/5.1/ Elegi

21 0 0
                                    

_____

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.

-Sapardi, Pada Suatu Hari

_____

     Rasa getir kuserap sendiri, rasa pahit kukecap sendiri, namun rasa kecewa seperti selamanya. Kau tak akan bisa kembali. Niat baikku bebas kau cela. Tanggung jawabku kau kira bercanda. Ranting-ranting menari, luka tak kunjung kering. Rasaku dihempas resah, rasaku ditekan realita. Niatku kitakan bersama, namun semua hanya rencana. Hanya sampai di batas doa.

     Aku kira diriku sudah hancur. Dalam dekap malam gelap gulita aku hancur lebur. Dalam malam yang kian dingin air mata mengalir deras di pipi. Di sela-sela jari ku himpit fotomu, kudekap dalam tangis yang tak henti-henti bersama dengan dingin malam yang tak henti-henti. Dadaku seakan mau meledak, pikiran tak tahu arah, bahkan hati seketika hanya mengeluarkan darah. Kau melukaiku dengan apa, sayangku?

     Tadi pagi aku masih merasakan cintamu dalam tiap jengkal urat tubuh ini. Aku masih dapat merasakan badan hangatmu yang berbekas di tubuhku. Aku bahkan masih mencium aroma wangimu. Semua masih kurasakan, dan semua itu membuatku semakin dalam. Semakin dalam mencintaimu.

     Aku masih ingat senyum itu. Seakan tak kupercaya, aku lihat lagi foto dalam dekapanku. Aku bergetar, rasanya senyum itu tak bisa hilang dari pikiranku. Aku terseyum, kamu tersenyum. Dan ragaku tergeletak dalam lantai retak. Foto itu jatuh bersamaan dengan air mata yang juga jatuh melewati tiap ruas pori-pori wajah, melewati sela-sela hidung dan jatuh pada ruas bibir. 

     Menuju siang aku masih merasakan dirimu dalam hati ini. Kau masih berkabar, tak ada yang beda, tak ada yang berubah. Akupun masih kenal dengan yang disebut tawa, hatiku masih lapang. Perasaan kecilku tak merasakan apa-apa. Kau menanyakan kabarku, kau bersenda gurau denganku tentang video lucu yang kau lihat. Kau bertanya makan apa aku yang selalu kau tau apa makanan sehari-hariku. Kau berkata lelahmu, aku berkata lelahku lalu kita tertawa. Menertawakan kita.

     Aku bercerita bahwa aku bersyukur kau ada di sisiku, aku tak pernah merasakan sepi. Bahkan lara sudah lama tak pernah kusebut-sebut. Apa itu lara? aku hanya mengenal bahagia. Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranku. Kamu selalu berkata bahwa pikiran kita selalu tak sama. Kataku tak apa, bukankah itu yang membuat kita bersama? kamu ingin tau pikiran apa yang tidak ada dipikiranmu, dan aku ingin tau yang ada di pikiranmu.

     Badanku gemetar. Nafasku pendek. Keringat bercucuran di tubuhku, bahagia yang sedari pagi aku gaungkan hilang dan sirna ditelan gelap malam. Aku tak mengerti kenapa bisa sampai begini.  Ragaku tak dapat kurasakan, luapan kesedihan datang bertubi-tubi, tak henti-henti. Apa ini lara?

     Aku tak kuasa membencimu. Aku tak mampu berhenti mencintaimu. Rasa getir ini, rasa pahit ini bahkan kecewa ini menyelimuti hatiku. Meluap-luap menjalar tiap jengkal tubuhku. Aku tak mampu melakukan ini, aku hanya tak mampu untuk meyakini ini semua. Rasaku dihempas, aku tak terima bahwa aku tidak bisa percaya lagi denganmu. Aku tak terima kenyataan itu, kamu berbohong. Aku menangis bukan karena aku tidak mencintaimu lagi, karena aku tidak bisa lagi percaya denganmu...


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANTALOGI FIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang