Chapter 1 : Kerasnya kehidupan

24 3 0
                                    

Chapter 1

                     Kerasnya kehidupan

Lagi-lagi pemandangan tak mengenakan kembali menghambat jalan-jalan soreku yang santai, kulihat seorang gadis kecil pengemis sedang dimarahi oleh seorang laki-laki dewasa, tak hanya memarahi tapi laki-laki itu mulai mengangkat tubuh kecil gadis itu dengan mencekik lehernya dan memberikan pukulan yang cukup keras di kepala hingga membuat kepala gadis itu mengeluarkan darah.
Pemandangan seperti inilah yang paling membuatku marah, tak seharusnya orang dewasa melakukan perbuatan seperti apalagi terhadap seorang pengemis kecil.

“Hei apa yang kau lakukan ...?” teriakku.
“Gawat, jika terus di sini aku akan terseret ke dalam masalah yang lebih panjang,” resah pria itu.

Karena melihatku, pria tersebut melempar gadis itu hingga tubuhnya membentur dinding beton dengan sangat keras lalu kabur tanpa sepatah kata pun lagi.
Karena panik aku segera menghampiri gadis kecil itu. Penampilannya benar-benar sangat memprihatinkan, ia hanya mengenakan kaos putih yang sudah compang-camping tanpa mengenakan celana dan duduk diam memeluk lututnya sembari di temani mangkok yang sama sekali tidak ada uang pemberian dari orang yang lalu-lalang, mangkok tersebut hanya terisi oleh tutup kaleng dan berbatuan kecil. Sekarang aku tahu alasan pria tadi menghampiri gadis ini, tak bisa kubayangkan bahwa ada orang yang begitu tega merampas uang dari pengemis.
Aku tak bisa melihat wajah gadis kecil ini karena dia duduk memeluk lututnya sembari membenamkan wajahnya, rambut panjang sebahu berwarna perak yang sangat tidak terawat menghiasi kepalanya, seluruh tubuhnya benar-benar sangat lusuh dan kotor.

“Kau baik-baik saja? Pria tadi memperlakukanmu dengan sangat buruk,” tanyaku.

Gadis kecil itu tak menjawab. Saat kusentuh tangannya, seketika tubuhnya gemetar seolah mengalami trauma yang mendalam, hatiku benar-benar terpukul melihat gadis yang kuperkirakan masih berusia dua belas tahun bernasib seperti ini.

“Kau pasti lapar, aku membawa sedikit makanan, ambillah!” pintaku.

Ia tetap tidak menjawab meski aku memberikan sebungkus roti kepadanya, ia seperti sedang sangat ketakutan seolah aku akan meracuninya.

“Kau mengira kalau roti ini mengandung racun ya, baik untuk membuktikannya aku juga akan memakannya sedikit saja dan menelannya agar kau percaya,” ucapku.
“Kau pasti sering mendapat tipuan makanan yang mengandung bahan tidak jelas sampai-sampai sikapmu sangat waspada seperti ini, aku turut prihatin melihat keadaanmu,” batinku.

Dari sikap yang ditunjukkan oleh anak ini, aku yakin beberapa orang iseng pasti pernah mempermainkannya dengan memberikan makanan yang mengandung bahan yang tidak jelas kepadanya hingga menimbulkan trauma.
Dengan tubuh gemetar, perlahan-lahan ia mengerakkan tangan kanannya untuk mengambil makanan yang aku berikan. Ia ragu-ragu untuk memakannya roti tersebut tapi pada akhirnya ia memberanikan diri untuk menggigitnya walau hanya sedikit, sadar bahwa tak ada yang aneh dari roti yang kuberikan, ia mulai memakan semuanya dengan sangat lahap. Senyuman terpampang di wajahku melihat anak ini mau memakan roti yang kuberikan.

“Jangan makan terlalu cepat nanti kau tersedak, kau pasti sangat lapar hingga memakan sepotong roti saja sudah membuatmu merasa sesenang ini,” ucapku.
“...” gadis itu hanya mengangguk.

Ia masih tak mau bicara, karena masih ada satu roti di saku celanaku maka kuberikan makanan tersebut kepadanya dan membuktikan bahwa roti itu aman sama seperti sebelumnya.
Sendawa kecil terdengar dari mulutnya, aku tertawa kecil melihat tingkah anak ini, aku penasaran bagaimana anak sekecil ini bisa berakhir menjadi pengemis di lingkungan jalanan yang begitu keras.

“Sebelumnya maaf karena menanyakan hal ini, tapi apa kau bisa bicara?” tanyaku.
“I-iya,” jawab gadis itu.
“Syukurlah aku mengira kau tidak bisa bicara, ngomong-ngomong bolehkah aku melihat wajahmu?” tanyaku.

PANDORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang