10. Jurit Malam

49 3 0
                                    

"Arya."

Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Apa aku bermimpi?

"Arya!"

Aku terbangun dan melihat Yohan di sebelahku. Apa dia yang membangunkanku? Ada apa? Aku melihat ke sekeliling, hari masih gelap dan hujan masih turun dengan derasnya. Jam berapa sekarang? Sebelas? Dua belas?

"Arya, bangun." Desak Yohan. Tidakkah dia melihat aku sudah membuka mataku?

"Ada apa?"

"Sekarang sudah lewat tengah malam, dan Theia belum kembali."

Aku melihat matras Theia kosong. "Kau mau mencarinya?"

Yohan mengangguk. "Temani aku. Kau orang terakhir yang melihatnya."

Sebenarnya aku kesal karena dia selalu menuduhku seperti ini, tapi berhubung aku juga khawatir, aku ikut.

"Apa kita tidak mengajak yang lain?" Tanyaku.

"Entahlah, kurasa tidak perlu."

Rupanya meskipun Yohan selalu mencurigaiku, dia masih lebih percaya padaku daripada murid-murid yang lain?

Kami mengambil senter, lalu keluar kelas diam-diam. Di saat-saat seperti ini aku berharap hujan berhenti, karena kami tidak dapat mendengar apa-apa selain suara hujan.

"Apa sebaiknya kita tanya pak Hendra? Bagaimanapun juga dia yang terakhir kali bersama Theia." Usulku.

Yohan menggeleng.

"Kenapa? Kau tidak mau mengajak yang lain mencari Theia, dan kau tidak mau bertanya ke pak Hendra."

"Arya, jangan bodoh. Sudah kubilang jangan percaya siapapun. Kalau hari ini Theia tidak ketemu, baru besok kita tanya pak Hendra."

Aku tidak mengerti apa maksudnya tapi aku menurut saja.

Kami mulai mencari di lantai dua. Lantai dua terdiri dari kelas-kelas dan ruang musik. Kami masuki ruangan-ruangan tersebut satu per-satu, nihil. Aku memastikan memeriksa dengan teliti semua ruangan, bahkan setiap sudut lorong. Apa Theia tidak di sini?

"Kau mau berpencar?" Tanyaku. Lagi-lagi Yohan menggeleng.

"Tetap bersamaku."

Kata-katanya membuatku menafsirkan banyak hal. Sebenarnya dia membenciku atau tidak? Aku bingung dengan sifatnya yang berubah-ubah terhadapku. Tapi sekolah yang gelap dan suara hujan yang deras membuat suasana sekarang semakin mencekam, mungkin memang sebaiknya kami tidak berpencar.

"Ini aneh," Yohan menatap ke luar jendela. "Apa kita periksa ke lantai tiga dulu? Kau sudah cek di belakang tangga? Toilet?"

"Aku sudah memeriksa semua tempat, bahkan tempat-tempat yang menurutku tidak masuk akal. Tidak ada."

Kami sama-sama menghela nafas dengan putus asa lalu naik ke lantai tiga. Di lantai tiga selain ruang-ruang kelas, juga ada banyak ruangan lain seperti lapangan indoor, perpustakaan, dan ruang komputer. Akan lebih sulit mencarinya di lantai ini.

"Kurasa kita harus mencoba memanggil namanya." Ujarku. "Siapa tahu dia mendengar."

Yohan mengangguk. "Tapi pelankan suaramu."

Kami mulai mencari ke ruang-ruang kelas dan ruang-ruang kecil lainnya sebelum ke perpustakaan. Perpustakaan kami cukup besar dan banyak rak-rak buku, kami harus memeriksa setiap lorongnya. Saat kami masuk ke perpustakaan, petir tiba-tiba menggelegar dan aku refleks berteriak kaget. Yohan buru-buru menutup mulutku.

"Siapa?" Seseorang keluar dari kegelapan, tapi sayangnya bukan Theia.

"L?" Ujarku. Sedang apa dia sendirian di sini saat subuh? Aku serasa deja vu, sering sekali rasanya L muncul tiba-tiba seperti ini.

L menyalakan senter di ponselnya dan menghampiri kami. "Apa yang kalian lakukan di sini?"

Yohan mendengus. "Seharusnya kami yang bertanya."

L kemudian tampak berpikir. "Ah, kalian mencari Theia? Kalau begitu kita sama."

"Kau sudah mencari di sini?" Yohan mengedarkan sinar senternya ke segala arah.

"Aku sudah mencarinya di semua lantai. Kupikir aneh juga dia tidak kembali ke kelas meskipun sudah selarut ini."

"Sial." Yohan mengumpat dan mengacak-acak rambutnya.

"Tapi ada yang aneh." L lanjut berbicara. "Saat aku di lantai satu, aku mendengar suara berisik. Kukira berasal dari ruang guru atau ruang multimedia, dimana para guru tidur. Tapi kalian tahu suara itu berasal dari mana?"

"Dari mana?" Ujarku dan Yohan nyaris bersamaan.

"Lab kimia."

"Kau membuatku takut." Aku mengusap-usap kedua lenganku, bulu kudukku berdiri mendengar perkataannya.

"Menurutmu dia di sana?" Tanya Yohan.

"Atau mungkin suara tikus, aku tidak yakin. Aku sudah mengintip ke ruang guru, guru-guru sudah tertidur pulas. Kurasa tidak mungkin Theia hilang begitu saja, kecuali dia kabur."

"Tidak mungkin." Balas yohan cepat. "Barang-barangnya masih di kelas, bahkan ponselnya juga."

"Entahlah, apa dalam situasi ini kau memerlukan itu semua?"

Yohan diam saja untuk beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Aku mengenalnya dengan baik, dia tidak mungkin seberani itu untuk kabur. Terlebih lagi keluarganya tidak ada kabar, dia pasti berpikir lebih baik di sini bersama yang lain daripada pulang dengan sia-sia."

Entah kenapa kalimat terakhirnya seperti menggelitikku juga, tapi kubiarkan.

L mengangkat bahu. "Kurasa besok pagi kita harus lapor guru."

Kami lalu kembali ke kelas untuk tidur, tapi kurasa tidak ada satupun dari kami yang bisa tidur. Ini semua terlalu tiba-tiba dan aneh, ke mana sebenarnya Theia?

Saat pagi datang, aku, Yohan, dan L segera pergi ke ruang guru. Kami lapor pada guru-guru yang ada di sana perihal hilangnya Theia. Mereka terlihat kebingungan.

"Terakhir kali Theia menemui pak Hendra?" Ujar Ms. Wahyu. Kami mengangguk.

"Kalau begitu kita tanya pak Hendra. Ayo kita ke ruang multimedia."

Aku selalu penasaran kenapa pak Hendra selalu tidur terpisah dengan guru-guru yang lain. Ruang multimedia dan lab kimia berjarak dekat, apa pria itu tidak takut? Ada sekitar dua puluh mayat di sana.

Ms. Wahyu mengetuk pintu ruang multimedia dan tidak perlu waktu lama untuk pak Hendra membuka pintu.

"Ada apa ini?" Ujarnya.

"Kemarin apa yang bapak bicarakan dengan Theia? Kata anak-anak sejak menemui bapak Theia belum kembali ke kelas, dan sampai sekarang tidak bisa ditemukan."

Pak Hendra menaikkan sebelah alisnya. "Kalian yakin sudah mencari di semua lantai?"

Kami bertiga mengangguk. "Aneh sekali jika kami berada di satu gedung tapi tidak bisa menemukannya." L yang berkata.

Pak Hendra menghela nafas. "Kemarin saya bicara padanya. Berhubung Theia menunjukkan gejala batuk, saya bermaksud mengirimnya ke pusat karantina. Saya dengar di luar sana mereka yang menunjukkan gejala batuk namun belum parah harus di karantina dan tes darah. Apa jangan-jangan dia takut dan kabur ke rumah?"

Yohan menggeleng. "Barang-barangnya masih di sini."

"Bisa saja dia kabur tanpa memikirkan barang-barangnya. Kau sudah coba menghubunginya?"

"Ponselnya juga masih di sini."

Pak Hendra tampak berpikir keras. "Baiklah, panggil murid-murid yang lain, kita cari Theia sekali lagi."

Dari pagi hingga siang, kami mencari Theia. Mau dicari bagaimanapun, gadis itu tetap tidak ketemu. Pak Hendra akhirnya mengumpulkan kami semua di lapangan indoor.

"Anak-anak, kita telah kehilangan Theia. Untuk sekarang kami beranggapan bahwa Theia telah kabur. Di luar sana lebih bahaya daripada di sini, saya harap tidak ada lagi yang kabur. Kita berdoa saja semua ini cepat selesai.

+++

Suspicious NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang