselamatan adiknya yang kini sedang menjalani pemeriksaan.

Tapi, sayang. Saking khawatirnya dengan sang adik, ia sendiri tidak memerhatikan bagaimana keadaannya sekarang. Luka yang ia dapati sama sekali belum mendapatkan pengobatan. Jika sudah seperti ini, agaknya Jeno tak lagi memikirkan keadaannya sendiri, karena di pikirannya hanya terdapat nama sang adik.

Jeno berhasil menceburkan diri ke dalam kolam yang berarti ia "selamat" dari si laki-laki psikopat. Maka dengan begitu, seharusnya Seo Yoon pun tak perlu khawatir lagi bagaimana keadaan Jeno. Tapi untuk sekarang, malah kebalikannya, Jeno-lah yang kini mengkhawatirkan gadis itu.

Beruntung Jeno berhasil lepas dari sosok Daniel. Ketika ia kembali ke permukaan bersama Seo Yoon dalam pelukannya, ia tak lagi menemukan Daniel yang sebelumnya terkapar di dekat kolam. Entah sosoknya pergi ke mana, namun dengan begitu Jeno jadi lebih mudah untuk menghubungi bantuan tanpa harus adu fisik dengan sosok Kang Daniel.

Jeno menduduki bangku panjang di sisi lorong, menautkan kedua tangannya yang lembab di depan kening. Sambil memejamkan mata, ia terus berdoa di dalam hati. "Aku yakin kau pasti baik-baik saja, Seo," gumamnya di akhir doa.

Jeno mendongak, menoleh ke kanan setelah mendengar pintu ruang pemeriksaan itu terbuka. Ia berdiri dan menghampiri sang dokter yang menggunakan masker medis.

Secara sekilas dokter itu melirik Jeno yang tergesa-gesa mendatanginya.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Jeno harap-harap cemas.

Sejenak sang dokter menatap, sekaligus mengamati keadaan laki-laki muda itu. "Apa kau adalah keluarganya?" tanyanya dan Jeno mengangguk cepat. Dokter itu mengangguk paham. "Kondisi pasien sempat menurun karena air yang masuk ke paru-parunya cukup banyak, tapi sekarang kondisinya sudah membaik dan kita tinggal tunggu kesadarannya."

Pandangan Jeno berangsur turun hingga kepalanya menunduk sempurna. Matanya mengarah pada lantai dengan air yang menetes dari celananya.

"Aku ingin menanyakan sesuatu," ucap dokter dan Jeno mendongak. "Apa ketika pasien diselamatkan, ada yang memberinya pertolongan pertama?"

"Ya, saya sendiri," jawab Jeno. "Saya ada memberinya napas buatan dan... memberikan tekanan pada dadanya." Ia menggeleng pelan sambil melanjutkan, "Tapi sayang, sepertinya tidak berdampak apa pun karena saya sendiri tidak berpengalaman dalam hal itu."

"Apa yang sudah kau lakukan sungguh baik dan cukup membantu walau tidak terjadi saat itu juga." Dokter menyentuh bahu anak itu. "Setidaknya kau sudah berusaha," katanya menenangkan dengan menepuk pelan bahu Jeno.

"Kapan... adik saya akan sadar?" Walau entah akan dijawab atau tidak, tapi setidaknya Jeno mencoba untuk bertanya. "Apa Anda bisa mengiranya, Dok?"

"Kami masih belum bisa memastikannya." Jawaban dokter membuat kedua bahu Jeno merosot, harusnya dia sudah tahu tentang itu. "Tapi sekarang kau sudah bisa lebih tenang, karena tahu bagaimana keadaannya saat ini. Percayalah, cepat lambat dia akan sadar."

Jeno mengangguk pelan, berusaha untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menunggu. Ya, hanya itu.

"Apa saya boleh menemuinya?" tanya Jeno.

"Silakan." Dokter itu mengizinkan. Tangan kanannya mengarah ke tubuh Jeno, bergerak dari atas sampai bawah. "Nanti aku akan menyuruh perawat untuk mengobati lukamu."

"Terima kasih, Dok." Jeno melihat sang dokter melenggang pergi bersama dua perawat yang tadi turut membantunya mendorong bangsal. Ia menatap pintu kamar lalu segera masuk. Tetapi langkah kakinya menjadi pelan sesaat melihat Seo Yoon yang terbaring tak berdaya di sana.

Sosok jangkungnya berdiri tepat di sebelah kanan Seo Yoon. Ia menatapnya sendu. Di dalam hati ia mengutuk sosok Daniel. Tak hanya itu, ia pun merasa menyesal karena tidak menemani sang adik dari awal dan malah berfokus pada tugas akhir yang padahal masih bisa ia kerjakan di lain waktu.

Aku begitu egois, batinnya. Terlihat kedua matanya memerah, menampung air mata yang siap jatuh kapan saja. "Maafkan aku, Seo..."

Jeno menghempaskan tubuhnya pada bangku. Ia tak mempedulikan bagaimana rasa dingin yang menyesak di dada. Tatapan penuh rasa bersalah ia terus tujukan pada sang adik yang memakai alat bantu pernapasan.

Tangan Jeno yang dingin memegang tangan milik gadis yang sama dinginnya. Sambil mengusapnya menggunakan jempol, ia berucap, "Seo Yoon, maafkan kakak sepupumu ini." Suaranya terdengar serak. Ia menghela napas pelan. "Tolonglah kau bangun ... Aku... Aku tidak mau kehilanganmu. Kau adalah termasuk sosok yang begitu kusayangi di dunia ini." Senyuman pedih tampak di bibir pucatnya. "Tanpa kuberitahu pun... kau pasti sudah mengetahuinya."

Jeno menundukkan kepala, menempelkan keningnya pada punggung tangan Seo Yoon yang bebas dari selang infus. Begitu memejamkan mata, air yang sejak tadi telah tertampung, akhirnya meluncur dari sudut mata.

"Waktu itu kau pernah berjanji padaku kalau kau akan datang ke acara wisudaku." Jeno memejamkan matanya kuat-kuat, ingin menghilangkan air mata yang menutupi pandangan. "Kau pun mengatakan padaku kalau kau ingin berjalan-jalan, terutama pergi ke pantai..." Ia tertawa miris. "Kau ingatkan? Maka dari itu, ayo kau bangun. Jika kondisimu sudah memungkinkan... aku akan mengajakmu ke sana, dan tentu ke semua tempat yang kau inginkan."

Jeno adalah sosok yang memang banyak bicara. Di setiap harinya, ia selalu berusaha untuk membentuk sebuah percakapan yang menyenangkan bersama Seo Yoon. Selain karena Seo Yoon saja yang ada di dekatnya, ia pun ingin membangun relasi yang baik dengan adiknya dan alhasil pertikaian sangat jarang terjadi di antara mereka.

Jeno yang selalu menyenangkan dan Seo Yoon yang bisa memahaminya. Dengan memiliki dua sifat itu saja bagi mereka bisa membentuk sebuah kebahagiaan yang tak terkira.

Tidak tahu sudah berapa lama Jeno dalam posisi seperti itu. Matanya masih memerah, namun tak lagi mengeluarkan air mata. Embusan napas berat ke luar dari bibirnya dan itu yang entah ke berapa kali. Masih dengan setia tangannya mengusap-usap punggung tangan sang adik.

Tidak pernah hal ini terpikirkan dalam benak sosok Lee Jeno. Itu jugalah yang membuatnya kalut. Ia tak tahu harus melakukan apa lagi selain menunggu. Karena di New York ia hanya tinggal bersama Seo Yoon, membuatnya tidak tahu harus memberitahukan hal ini kepada siapa. Kalau kepada ibunya yang berada di Korea, Jeno merasa ragu. Ia tidak mau membuat sang ibu begitu cemas, apalagi sampai nekat untuk terbang ke tempat yang hitungannya cukup jauh dari Korea.

Jeno menoleh ke pintu ketika seseorang mengetuk kemudian membuka pintu tersebut. Terlihat seorang wanita berpakaian perawat berdiri di sana.

"Permisi, apakah Anda yang diberi janji oleh Dokter Hendery untuk mendapat pengobatan?"

Agak canggung, Jeno berdiri. Ia mengangguk singkat. "Iya."

Sang perawat mengulas senyum. "Tolong ikut saya sekarang," katanya lalu keluar dari ruangan.

Jeno masih pada tempatnya. Pandangan sayunya berpindah lagi pada Seo Yoon. Gadis itu terlihat tenang, tapi Jeno bisa rasakan bagaimana sesaknya ketika Seo Yoon menarik dan mengembuskan napas. Ia tersenyum tipis. Sekali lagi ia mengelus lembut kepala sang adik. "Aku akan segera kembali."







***
To Be Continued
(R: 29-05-22)

PSYCHO | Vol.1 [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang