[Nama Kampungan!]

338 60 79
                                    

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

"Percayalah, ada arti dari
sebuah nama"

-Neng Muala-

🌺🌺🌺🌺🌺🌺

"Fatimeh ... huuu ... nama kampungan!"

"Siti ... cih, nama pasaran!"

"Dih, Sucipto ... nama apaan ?"

Sebagian dari anak-anak berseragam merah putih itu sangat suka mengolok-olok. Aku termasuk korbannya, tapi omongan mereka tak pernah bertahan lama masuk di telinga. Hanya masuk lewat telinga kiri dan keluar lewat telinga kanan.

Entah, apa keuntungan mengolok-olok sebuah nama. Aku pun tak suka dengan nama Siti Fatimah yang tersemat ini. Kampungan!

Ya ... aku menyadari jika nama Siti Fatimah kampungan, tapi tak akan pernah kubiarkan mereka bahagia melihat teman-teman lainnya menderita.

Ada dua kubu di kelas. Golongan yang memiliki nama modern dan golongan yang mempunyai nama kampungan. Itu kata mereka. Bagiku nama-nama yang mereka bilang modern, malah berkesan NORAK!

Sucipto bermuram durja. Cowok berkulit putih itu duduk tepat di sampingku. Kami berteman cukup akrab. Mungkin bisa dibilang sahabat.

"Apa aku minta ganti nama aja, ya, Tim?" tanya Sucipto yang terlihat semakin lesu mendengar setiap hari namanya diolok-olok.

"Aish ... enggak usah didengerin, lagian cowok kok lemesan ... kayak cewek aja!"

Aku berusaha memberikan suntikan semangat. Meskipun sepertinya terdengar terlalu kasar, menyamakan Sucipto seperti perempuan, tapi memang benar adanya. Cowok berkulit putih dan berbibir tipis itu pasti akan terlihat sangat cantik Ketika dipakaikan kerudung.

Selain secara fisik, Sucipto juga memiliki kepribadian yang lebih cocok dimiliki perempuan. Mudah menangis, ya ... bisa dibilang cengeng. Selalu berkata lembut, berbeda dengan teman laki-laki lainnya yang suka berkata kasar. Pendiam, hanya berbicara jika ada hal yang penting. Ah, kalau saja dia memang benar-benar perempuan pasti akan menjadi primadona.

"Ye ... aku cowok tulen, ya. Sembarangan aja disama-samain kayak cewek!" Sucipto melengos. Usahaku membuatnya kembali bersemangat sepertinya belum berhasil.

Gerombolan orang tukang nyinyir memasuki kelas. Mereka memang jauh di seberang tempat aku dan Sucipto duduk, tapi lirikan itu tertuju kepada kami. Sinis. Kebencian memenuhi relung hati.

Salah seorang perempuan bertubuh tambun berbicara lantang, lalu disusul dengan laki-laki berpawakan tinggi dan kurus. Keduanya seakan memainkan drama di kelas. Ya, mereka berdua termasuk dalam gerombolan tukang nyinyir.

"Oh ... Romeo jangan biarkan mereka menghina kesucian cinta kita." Si perempuan tambun duduk di atas meja, mungkin baginya dia berada di balkon rumah. Tempat Romeo dan Juliet saling berbagi kisah cinta.

Percaya atau tidak ... di Verona, Italia ada sebuah bangunan yang dijuluki rumah Juliet. Di teras bangunan berdiri patung Juliet yang terbuat dari perunggu, karya Nereo Costantini pada tahun 1969.

Patung Juliet itu berupa seorang gadis yang tersipu. Tangan kirinya diangkat menyilang di dada. Tangan kanannya mengangkat bagian bawah gaun, membuat telapak kakinya terlihat.

PANGGIL AKU FATIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang