***Hujan kembali mengguyur ibukota. Angin kencang seperti bersautan dari jendela ke jendela. Mengayunkan gordeng kesana kemari. Namun, kamar nomor tigas belas seperti terasa hangat dengan dua manusia cantik di dalamnya. Mereka menyalakan televisi, dan menikmati camilan yang dipesannya melalui aplikasi online.
"Dingin ih," kata Fisya sambil bergidik lalu menyeruput susu hangat yang ada di sampingnya.
"Lah! Kaca jendela-nya aja belum di tutup," ucap Jessica sambil berjalan menuju jendela dengan balutan selimut yang menempel di tubuhnya. "Kok bisa kelupaan sih pantesan di--" Jessica terdiam seketika.
"Kok diem Jes?" Fisya mengalihkan pandangannya pada jendela balcon dan Jessica yang mematung di sana. Ia ikut berdiri menuju temannya itu.
"Astaga!"
Bug
Fisya menutup jendela sangat kencang. Ia menarik tangan Jessica ke depan televisi. Menenangkannya kemudian memberinya teh hangat.
"Jess jangan sampe kepikiran. Lo harus tenang dulu, kita selidikin ini besok lagi, yah?" Gadis bernama lengkap Askanafisya itu memijat-mijat pundak Jessica.
"Apa sii heh?" ucap Jessica saat pandangannya kosong. "Apa yang Dira mau sampe-sampe dia teror gue terus-terusan dengan cara begini?" Ia mengacak-ngacaknya rambutnya frustasi. "Dengan cara kek gini itu bukan hanya gue yang bisa jadi korban, tapi lo juga Sya! Gue gak mau!"
"Iya Fisya tahu, lo gak mau Fisya jadi korban. Tapi di sini itu elo yang main, Fisya cuma nemenin lo biar gak terjadi apa-apa." Tiba-tiba Jessica memeluknya.
"Makasih, Sya. Gue tahu alasan kenapa Tuhan kirim lo sebagai sahabat gue."
Karena segalanya itu punya alasan. Tanpa di sadari sebelumnya.
-----
Tas kecil sudah menenteng di pundak gadis berusia 19 tahun dengan koper yang ia bawa. Angin membuat rambut di pelipis mereka berterbangan ke arah mata, yang semakin menambah manis senyuman mereka.
Pukul 09:00 pagi Jessica sudah siap membuka rumah peninggalan ibunya dengan kunci berukuran kecil. Setelah meninggalkan apartemen, keuangannya semakin menipis.
"Bukannya rencana kita cari kerja?" ucap Fisya saat mereka berjalan menuju kamar di dekat loteng.
"Iya, kalo urusan kamar mandi udah selesai aja."
"Emangnya lu masih ada duit buat bayarnya?" tanya Fisya cerewet.
"Ada kok, sans aja."
Selesai merapikan pakaian. Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar. Kedua perempuan ini sudah menyangka bahwa mang Ujang sudah datang. Rupanya dugaan keduanya benar. Mang Ujang mulai menggali sumur baru di belakang, sambil menunggu pesanan tanah dan semen datang esok hari.
"Mang Ujang, diminum dulu kopinya." Fisya meletakkan kopi itu di atas meja kecil yang sengaja di sediakan untuk menyimpan makanan.
Mang Ujang mengangguk. Fisya merasa aneh dengan kehadiran pekerja ini. Hawanya terasa berbeda, tidak seperti biasanya. Angin seakan menusuk pori-pori kulitnya. Padahal di belakang rumah ini biasanya adem ayem saja.
Fisya memilih ikut Jessica menonton televisi.
"Mang Ujang giat kan kerjanya?" tanya Jessica sambil mengupas kacang tanah camilannya.
"Giat kok."
"Lo kenapa?"
"Gak papa, dingin aja gitu."
"Dingin karna kipas angin kali. Liat tuh gue nyalain kipas angin soalnya gerah, lo malah dingin."
"Dari belakang rumah aja udah dingin gini kok," kata Fisya.
"Hm."
"Jess," panggil Fisya.
"Apaa?" jawab Jessica.
"Fisya pen pipis."
"Gak jangan! Jangan di kamar mandi sini. Cari toilet umum aja?" Jessica langsung mengalihkan perhatiannya pada Fisya.
"Keburu bocor di jalan dong. Huaaa..." Fisya merengek seperti anak kecil. Jessica hampir sebal melihatnya.
"Yaudah deh hayuk gue anter deh hem." Keduanya berjalan lambat menuju kamar mandi, mengendap-endap seperti maling.
Tiba-tiba seseorang memegang pundak Fisya. Ia kemudian menoleh ke pundaknya, tangannya kotor, dan keriput. Seperti tangan kakek cangkul dalam film horror kesukaannya.
"Aaa...!!!" Kedua gadis ini berteriak sekencang-kencangnya dengan mata tertutup rapat. Laju jantungnya berdetak cepat. Juga tangan yang saling memegang erat.
"Eh neng, neng! Ini mang Ujang."
"What? Aduh mang Ujang ngagetin ajaa. Fisya takut banget barusann." Fisya langsung terburu-buru menuju kamar mandi. Jessica sendiri melanjutkan obrolan dengan mang Ujang.
"Hehe maaf neng, itu sumurnya baru mang Ujang gali sekitaran 5 meter ya."
"Cepet banget mang?" Kepala Fisya nongol dari pintu toilet.
"Yaudah makasih ya mang, dilanjut besok," ucap Jessica.
Mang Ujang hanya mengangguk sambil tersenyum. Kedua perempuan itu merasa heran. Ini orang apa mesin penggali sumur?
Setelah mang Ujang pamitan. Jessica berniat mengecek apakah sudah di gali dengan benar atau belum.
Fisya melihat Jessica menggelengkan kepala, dan bertolak pinggang di belakang rumah. Ia penasaran mengapa ekspresi kebingungan menyelimuti Jessica saat melihat sumur yang baru digali sebagian oleh mang Ujang.
"Kenapa Jess?" Fisya menatap Jessica kemudian mengalihkan pandangannya pada sumur di depannya. Kebingungan Jessica terjawab langsung olehnya setelah melihat langsung.
"Hah? Kok bisa sih. Mang Ujang bilang udah sekitar 5 meter-an. Lah ini kok?" Fisya celingukan.
"Ntahlah, Sya. Gue yakin mang Ujang gak bohong."
"Kalau mang Ujang gak bohong? Terus mata kita salah lihat gitu?" cerocos Fisya menambah pening kepalanya.
"Ntahlah, Sya. Gue heran, kenapa pembangunan soal kamar mandi di rumah ini selalu aja gagal, dan ini juga bukan pertama kalinya. Yang pasti sejak kematian Dira."
"Iya Fisya tahu sejak kematian itu selalu aja banyak persoalan. Tapi mereka gak berani nunjukin secara langsung mereka seperti apa!" ucap Fisya tegas.
"Diem!" kilah Jessica. "Atau mereka akan nunjukin rupa aslinya..."
______Kalau suka boleh di vote.
Terimakasih!Instagram penulis nsfauziah17
KAMU SEDANG MEMBACA
ABSTRAK
HorrorSejak 40 hari kematian ibu tirinya. Rumahnya terasa mencekam dan penuh kejanggalan. Jesicca sering merasa ada ular di toiletnya. Seperti mangsa yang ingin mengambil kerhomatannya. Ketika masa lalu mengungkap Jesicca bukan sepenuhnya korban, sebab da...