BAGIAN 7

328 19 0
                                    

Kekhawatiran Pandan Wangi beberapa hari ini agaknya mulai beralasan. Buktinya ketika memasuki Desa Gelagah, Rangga dan Pandan Wangi melihat sebuah lembaran yang berisi tulisan. Dan itu sudah yang ketujuh kalinya mereka menemukan lembaran seperti ini. Hanya kali ini, lembaran itu beda dengan yang pernah mereka lihat!
Lembaran dari kulit itu, ditancapkan di sebuah batang pohon besar, tepat di sebelah gerbang perbatasan desa itu. Yang menarik bagi Rangga untuk membacanya kembali adalah pisau yang menjadi alat penempel lembaran. Dan yang lebih menarik lagi, ternyata lembaran itu ditulis dengan tinta darah! Bunyinya,
Aku menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung di Puncak Gunung Rinjani pada bulan purnama ini. Jika dia tak datang, berarti malapetaka akan menimpa orang banyak.
Rangga menghela napas pendek ketika selesai membaca tulisan yang tertera di batang pohon itu. Pandan Wangi memandangnya sekilas, kemudian turun dari kudanya. Gadis itu melangkah sebentar, lalu duduk di atas sebuah batu besar tak jauh dari situ. Sedangkan Rangga juga turun, lalu melangkah ke hadapan gadis itu.
"Bagaimana Kakang? Apakah kita akan kesana? Sudah tujuh tulisan seperti itu kita temui selama dalam perjalanan ini. Apakah Kakang akan mendiamkannya saja?" tanya Pandan Wangi agak risau.
Rangga tak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum, lalu duduk di hadapan gadis itu. Sebentar kepalanya mendongak melihat ke angkasa. Sebentar kemudian dia sudah menatap Pandan Wangi dalam-dalam. "Kalau aku tak memenuhi tantangannya, apakah kau kira aku takut?" tanya Pendekar Rajawali Sakti pelan.
"Kakang! Aku mengerti, kau tak gentar pada siapa pun. Tapi apakah akan kau biarkan namamu tercemar, tak mempedulikan tantangannya?"
"Kalau aku mengikuti tantangannya, sama artinya menyombongkan diri," jawab Rangga kalem.
"Tapi, Kakang! Banyak orang akan menjadi korbannya kalau tantangannya tak kau penuhi," kata Pandan Wangi, agak keras.
"Hm... Kukira orang itu hanya menggertak saja...," sahut Rangga tenang.
"Aku pun berharap demikian. Tapi, bagaimana kalau ternyata benar?"
Rangga diam tak menjawab. Pada saat itu lewat sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Sementara di belakangnya beberapa penumpang kuda mengiringi. Kereta itu sendiri agaknya bukan kendaraan sembarangan. Bentuknya saja indah, dengan jendela di kiri dan kanan yang dilapisi tirai berbunga-bunga.
"Hei...? Bukankah itu Pendekar Rajawali Sakti?! Aku pernah melihatnya di Desa Pasir Batang!" seru orang itu.
Rombongan itu berhenti, ketika salah seorang di antara mereka agaknya mengenali Pendekar Rajawali Sakti. Mendengar teriakan itu, yang lain segera menghentikan langkah kudanya. Seketika mereka berpaling ke arah Rangga dan Pandan Wangi.
"Hei, Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau akan menyambut tantangan Ki Sara Geni?" tanya seseorang.
Pendekar Rajawali Sakti hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu.
"Atau, kau kini telah menjadi seorang penakut?!" timpal yang lain.
"Ha ha ha...!"
Kata-kata itu disambut tawa terbahak-bahak oleh yang lainnya. Rangga dan Pandan Wangi sendiri tak mengacuhkannya. Dan kedua pendekar dari Karang Setra itu segera bangkit berdiri, lalu menghampirinya. Begitu telah berada di punggung kuda, mereka segera berlalu dari tempat itu.
Rangga menyadari kalau sebenarnya orang-orang itu telah kesal, karena belum ada tanda-tanda tantangan itu ditanggapinya. Itu sebabnya, Rangga lebih suka untuk pergi dari situ daripada meladeni orang-orang tadi. Tapi hal itu justru membuat Pandan Wangi mencak-mencak sendiri. Gadis itu memang mudah tersinggung melihat perlakuan orang yang dirasakannya keterlaluan. Seperti penduduk Desa Glagah ini.

***

Waktu yang ditentukan Ki Sara Geni telah berlalu tadi malam. Dan rupanya Pendekar Rajawali Sakti tak memenuhi tantangan orang tua itu. Semula Rangga tak begitu mempedulikan ancaman Ki Sara Geni. Tapi ketika pagi ini melihat sebuah desa, ternyata Ki Sara Geni membuktikan ancamannya!
Dalam setiap sudut terlihat mayat-mayat bergelimpangan dalam keadaan tubuh hangus terbakar, tampak orang berduyun-duyun mengungsi, ke tempat yang lebih aman. Rangga dan Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan sedang. Sementara korban korban yang ditemui semakin banyak. Bukan saja yang berasal dari golongan persilatan, tapi rakyat biasa pun ikut dibantai!
Memang agaknya Ki Sara Geni tak memilih-milih korbannya. Tentu saja hal ini amat mencemaskan Pendekar Rajawali Sakti. "Huh! Aku tak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung. Mari, Pandan. Kita cari dia!" geram pemuda itu dengan marah meluap-Iuap.

112. Pendekar Rajawali Sakti : Dendam Datuk GeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang