Part 7

0 0 0
                                    

Selama seminggu ini, saya benar-benar tidak ada kerjaan. Tidak ada pesan yang masuk, kecuali Melvin yang tadi siang menelepon tiba-tiba. Ia bilang lamarannya diterima dengan baik. Itu bagus, saya turut senang dengan teman yang kadang tidak tahu diri itu.

Setelah membulatkan niat dan tekad, saya memberanikan diri mengajak Shel ketemuan. Di sebuah resto kecil saja seperti saat pertama bertemu di Inggris. Apa yang harus saya bicarakan saat di sana? Perasaan? Oke, jangan.

Tidak sampai dua menit, ia membalas. Tipe yang fast respon. Saya suka.

Bisaa.. Udah ashar ya.

Begitu pesannya. Oh, masih ada lagi.

Ada berita yang perlu kamu tau juga, Link!

Saya penasaran, apa mungkin ia mau lanjut S2 lagi di Inggris? Saya tidak tahu, tapi saya harap memang itu jawabannya. Sesudah ashar itu, sore sekitar jam empat sepertinya.

Yah, saya juga tidak akan terlalu lama meminjam anak gadis, apalagi sampai matahari terbenam. Perempuan tidak boleh terlalu lama di luar saat malam, bukan? Mereka akan dicap tidak baik. Walaupun saat SMA saya sering melihat para cewek keluar untuk mengunjungi hiburan malam.

Saya memang pernah ke tempat seperti itu karena penasaran dan parahnya mengajak Melvin, yang dengan bodohnya ia ayok-ayok saja. Konyolnya saat di sana, kami tidak memesan minuman apapun dan seperti manusia hutan saat ke kota. Tidak tahu apa-apa, dan hanya digoda oleh tante-tante. Saya tidak mau lagi ke sana, apalagi Melvin yang sepertinya sudah trauma.

Oke, sekarang sudah setengah empat dan saya harus segera bersiap-siap. Selagi menghangatkan motor, Kak Helen datang saat saya tengah mengenakan sepatu. "Kemana, Yon? Baru kali ini keluar."

"Ketemu orang, kak," balas saya dengan senyum singkat.

"Orang mana, sampai mau lo beliin bunga?"

Saya terperangah, Kak Helen melihat layar ponsel yang lupa saya matikan. Saya menarik ponsel dan dengan cepat menyimpannya dalam saku celana.

"Eng-Gak! Buat Melvin."

Kak Helen semakin terkejut. Saya salah bicara, bodoh. "Lo-"

"Bukan, bukan! Melvin bilang dia melamar cewek dan diterima, mungkin gue bisa ngasih bunga buat selamat."

"Ah masa-"

"Udah ah, kak. Gue berangkat dulu, yaa!"

Setelah Kak Helen menerima salim tangan dari saya, dengan cepat saya pergi dari rumah dengan motor. Jantung saya tidak stabil. Rasanya seperti mau meloncat keluar saja. Jika seperti ini, apa saya tetap harus membelikannya bunga? Saya menggeleng, tidak peduli. Beli saja dan masukkan pada bagasi motor. Anggap saja ini bunga persahabatan yang tak ketemu seminggu. Oke, aneh.

Lima belas menit saya sampai di tujuan, dan Shel sudah menunggu di dalam. Saya tersenyum lebar.

•••

(not) PLATONICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang