Part 10

1 0 0
                                    

"Berangkat malam ini, Yon?"

Saya menoleh pada sumber suara. Bunda berjalan mendekat dan duduk di samping saya. Tidak ada yang bisa saya jawab kecuali mengangguk. Ah..

"Mau anter Iyon, bun?"

"Bunda sibuk."

.., ya. Seharusnya saya tahu tanpa menanyakannya. Apalagi, sampai malam ini Kak Helen sedang pergi bekerja. Mungkin saya harus pergi sendiri. Saya berdiri dan membuka kulkas, "Nasi telur aja, gapapa bun?"

Bunda tersenyum kecil, ia mengangguk tidak masalah. Saya mengambil nasi dan telur secukupnya dan segera memasak. Mengingat, saat di Inggris, saya hanya memakan yang instan saja sebelum dekat dengan Shel. Yah, ia yang selalu memberikan makanan enak. Karena penasaran, saya pernah beberapa kali mencoba resep miliknya. Jujur saja, gagal total beberapa kali. Setidaknya, sekarang saya sudah lebih mending daripada dulu.

Selesai, saya meletakkan piring berisi nasi telur di depan Bunda dan satu lagi untuk saya sendiri. Bunda mengernyit ketika sudah mencoba sesuap masakan saya. "Sejak kapan kamu bisa masak?"

Saya lega. Saya kira rasanya keasinan atau apa. Saya mengangkat bahu, "kalau gini doang mah, anak SD juga bisa kali, bun."

Bunda tertawa setelahnya. Ia segera menghabiskan makanannya, jauh lebih cepat daripada saya. Kemudian, Bunda berdiri dan mengambil tas miliknya. Saya sedikit kaget karena sesuatu yang tiba-tiba mendarat pada puncak kepala, ternyata bunda mengelus kepala saya.

"Bunda sayang kamu. Nanti bunda telepon Kak Helen biar anterin kamu, ya."

Bahkan saya tidak sempat membalasnya, bunda sudah pergi terlebih dahulu. Baru saja saya ingin mengatakan jika saya tidak apa pergi sendiri. Nyatanya, saya bukan anak kecil lagi.

Suara mobil sudah semakin menjauh, dan saya belum menyuap lagi nasi saya. Selera makan saya sudah benar-benar hilang.

°°°

"BRI?!"

Saya terlonjat kaget, hampir merobek tiket pesawat. Teriakannya membuat saya kesal setengah mati, apalagi ia langsung mengguncang bahu saya.

"Kenapa lo baru bilang mau pergi sekarang?!"

"Ya terus?"

"Lo harusnya ngasih tau dari pagi! Gue sampe batalin rapat dadakan dan cepet nyusul lo ke sini. Mana rasa tersanjung lo?"

Saya melotot. Seorang Melvin yang paling tidak senang kerjanya diganggu, melakukan hal yang tidak ada gunanya seperti ini. Saya memalingkan wajah, tidak ingin memperlihatkan raut senang.

"Gue juga udah bilang sama Shel tadi. Dia titip salam sama lo, Bri. Hati-hati."

Benarkah? Saya benar-benar senang. Setidaknya, saat ini saya tidak sendiri. Melvin memang seorang yang mempunyai hati baik. Shel tidak salah memilih orang. Saya berusaha keras agar air dalam hidung tidak mengalir keluar.

Hingga, pengumuman untuk pesawat saya akan berangkat, saya masih belum menemukan salah seorang keluarga saya. Tidak apa, satu orang pun yang peduli saya sudah cukup senang.

Melvin melambaikan tangannya, ketika kita benar-benar berpisah, ia pun pergi dari bandara. Mungkin akan melanjutkan kembali rapat, atau langsung pulang?

Setelah berbagai persiapan, pesawat pun siap lepas landas untuk meninggalkan Indonesia. Saya mengambil napas dan mengeluarkannya perlahan. Saya menangis lagi. Menjadi pribadi cengeng seperti ini sama sekali bukanlah gaya saya. Bahkan saya benci seperti ini.

Saya melihat foto yang sengaja saya pasang di dompet. Satu-satunya foto saya bersama Shel dengan baju toga. Saya mengakui padanya bahwa saya akan menyimpan foto ini dan dia mengizinkannya.

Seseorang menyenggol bahu saya, sehingga belum ada persiapan saya sedikit terpental ke depan. Untung saja, foto ini tidak ikut terlepas dari tangan saya.

"Oh, Maaf! Um.., saya duduk di sebelah anda. Boleh sedikit menyinggir sebentar?"

"Sesakit itukah? Sampai menangis, saya benar-benar minta maaf!"

Sial. Saya malu ketahuan seperti ini. Saya menggeleng dan tersenyum paksa membiarkannya masuk.

"Terima kasih. Ah, kalau boleh tahu, siapa namamu? Saya pernah melihat anda, kita berada di kampus yang sama. Semoga kita bisa berteman."

Saya menatapnya. Rambut cokelat terang yang panjang dengan iris hijau yang lumayan mencolok. Dengan senang hati, saya menolak jabatan tangan yang diulurkannya, namun saya tetap memberitahu nama saya dan berharap kita bisa menjadi teman.

Terima kasih.., untuk orang-orang yang mau berteman dengan saya.

.., untuk Melvin yang selalu peduli.
.., untuk Shel yang menjadi cinta pertama tulus.
.., untuk Kak Helen yang bangga pada saya.
.., untuk Bunda yang melahirkan saya.
.., dan Tuhan, terima kasih sudah membuat saya ada di dunia ini.

•••

(not) PLATONICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang