Hai! Selamat membaca.***
Gadis berambut ikal itu mengemasi barang-barangnya ke koper, nafasnya terengah-engah sehabis keluar dari kamar mandi.
Dirinya tidak menghiraukan pertanyaan sahabatnya yang sedari tadi menasihati lantaran melihat sesuatu yang aneh di kamar mandinya. Semua ini terjadi karena kematian tak wajar ibu tirinya.
"Fisya kemasin barang-barang lo, kita ke apartemen sekarang. " Jessica membuat keputusan sepihak.
"Jessica diem! Diem, tarik nafas dulu... cerita barusan ada apa!" cecar Fisya membuat Jessica sedikit bisa tenang karena pegangan pundaknya.
"Fisya, kita harus pergi," bisik Jessica, matanya berkaca-kaca, nafasnya masih terengah-engah.
"Di luar hujan, ini udah jam 11 malam dan lo minta keluar?" ucap Fisya, "Pukul 00:00 sebentar lagi, tepat 40 hari setelah meninggalnya ibu tiri lo." Fisya menujuk jam dinding, ia mengingat segala sesuatu tentang Jessica dan keluarga, yang bahkan Jessica sendiri tidak mau mengingatnya.
"Maksud lo?" Jessica menghentikan kegiatan kemas-kemasnya.
"Seingat Fisya, kita harus berdoa buat mendiang ibu tiri lo."
"Tapi gue bukan keluarganya!"
"Lo keluarga dia! Jes."
Jessica menutup mata, mengambil nafas pelan-pelan. Berusaha mencari ketenangan di balik derasnya hujan dan kedinginan yang menjalar sejak tadi.
---
Dira, pemilik nama itu sudah meninggal sejak 40 hari yang lalu. Aku melihat bagaimana dia mengembuskan nafas terakhirnya di dunia. Bersama sesosok bayangan hitam yang menarik sesuatu dalam raganya secara paksa. Suaminya Dira alias papaku tidak ada di rumah saat istri keduanya itu meninggal. Papa begitu terpukul. Soal ketragisan kematian Dira, aku tutup mulut.
Papa pergi meninggalkan rumah, dan memilih tinggal di luar negeri. Papa mengutuk kepergian Dira padaku, hanya karena Papa sering melihat aku dan Dira adu mulut.
Kami sudah tinggal bersama sejak 10 tahun yang lalu, saat ibu kandungku meninggal karena sakit. Papa memilih menikah dengan Dira karena aku tahu wajahnya awet muda meski usia terakhirnya kemarin adalah 40 tahun.
Besok kuputuskan untuk memanggil tukang bangunan. Akan kumintai dia buatkan kamar mandi baru di rumahku, yang tidak ada kaitannya dengan kamar mandi lama. Ya, hampir semua toilet di rumah itu setiap harinya selalu menyisakan kulit ular yang mengelupas, persis saat ular berganti kulit.
Seperti malam itu, aku mendengar desis ular di kamar mandi kamarku, dan kali ini jelas sekali. Aku harus segera menyelidiki dosa apa yang dilakukan Dira hingga berdampak pada rumah dan masa depanku.
"Jess, kenapa lu ga jual rumah itu aja sih?" tanya Fisya, ia membuyarkan lamunanku.
"Lu tau sendiri kan papa di luar negeri. Kalo suatu saat dia pulang terus cari gue gimana, gue gak berkomunikasi sama sekali sama dia."
"Yaa setidaknya lu gak jadi korban dengan terus tinggal di rumah itu. Fisya juga takut," ucapnya tegas.
"Asal orang lain gak jadi korban. Gue gak papa, Sya."
"Mungkin lo bisa biarin aja rumah itu kosong. Terus lo beli rumah baru." Fisya mengangkat alisnya sembari tersenyum sumringah.
"Lupa ya kalo gue gak punya harta apapun lagi selain rumah itu dan lo." Aku menepuk pundak Fisya, ia terlihat merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABSTRAK
HorrorSejak 40 hari kematian ibu tirinya. Rumahnya terasa mencekam dan penuh kejanggalan. Jesicca sering merasa ada ular di toiletnya. Seperti mangsa yang ingin mengambil kerhomatannya. Ketika masa lalu mengungkap Jesicca bukan sepenuhnya korban, sebab da...