Matahari bersinar garang siang ini, membuat udara semakin panas menyengat. Pucuk-pucuk dedaunan tampak layu. Beberapa rumput yang tumbuh di tempat itu kelihatan meranggas kekeringan. Udara yang panas demikian membuat seorang gadis berbaju biru muda dan berwajah cantik mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya yang berkeringat. Dia duduk bersandar di bawah pohon, dengan pandangan ke satu arah. Tampak di punggungnya tersimpan sebilah pedang bergagang kepala naga. Sementara di pinggangnya, terlihat sebuah kipasnya putih yang menguncup.
Mendadak gadis itu tersentak, dan cepat bangkit ketika melihat sosok bayangan yang berkelebat cepat ke arahnya. Dan sebentar saja telah berdiri laki-laki bertubuh besar di hadapannya. Wajahnya yang lebar dihiasi codet, sehingga menambah keseraman wajahnya. Rambut tipis, sementara kedua kakinya kelihatan lebih pendek dari pada tubuhnya yang tak terurus. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu tampak membawa tongkat bambu di tangannya. Dan bibirnya langsung menyeringai lebar ketika melihat gadis itu.
"Ha, ha, ha...! Apakah saat ini aku tengah bermimpi? Seorang gadis cantik tersesat di daerah kekuasaan Gendil Sugolo!" kata orang itu kesenangan.
"Siapa kau! Dan apa yang kau lakukan di sini?" bentak gadis yang kalau melihat ciri-cirinya adalah Pandan Wangi.
"Oh! Apakah kau tuli? Bukankah aku telah menyebutkan namaku tadi?" sahut orang yang mengaku bernama Gendil Sugolo, pura-pura terkejut.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Pandan Wangi, keras.
"Mau apa? Apakah tidak terbalik? Akulah seharusnya yang bertanya begitu padamu. Tempat ini adalah kekuasaanku. Sejauh mata memandang, di hadapanmu adalah daerah kekuasaan Gendil Sugolo yang tampan dan gagah perkasa," kata Gendil Sugolo sambil membentangkan kedua tangan. Sementara mulutnya mengumbar tawa lebar.
"Orang gila sinting! Menyingkirlah dari hadapanku! Kalau tidak, kupecahkan kepalamu!" bentak Pandan Wangi kembali. Wajahnya tampak mencerminkan kegeraman dan perasaan jengkel melihat ulah orang itu.
"He, he, he...! Kau hendak pecahkan kepalaku? Silakan, Cah Ayu!" tantang Gendil Sugolo sambil mengangsurkan kepalanya. Melihat itu, Pandan Wangi semakin kalap saja. Dengan gemas kepalan tangannya diayunkan menghantam ke arah batok kepala laki-laki itu.
"Hiiih!"
"Eit! Ha, ha, ha...!"
Gendil Sugolo memiringkan tubuhnya begitu sesaat lagi kepalan tangan gadis itu akan menghantam kepalanya. Sehingga luput serangan itu. Pandan Wangi bertambah geram karena serangannya luput. Maka lutut kanannya cepat di sodokkan ke perut Gendil Sugolo. Tubuh laki-laki seram itu sudah melenting ke atas sambil berputaran. Dan tahu-tahu, dia telah mendarat di belakang Pandan Wangi. Langsung diremas pantat gadis itu.
"Ouuuw...!" Gadis itu kontan menjerit kaget sambil memaki-maki tak karuan.
"Hm... aku tahu! Aku tahu! Kau tentu masih perawan ting-ting. He, he, he...! Gendil Sugolo memang harus berjodoh dengan gadis cantik jelita dan yang masih perawan." ucap laki-laki berwajah seram itu.
"Setan keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" dengus Pandan Wangi kalap.
"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Kenapa bersikap galak pada calon suamimu? Ayo, bersikaplah yang manis!" ledek Gendil Sugolo dan tertawa menakutkan.
Melihat hal ini, Pandan Wangi segera melepaskan satu sapuan yang mengarah ke pinggang. Namun serangan itu berhasil dihindari Gendil Sugolo dengan memiringkan tubuh sedikit. Maka tentu saja Pandan Wangi semakin kalap saja, sehingga terpaksa pedangnya dicabut.
Sring!
"Tua bangka keparat! Kubunuh kau saat ini! Hiyaaa!"
Pandan Wangi langsung melesat seraya mengibas-kibaskan pedangnya ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Bet! Bet!
"Uts...! Hm, bagus! Bagus! Calon istriku ternyata hebat sekali Ah! Aku semakin gemas saja ingin cepat-cepat mendekapmu!" Ujar Gendil Sugolo sambil melompat ringan ke sana kemari, menghindari sambaran pedang gadis yang terus mencecarnya seperti tiada henti.
"Hiyaaa!"
Disertai bentakan nyaring Gendil Sugolo berusaha membuat agar pedang di tangan Pandan Wangi terlepas, maka yang harus dihantamnya adalah pergelangan tangan gadis itu.
Namun Pandan Wangi cukup cerdik. Dengan gesit dihindarinya serangan lawan yang mengincar pergelangan tanganya. Namun Gendil Sugolo agaknya tak kurang akal. Maka tiba-tiba, tubuhnya melenting ke atas dan bermaksud menotok gadis itu. Untung saja cepat mengibaskan pedangnya ke atas.
Wut!
Terpaksa Gendil Sugolo menarik pulang tangannya, lalu kembali melenting tinggi. Dan dengan gerakan ringan sekali, kakinya mendarat di tanah.
"Jangan coba-coba memperdayaku. Kau akan celaka sendiri!" geram Pandan Wangi.
"Ha, ha, ha...! Aku semakin suka melihatmu, Cah Ayu." sahut Gendil Sugolo terkekeh-kekeh.
Laki-laki seram itu melompat ke belakang, karena Pandan Wangi kembali menyerangnya dengan satu sebetan pedang. Disertai geraman menyeramkan, Gendil Sugolo yang sudah berdiri kokoh di tanah segera memutar tongkatnya menggulung pedang gadis itu. Tubuhnya kemudian terangkat tinggi, disertai tendangan keras dan cepat.
Pandan Wangi tak punya jalan lain, kemudian menghindari dengan melenting ke belakang. Namun, justru hal itulah yang diharapkan lawan. Begitu Pandan Wangi melenting, Gendil Sugolo menarik serangannya. Dan seketika, tubuhnya melesat mengejar Pandan Wangi. Dan tepat ketika gadis itu mendarat di tanah, dua buah jari tangan kanan laki-laki itu cepat menyambar ke arah perut Pandan Wangi.
Agaknya Pandan Wangi memang tak akan mampu menghindari totokan itu. Tapi tiba-tiba....
"Orang asing, hentikan perbuatan kotormu! Hiiih!"
"Heh!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat Gendil Sugolo tersentak kaget dan menarik pulang serangannya. Dan sebentar kemudian berkelebat sosok bayangan putih, dan tahu tahu sudah berdiri tak jauh dari gadis itu.
"Siapa kau?! Berani-beraninya mengganggu urusan Gendil Sugolo? Sudah bosan hidup, he?!" bentak Gendil Sugolo garang.
"Kakang Rangga! Oh, syukurlah kau cepat datang!"
Pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti itu belum sempat menjawab, karena Pandan Wangi sudah menghambur kearahnya. Langsung dipeluknya tubuh pemuda itu dengan wajah lega.
"Hm... aku tahu. Kalian ternyata sepasang kekasih. Atau, barangkali kakak adik? Huh, apa peduliku?! Aku berhak menentukan apa yang kuinginkan di wilayahku ini! He, Bocah! Minggir kau. Dan, pergilah dari sini! Tinggalkan calon istriku itu!" bentak Gendil Sugolo seperti orang tak waras.
"Oo... Jadi gadis ini calon istrimu? Apakah telah kau tanyakan padanya? Kalau dia memang setuju, dengan senang hati aku akan meninggalkan tempat ini. Tapi kalau tidak, harap jangan suka mengganggu dan memaksa orang yang tak suka, Kisanak," sahut Pandekar Rajawali Sakti, enteng.
"Sial! Kau pikir siapa dirimu berani bicara begitu terhadapku, he?!" bentak laki-laki berwajah lebar itu sambil melototkan mata dan berkacak pinggang.
"Tua bangka sinting! Bicaramu ngawur tak karuan. Apa kau pikir dirimu sudah hebat, sehingga bisa berbuat sesuka hatimu?!" bentak Pandan Wangi.
"Ha, ha, ha...! Cah Ayu! Melihat kau bicara, aku bertambah senang saja. Tapi untuk urusan ini, sebaiknya kau tenang-tenang saja. Aku akan membereskan pangacau busuk ini!" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa.
"Pandan, orang ini kelihatan tak waras. Kita akan semakin gila kalau meladeninya. Lebih baik, tinggalkan saja tempat ini," bisik Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang! Dia telah berbuat kurang ajar padaku. Aku harus menghajarnya lebih dulu!" sahut Pandan Wangi.
"Eee, apa yang kalian bisik-bisikan? Cah Ayu! Ke sini kau! Mendekatlah padaku! Jangan sampai kau dipengaruhinya!" bentak Gendil Sugolo nyaring, dengan wajah tak senang.
"Tua bangka sinting! Tutup mulutmu! Kau pikir bisa mengaturku seenak perutmu!" balas Pandan Wangi.
"He, he, he...! Kenapa? Kenapa kau malah marah padaku? Apakah kau sudah tak sayang lagi padaku?" ucapan Gendil Sugolo makin tak karuan.
Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat kelakuan orang itu. Jelas sudah kalau orang bernama Gendil sugolo itu sinting dan tak bisa diajak bicara baik-baik. Sangat disayangkan. Padahal kepandaiannya cukup hebat. Entah, apa yang membuatnya demikian. Tapi, pemuda itu tak mau repot-repot mengurusinya. Maka dipaksanya Pandan Wangi untuk tidak meladeni laki-laki itu. Meskipun semula Pandan Wangi sangat dendam sekali, namun akhirnya menurut juga ajakan Rangga.
"Kisanak, maaf. Kami tidak bisa meladenimu," sahut Rangga, hendak pergi dari situ.
Demikian pula halnya Pandan Wangi. Meskipun wajahnya terlihat cemberut dan geram, akhirnya dituruti juga ajakan Pendekar Rajawali Sakti. Namun mendadak, Gendil Sugolo melenting menghadang mereka. Tangan kirinya berkacak pinggang. Sementara tangan kanannya yang memegang tongkat bambu, dituding-tudingkan ke arah Rangga. Wajahnya tampak garang dengan mata melotot.
"Bocah sialan! Apa hakmu membawa-bawa calon istriku pergi?! Kurang ajar! Kau pikir dirimu sudah hebat? Hah?"
Begitu selesai memaki-maki Gendil sugolo langsung melayangkan tongkatnya ke batok kepala Pandekar Rajawali sakti. Tentu saja dia tak bisa tinggal diam. Maka tubuhnya cepat menunduk. Namun, Gendil Sugolo telah bersiap dengan ayunan kaki yang keras.
"Mampus...!"
"Sial!"
Rangga memaki geram seraya melenting ke atas untuk menghindari tendangan lawan. Dan tubuhnya terus berputaran di udara, sementara Gendil Sugolo terus mengejar sambil menyabetkan tongkat di tangannya.
"Bocah gendeng! Gila! Mampus kau! Mampus...!" maki Gendil Sugolo berkali-kali. Dan dia terus mengejar Pendekar Rajawali Sakti disertai kemarahan meluap-luap.
"Dasar sinting! Aku tak bisa terus-terusan begini menghadapinya. Dia harus diberi pelajaran!" gerutu Rangga sambil mengumpat kesal.
Begitu mendapat kesempatan Rangga mulai membalas menyerang. Namun pada saat yang sama, Gendil Sugolo membabatkan senjatanya. Maka cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas melewati kepala Gendil Sugolo. Dan begitu menginjak tanah, tangannya cepat diayunkan ke arah dada.
"Hiiih!"
"Uts, kurang ajar!" maki Gendil Sugolo. Hampir saja tangan Rangga menembus dada kiri laki-laki sinting itu, untung tubuhnya cepat diputar ke kiri, sehingga serangan itu lewat beberapa rambut di depannya.
Tapi siapa sangka, ketika tiba-tiba tangan Pendekar Rajawali Sakti berbalik siap menghajar leher Gendil Sugolo. Maka dengan kalang kabut laki-laki sinting itu melompat ke belakang.
"Hiyaaa!"
Pendekar Rajawali Sakti terus mengejar dengan serangan cepat ke arah pinggang. Namun dengan tangkas Gendil Sugolo menangkis. Namun pada saat yang sama kaki kiri Rangga menyodok dari bawah ke atas menghajar punggung. Maka bukan main terkejutnya Gendil Sugolo. Meskipun tangannya masih gemetar akibat senjatanya beradu tadi, namun tongkatnya masih sempat dibabatkan untuk menghajar tulang kering kaki Pendekar Rajawali Sakti setelah berbalik dengan cepat. Melihat hal itu Rangga cepat menarik pulang tendangannya. Dan seketika, sambil melompat berputar, Pendekar Rajawali Sakti menggerakkan dua buah jari tangan kanannya begitu cepat gerakannya, sehingga Gendil Sugolo tak sempat menghindar. Dan...
Tuk! Tuk!
"Ohhh...!"
Dua buah totokan yang mendarat di pinggang kanan Gendil Sugolo begitu cepat pengaruhnya. Maka....
Brugk!
Tanpa mampu dicegah lagi, tubuh Gendil Sugolo ambruk tak berkutik. Laki-laki tak waras itu hanya mendelik garang sambil memaki-maki tak karuan, namun dengan tubuh tak berdaya.
"Bocah sial. Lepaskan totokanmu ini! Aku masih mampu memecahkan batok kepalamu! Ayo lepaskan cepaaat...!" dengus Gendil Sugolo.
"Cobalah lepaskan sendiri, Kisanak!" sahut Rangga tenang.
"Setan keparat! Gendeng! Bocah sial! Mau ke mana kau, he?! Lepaskan aku dulu. Awas, kau. Sekali lagi bertemu denganku, kupecahkan batok kepalamu!!" kembali Gendil Sugolo memaki-maki tak karuan.
Tapi, Rangga tetap tenang-tenang saja. Sambil tersenyum kecil, kakinya melangkah ke arah Pandan Wangi. Kemudian diajaknya gadis itu pergi.
"Kisanak! Kalau kau terus berusaha seperti itu, maka totokanku itu akan semakin kuat membelenggumu. Tapi kalau kau tenang, maka tak sampai sore nanti tentu akan terbebas," kata Rangga, tanpa menoleh sedikit pun.
"Persetan dengan ocehanmu! Lepaskan totokanku cepaaat...!" sahut Gendil Sugolo membentak nyaring.
"Kakang! Kupingku sakit mendengar teriakannya. Kenapa tak sekalian saja dihajar supaya diam?" gerutu Pandan Wangi, sambil terus melangkah di sisi Pendekar Rajawali Sakti.
"Tak usah. Sekarang, lebih baik kita tinggalkan saja," jawab Rangga sambil tersenyum-senyum kecil. "Nanti totokan itu akan hilang dengan sendirinya, setelah kita sudah jauh meninggalkan tempat ini."
Pandan Wangi menoleh sekilas ke arah Gendil Sugolo, kemudian buru-buru memalingkan wajah ketika melihat Gendil Sugolo menyeringai buas.
"Bocah gendeng! Setaaan! Kau boleh pergi ke ujung langit sekalipun. Tapi, jangan bawa-bawa calon istriku! Keparat! He, jangan bawa calon istrikuuu..."
Meski Gendil Sugolo berteriak-teriak sampai urat lehernya pecah, mana mungkin keinginannya terpenuhi. Malah kedua orang itu semakin jauh saja meninggalkan tempat ini, kemudian lenyap dari pandangan matanya.
"Oh, Cah Ayu! Tega nian kau meninggalkanku? Apakah kau tak sayang lagi padaku? Apakah kau tak cinta lagi padaku? Kenapa kau malah mengikuti bocah gendeng itu? Apakah aku kurang tampan dibandingkan dengan dia? Apakah aku kurang gagah? Cah Ayu, kembalilah padaku...." ratap Gendil Sugolo.
Mendadak, baru saja selesai bicaranya, melesat dua sosok bayangan. Dan belum juga Gendil Sugolo menyadari, kedua bayangan itu langsung berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya langsung gembira ketika melihat seraut wajah gadis cantik berbaju ungu. Rambut gadis itu panjang, dikuncir ke belakang. Di punggungnya tersandang sebilah pedang.
"Eh, Cah Ayu! Kau kembali! Kau kembali untukku, bukan?!" sentak Gendil Sugolo.
Sedang di sebelahnya berdiri seorang pemuda gagah bertubuh tegap, terbungkus baju lusuh dengan beberapa bagian terlihat sobek. Wajahnya keras, dan sedikit pun tak terlihat senyumnya. Sepasang tongkat terbuat dari batu karang, tampak terselip di pinggangnya.
"Siapa kalian?! Kalian bukan orang yang tadi?" tanya Gendil Sugolo, menyadari kalau dua orang di hadapannya bukan yang tadi. "Kaukah yang bernama Gendil Sugolo?" tanya pemuda berbaju lusuh itu. Suaranya terdengar berat dan penuh ancaman.
"Ha, ha, ha...! Tak kusangka, semua orang akhirnya mengenal namaku. He, bocah! Kau sungguh beruntung bertemu Gendil Sugolo. Hah, tolong bebaskan totokanku. Setelah itu, aku akan memberi hadiah pada kalian" sahut Gendil Sugolo sambil tertawa senang.
"Baiklah," sahut pemuda itu. Begitu selesai kata-katanya, kaki kiri pemuda itu segera terayun menghantam dada Gendil Sugolo.
Dess!
"Aaakh!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
112. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Datuk Geni
AçãoSerial ke 112. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.