Prolog

219 41 25
                                    


"Eh, buset. Nih, cewek berat juga ya," keluh Lucas sambil menggendong cewek itu dengan kedua tangannya.

"Buruan makanya," ujar Brandon tanpa ikut merasakan penderitaan Lucas.

"Dih, gantian, kek."

"Nanggung dikit lagi sam ..."

Dering ponsel Brandon membuat tuannya mengehentikan langkah sekaligus memotong kalimatnya. "Bentar!"

"Siapa yang telfon?"

"Ben," jawab Brandon dengan wajah tegang. Pasalnya Ezbenester sedang dilanda emosi saat Brandon dan Lucas terlambat sampai di tempat ini hingga lima menit. Sekarang mereka hanya saling memandang ragu bercampur ngeri membayangkan kemarahan Ben. "Angkat nggak, nih?"

"Angkat aja daripada dia makin ngamuk entar."

"Nih, lu yang angkat," lempar Brandon seraya memberikan ponselnya pada Lucas.

"Kok, gue, sih. Lu gak liat tangan gue gak bisa pegang hp?" Lucas menolak dengan mata menunjuk beban di tangannya. Gadis itu tidak sadarkan diri dalam gendongan Lucas. Dan dengan tidak tahu dirinya Brandon menyuruh Lucas untuk mengangkat telfon. Padahal ponsel itu milik Lucas yang kedua tangannya leluasa bergerak.

"Yaelah. Kuping gue gak siap dengerin Ben marah-marah."

"Lu pilih dia marahin lu apa bikin kita bonyok?"

"E-iya iya!" Sebenarnya telinga Brandon masih berdengung akibat kemarahan Ben tadi. Namun, otaknya masih bekerja dengan normal. Lebih baik telinganya saja yang menampung bentakan Ben, daripada kegantengannya harus berkurang akibat dihajar sahabatnya itu.

Brandon mengusap ke atas log panggilan berwarna hijau lalu menempelkan benda itu ke telinganya.

"Gimana? Udah beres?" Suara Ezbenester di seberang sana terdengar datar. Menandakan emosinya sudah mulai reda.

Brandon menelan ludah, "Udah, kok, udah beres." Bohong sekali! Tapi selagi telinganya masih bisa diselamatkan, why not? Setidaknya ia tidak perlu pergi ke THT setelah ini.

"Bagus. Gue udah di ujung lorong, otw ke sana."

Panggilan terputus sepihak.

"Udah belom? Pegel nih?" Lucas merasa kedua tangannya akan segera patah, padahal cewek itu tidak gendut. Seharusnya tidak seberat ini, jika mereka segera melakukan tugasnya.

"Gawat! Ben udah mau sampe!"

"Yang mana kamarnya? Kan tadi lu yang dikasih kuncinya."

"Kamarnya kagak dikunci," Brandon mencoba memutar gagang pintu bertuliskan angka 134, "nih, bisa dibuka!" sambungnya.

"Bener yang ini?"

"Iya, yakin gue. Lagian ini emang gak dikunci, gak mungkin salah. Yuk, masuk!"

Brandon membukakan pintu lebar-lebar agar Lucas masuk dengan leluasa. Keduanya segera meninggalkan ruangan setelah menidurkan gadis itu di sebuah spring bed king size.

Dari ujung lorong Adam berjalan sempoyongan dengan dipapah dua petugas hotel, kepalanya terasa berat. Entah apa yang terjadi, ia merasa tidak sakit sebelum datang kemari.

"Sudah sampai sini saja, Mas," ujar Adam ketika mereka telah sampai di depan kamar Adam.

"Bapak yakin tidak mau diantar ke rumah sakit atau dipanggilkan dokter?" Salah satu petugas itu bertanya.

"Nggak usah, saya mau istirahat aja." Adam mengakhiri kalimatnya dengan seulas senyum yang tanpak lesu.

"Baik kalau begitu, kami permisi dulu. Jika Bapak butuh apa-apa silakan panggil petugas melalui telepon."

Adam hanya mengangguk sekali lantas segera masuk. Ia merasa kepalanya semakin pusing, semua yang dilihat berputar dan berbayang. Adam mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berjalan merambat pada tembok lorong mini kamar yang langsung berhadapan dengan ruang tamu.

Aroma spa menguar dari onsen pribadi dalam kamar. Biasanya Adam akan sangat menyukai bau-bauan seperti ini. Namun aroma spa itu terasa aneh sekaran, membuat suhu ruangan terasa gerah. Benarkah begitu? Entahlah, Adam hanya ingin segera merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk.

***

Ben sampai di depan pintu kamar hotel yang telah ia sewa. Ia membuka pintu perlahan, pikirannya telah melayang membayangkan apa yang akan terjadi di kamar ini. Hal yang sangat ia ingin lakukan.

Cowok itu mengunci pintu dan membuang kuncinya ke sembarang arah di kamar tersebut. Ia menghirup aroma spa yang menambah kesan pribadi ruangan ini. Aroma itu membuat sesuatu dalam dirinya semakin berdesir, ia sudah tak sabar. Ben menyunggingkan senyum liciknya, "Akhirnya, sebentar lagi ..." Ia tidak meneruskan kalimatnya, justru tertawa licik.

Ben segera berjalan melewati lorong mini yang membatasi pandangannya tidak langsung tertuju pada ranjang, melainkan satu set meja dan kursi. Ya, sebuah ruang tamu mini tanpa sekat yang langsung bersebelahan dengan ranjang.






Onsen : Pemandian air hangat, orang Jepang biasa menyebutnya onsen.

Adam's ChronicleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang