Part 4

1 0 0
                                    

Saya melihat jam yang sudah menunjukkan pukul delapan, matahari sudah terbenam. Saya baru selesai bekerja dan saya berniat membelikan sedikit cemilan untuk Shel. Sekalian ada alasan bertemu walau sebentar. Mungkin tiramisu pilihan terbaik, terlebih lagi kopi adalah yang dia sukai.

Begitu keluar dari toko, saya segera pulang menuju apartemen. Jalanan yang saya lalui masih ramai, namun entah mengapa saat sudah jalan menuju apartemen selalu lumayan sepi.

Apa mungkin, saya sekalian bertanya pada Shel mengenai tugas pemberian dosen Britta yang sama sekali tidak saya mengerti. Bahkan memikirkannya saja sudah membuat saya pusing.

Saya mengeluarkan napas gusar, melihat pemandangan yang membuat jantung saya berdegup kencang serta emosi yang memuncak tidak stabil.

Tidak. Jangan.

Dia Leila Shelby yang tangannya tengah di tarik seorang pria berengsek. Apalagi, saya mengenal pria itu. Ferran. Tampangnya seperti tengah mabuk. Dia memang terkenal tidak tahu diri dan selalu berbuat masalah di kampus. Saya selalu menunggu berita pengeluarannya, meski sampai sekarang masih belum ada.

Hal yang membuat saya marah, saya saja yang sudah dua tahun mengenal Shel, tidak berani menyentuh bahkan hanya tangannya saja. Lalu dia dengan mudahnya begitu, apalagi sampai menarik paksa.

Tidak perlu menunggu lama, saya berlari mendekat dan menghajarnya sekuat tenaga. Saya bersyukur, ayah bersikeras mengajari bela diri saat saya masih kecil. Hal itu terpakai juga untuk saat seperti ini.

"Let her go, bastard, stop forcing my friend!"

Ferran berdiri dengan susah payah, "your friend, Link? Ha! Bullshit."

Saya ingin melayangkan satu tinjuan lagi, sebelum Shel menarik lengan baju saya untuk tidak kembali melakukannya. Saya berusaha mengontrol emosi, walau ia sampai menunjukkan jari tengah sebelum pergi.

Saya berbalik untuk melihat keadaan Shel. Benar saja, ia menangis namun tidak bersuara. Saya sakit melihatnya seperti ini.

"Makasih banyak, Link."

Saya menunduk menyetarakan wajah saya dengannya.

"Gapapa. Kita pulang sekarang. Lain kali kalau mau keluar malem, kasih tau aku. Ah-"

Saya baru sadar. Tiramisu yang baru saja saya beli terjatuh dan berantakan. Terbalik sepertinya saya yang ingin menangis sekarang.

Shel yang menyadari di belakangnya terdapat sekotak tiramisu yang berantakan segera menghampirinya. Ia mengambilnya dan membuang bagian kotor, lalu memberikannya pada saya.

"Maaf, ini semua karena aku. Untungnya bagian bersih yang bisa dimakan masih banyak."

Ia tampak begitu merasa bersalahnya. Padahal ini semua untuknya.

"Bukan! Gu-aku beli ini buat kamu, harusnya aku yang minta maaf jadi hancur begini."

Shel terkejut, lalu ia tertawa mendengar balasan saya.

"Makasih lagi, mampir dulu? Aku gamau makan enak sendirian."

Saya sedikit kaku saat Shel mengatakan untuk mampir pada ruangan apartemennya. "Lawan jenis dalam satu ruangan itu tidak boleh, apalagi hanya berduaan, bukan?"

Lagi-lagi Shel tertawa kecil, ia pun tersenyum. "Siapa yang ngundang Link mampir ke apartemen aku?"

"Maksudnya di taman belakang apartemen, sekalian mau bahas tugas dari dosen Britta, boleh?"

Tidak butuh hal yang besar, untuk membuat mood saya berubah drastis. Hanya hal sederhana seperti ini, yang dapat membuat saya kembali bersemangat untuk menghadapi hal-hal yang lebih sulit.

•••

(not) PLATONICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang