Happy Reading
***Pernahkah kalian membayangkan, bagaimana rasanya akan ditinggal oleh seorang yang pernah menjadi bagian di hidupmu? Bukan ditinggal tuk sementara, tapi tuk selamanya.
Bagaimana rasanya? Pasti sangat menyakitkan, bukan?
Untuk kedua kalinya perasaan itu kembali kurasakan. Rasa sesak di dada, air mata yang menuntut untuk terus keluar dari mata yang telah memerah, serta badan yang lemas melebihi tidak mendapat asupan makan satu hari penuh.
Mark ditabrak oleh pengendara mobil yang sialnya langsung meninggalkan tempat kejadian. Seketika lalu lintas menjadi tersendat, orang-orang yang sama histerisnya mulai mengerumuni dan beberapa di antaranya berseru untuk memanggil ambulan.
Kaki kananku terasa ngilu namun beruntung tidak sampai terjatuh, membuatku bisa sampai di samping tubuhnya. Aku langsung duduk bertimpuh, menakup wajahnya yang berdarah-darah. Memandang wajah yang sialnya masih menampilkan senyuman kecil, seolah berkata "i'am fine". Bisa-bisanya kau!
"Mark... Mark! Kau mendengarku, kan? Kau harus bertahan!" seruku seperti orang gila. Kedua pundaknya kupegang erat-erat sambil terus meneteskan air mata. "Tunggu sebentar, Mark... Bantuan akan segera datang."
Dengan matanya yang hampir menutup, Mark terus memandangku. Dan membuatku terkejut ketika tangan kirinya terangkat, memegang pipiku sambil menghapus air mata yang meluncur menggunakan jempolnya.
"Don't cry, baby."
Kau malah membuatku semakin ingin menangis, Mark! Lebih baik kau diam saja!
"Bagaimana bisa aku tidak menangis, ha?" kataku kesal dengan menggenggam tangannya di pipiku. "Tunggu sebentar... Dan lebih baik jangan banyak-"
"I... love you..."
Sempat-sempatnya dia... Hei, berhenti tersenyum seperti itu!
Aku terisak satu kali dan turut mengatakan hal yang sama, "I love you too."
Sudut bibirnya terangkat, membuat giginya yang juga terdapat darah bisa kulihat. "Terima kasih... Seo Yoon. Terima kasih sudah bersamaku, bahkan... sampai detik ini...," ucapnya nyaris tak terdengar.
Aku menggenggam tangannya yang ada di atas perut. Biarlah noda darah mengotori tanganku, aku tidak peduli. Selagi aku masih di sampingnya, apa pun akan kulakukan dan supaya dia pun percaya kalau aku akan selalu ada di sisinya. "Mark..."
Kuelus rambut pirangnya yang bercampur darah. Luka yang didapatnya begitu parah. Keningnya, kepala bagian belakang, hidung serta kupingnya turut mengeluarkan darah. Dan kalau saja ia tidak memakai jaket, bisa dipastikan tangannya pun akan terluka, tergores jalanan aspal.
Tatapan Mark tak mengarah kepadaku lagi, dan kalau tangannya tidak kutahan kemungkinan juga akan jatuh. Aku tahu semuanya sudah berakhir. Ia telah pergi.
Suara tangisku semakin keras. "Mark! Kau jangan pergi! Bukankah kau tadi berjanji akan menjagaku? Kau jangan pergi. Jangan meninggalkanku Mark...!"
Walau tidak berdampak apa pun, aku mengguncang tubuhnya. Kedua tangannya kugenggam erat-erat. Aku menunduk, air mata tak henti-hentinya keluar bersama rasa sesak yang teramat dalam.
"Ka- kau minta agar hubungan kita kembali, kan? Ayo... kita perbaiki semuanya...," lirihku. Rasanya sangat bodoh baru sekarang aku mengatakannya. Aku sangat ingin melihat senyuman bahagia di bibirnya begitu aku mengatakan hal itu. Tapi sekarang... "Aku minta maaf. Dan... terima kasih untuk semuanya, Mark..."
Dengan perasaan tidak percaya bahwa dia telah pergi, aku menaruh kedua tangannya di atas perut. Mendekatkan diri, mengelus rambutnya sebentar kemudian mencium keningnya.
Bertepatan aku yang masih memandanganya, dari kejauhan terdengar sirine ambulan dan semakin dekat ke arah tempat kejadian. Kini saatnya aku sungguh-sungguh berpisah dengannya. Seorang petugas mendekati, memegang lenganku dan menyuruhku untuk menjauhi... Mark.
Aku yang berdiri lesu di antara orang-orang lain sudah seperti mayat hidup. Napasku bergetar dan kuyakin hidungku sekarang memerah, seperti badut festival. Satu tanganku memegang siku, dan meninggalkan bercak darah di baju lengan panjangku.
Bukan ini yang kuinginkan. Ya, tentu saja. Hari yang ingin kuingat sebagai hari yang membahagiakan bersama Mark, pupus begitu saja. Malah pada akhirnya hari ini aku berpisah dengannya. Bukan untuk sementara seperti beberapa waktu lalu, tapi untuk selamanya.
Secara tiba-tiba dari arah belakang terdapat seseorang yang menutup mataku. Aku diam saja, tidak ada tenaga lagi untuk melawan atau sekadar membuka mulut. Kalaupun itu adalah Daniel, aku tak peduli. Memang apa yang akan dilakukannya di tempat umum seperti ini?
"Cukup, Seo Yoon. Tidak usah kau lihat lagi."
Samar-samar aku mendengar suara sosok itu di antara ramainya orang-orang. Mobil ambulan sudah meninggalkan tempat kejadian kemudian sosok itu menurunkan tangannya, dan tentu pandanganku tak lagi menemukan Mark.
Kaki ku perlahan bergerak menghadap kepadanya. Perasaan sedih yang tadinya mulai mereda kembali lagi begitu aku menatap matanya. Kedua tanganku terbuka untuk memeluknya erat. "Jeno...," lirihku bersamaan air mata yang menetes lagi.
"Dia sudah tenang di sana," ucap Jeno. Ia mengelus belakang kepalaku. "Dan seperti inilah jalan yang ia lalui."
"Ini semua pasti ada sangkut pautnya dengan laki-laki psikopat itu!" ucapku kesal dengan suara meredam karena masih memeluknya erat.
Jeno menggeleng pelan. "Tidak ada yang tahu, Seo Yoon."
Kata-kata Jeno seolah tidak menyetujui yang ku katakan tadi. Memang belum pasti siapa pelakunya tapi untuk sekarang hanya Daniel lah yang patut dicurigai.
Aku langsung melepaskan pelukan kemudian menatapnya lamat-lamat. "Aku sangat yakin!" tegasku, sementara Jeno hanya menatapku dengan raut prihatin.
Embusan napas berat aku keluarkan, kembali menatap ke jalanan dengan bibir sedikit bergetar serta kedua kaki yang seperti tak mampu lagi untuk menapak. Beberapa saat aku memerhatikan jalanan dengan banjir darah di atasnya sampai aku menemukan sesuatu.
Seperti ada yang memintaku untuk mendekati benda itu, aku pun berjalan kemudian berjongkok hendak memungut. Tangan kananku terhenti di udara ketika melihat foto dengan noda es krim cokelat yang telah kering di atasnya.
Jujur, kini rasa cokelat tidak lagi menjadi rasa favoritku. Kalaupun itu adalah rasa terakhir di dunia, aku tidak akan mau memakannya.
Akhirnya aku mengambil foto tersebut lalu membaliknya, membuat mulutku otomatis terbuka. Satu tetes air keluar dari sudut mata bersamaan napasku yang memburu.
"Ada apa?" Jeno tiba di sampingku, turut melihat apa yang kulihat. "Foto ini dari mana?" tanyanya heran.
Aku menggeleng pelan. "Entahlah, tapi... aku rasa foto ini Mark sendiri yang membawanya."
Kedua alis tebal Jeno tertekuk dalam. "Bagaimana mungkin dia membawa fotonya sendiri yang sudah dicoret-coret seperti ini?" ucapnya. "Dan juga, apa mungkin dia sendiri yang mencoret-coretnya? Untuk apa? Lagi pula, bukankah orang yang di foto itu adalah kau dan dia?"
Ya, foto dengan coretan tinta merah diambil ketika aku dan Mark sedang makan bersama di kafe. Seingatku itu beberapa bulan lalu, di saat aku dan dia masih berpacaran.
Tunggu... apa ini ada kaitannya dengan loker di kampus? Dan juga... peringatannya yang dia tulis di cermin kamarku?! Ah, Daniel kau sangat keterlaluan!
"Aku rasa... ini ada hubungannya dengan foto di lokerku tadi pagi," kataku pelan. Mata kupejamkan sejenak, ingin menghilangkan bulir-bulir air mata yang menghalangi pandangan. Aku menoleh pada Jeno yang sedang menampilkan raut muka tak mengerti. "Nanti akan kuceritakan semuanya."
Aku terisak satu kali dan itu yang membuat Jeno merangkulku. Aku perhatikan foto hingga kutemukan sesuatu di ujung foto yang sedikit tertutup oleh jariku.
Dan seperti yang sudah ku terka dari awal, ini memanglah perbuatan sosok Kang Daniel, terbukti dari singkatan namanya yang berada di ujung foto. DNL.
***
To Be Continued
(R: 01-07-22)
KAMU SEDANG MEMBACA
PSYCHO | Vol.1 [Revisi]
Gizem / Gerilim(16+) Terdapat adegan kekerasan dan bahasa-bahasa kasar - Be Careful Honey - Kini aku sadar, itu adalah perkenalan singkat pembawa petaka yang dampaknya terasa hingga sekarang. Mereka, orang-orang yang kusayangi dan telah menjadi bagian dalam hidup...