Karin menatap nanar keadaan rumah yang tadi ia rapikan dengan senang hati. Di pikirnya, Azka akan senang jika pulang melihat rumah milik mereka kini lebih berwarna dari sebelumnya. Tapi Azka mematahkan harapan Karin.
Di tatap wanita itu ponsel miliknya, menunggu suaminya memberi kabar melalui pesan atau menelpon. Hingga sore tiba tak ada tanda-tanda kabar dari Azka.
Apa mungkin pria itu tidak berniat memberinya kabar, pikir Karin.
Karin mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat ashar. Pikirannya harus ia tenangkan saat ini.
Airmatanya sudah tak terbendung lagi, saat berwudhu pun ia tak dapat menghentikan airmatanya.
Kenapa aku harus tau dari orang lain kalau suamiku ada kegiatan di luar sana. Batin Karin.
Karin melaksanakan sholat juga dengan berlinang airmata. Ia berdoa agar di ringankan segala urusan dalam hidupnya. Sungguh, ia terlalu lelah harus terus menangis sejak awal. Kapan airmata ini akan kering dan surut.
Alunan zikir ia lantunkan, berharap dengan begitu hatinya menjadi tenang. Ia hanya butuh kabar dari suaminya dengan begitu hatinya akan tenang.
"Assalamualaikum, permisi." sapa seseorang dari luar rumah Karin.
Karin yang mendengarnya menghentikan zikirnya lalu berjalan ke depan untuk menyambut tamu nya.
Saat pintu ia buka, alangkah terkejutnya Karin melihat siapa tamu nya itu.
"Kamu."
"Jawab salam hukumnya wajib, mbak." katanya santai.
Karin tersadar, "Waalaikumsalam."
Belum mempersilahkan tamunya itu masuk, Karin masih menatapnya lekat seolah tak percaya, mereka bertemu lagi sekarang.
"Boleh saya masuk, mbak?"
Anesya, dia datang kerumah milik Karin dan Azka. Padahal hanya keluarga mereka yang tau dimana rumah baru mereka berada. Tapi gadis ini, "Pak Azka ada, mbak?" tanyanya ketika sudah Karin persilahkan masuk.
"Oh iya, Mbak belum kenal saya, ya." tanya Nesya sambil tersenyum sinis ke arah Karin.
Karin tak menjawab sama sekali, dia hanya diam. Bingung harus apa, suaminya saja belum memberi kabar tapi malah gadis ini yang datang.
"Saya Anesya, mbak. Adik iparnya Iranna Humairah, lelaki yang menghajar Pak Azka waktu itu Kak Harun. Saya mohon maaf atas kelakuan main hakim sendiri Kakak saya, mbak."
Terpecahkan kini sedikit rasa penasaran Karin.
"Apa yang di katakan Kak Harun itu benar, mbak. Saya hamil anak Pak Azka."
Karin masih diam tak bersuara, seakan menegaskan pada gadis ini bahwa ia tak percaya perkataan nya. Gadis? Ah tidak dia bukan.
"Apa Pak Azka sudah menceritakan semuanya, mbak?" tanya Nesya sambil menatap wajah Karin.
Karin tetap belum mau mengeluarkan suaranya.
"Mas Azka." lirih suara Nesya menatap foto pernikahan Karin dan Azka yang terpajang di dinding rumah itu.
Karin mengepalkan tangannya, ia tak senang jika gadis ini memanggil suaminya dengan sebutan Mas juga.
"Boleh Nesya panggil seperti itu juga kan, mbak?" tanya nya meminta persetujuan Karin.
"Saya cuma seorang mahasiswa biasa, mbak. Sedang praktik kerja lapangan dia kantor Pak Azka. Bersyukur nya beliau masih berteman dengan kakak saya. Tapi sayangnya malam itu, entahlah, aku lupa segalanya."
"Ada apa sebenarnya, Nesya?" airmata Karin tak terbendung lagi, ia menangis terisak mendengar penjelasan dari Nesya.
"Jujur ku katakan, mbak. Aku tak mengingat semuanya. Tanyakan pada Pak Azka, aku juga butuh penjelasannya." kini Nesya ikut meneteskan airmata.
"Kemana beliau, mbak?" tanya Nesya sekali lagi.
"Jangankan kamu, aku istrinya saja tidak tau."
Kesal menyelimuti hati Karin, "Astaughfirullah." lembut suara Karin mencoba menenangkan perasaannya.
"Apa kecelakaan itu tidak berakibat fatal pada kandunganmu?" tanya Karin memecah keheningan diantara tangis mereka.
"Justru setelah kecelakaan itu aku baru tahu jika aku mengandung, mbak."
"Bagaimana bisa?" Karin bingung sendiri.
Nesya melirik arloji di pergelangan tangannya, "sudah jam 5 sore, mbak. Saya izin pulang dulu."
"Maaf tidak menyuguhkan apapun." kata Karin singkat.
Nesya berjalan keluar rumah dan kemudian mobil jemputannya datang. Karin menatap perginya Nesya dengan hati tak menentu. Hari ini ada 2 hal mengenai suaminya tapi ia ketahui dari orang asing.
Suara dering ponsel miliknya memecahkan gundah hati Karin. Segera ia berlari menuju kamarnya untung mengambil ponsel tersebut.
"Assalamualaikum, Sayang."
Benar, itu Azka. Mendengar suaranya hati Karin bergemuruh, ia rindu Azka suaminya.
"Maaf, Mas tidak pulang sampai 3 hari kedepan. Ada meeting penting tidak bisa Mas hindarkan."
"Sayang." Azka memanggil Karin dari sebrang sana, Karin tidak menjawab apapun.
"Iya nggak masalah, Mas."
Azka mendengar isak tangis kecil Karin.
"Maaf, dek. Mas merindukan, mu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teduhnya Wanita
Roman d'amourKarina Haura, Dokter bidadari itu menikah dengan pemuda yang dulu adalah kakak laki laki dari pasiennya. Sejak mengobati adik dari pemuda itu, ia menjadi lebih dekat dengan pemuda itu dan keluarganya. Bahkan adik dari pemuda itu sangat menyukainya. ...