"Kubunuh kau, Muka Jelek! Hiyaaat...!"
Keras sekali teriakan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun yang mengenakan baju biru muda dari bahan sutera halus itu. Teriakannya yang keras, diiringi hentakan tangan kanan yang mengarah pada seorang anak kecil berusia sekitar tujuh tahun.
Begitu cepat gerakan tangan anak muda itu, sehingga bocah yang berpakaian buruk seperti gembel ini tidak sempat lagi menghindarinya. Maka hantaman yang mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi itu tepat menghantam dada telanjang bocah ini.
Diegkh...!
"Akh...!"
Bocah kecil itu kontan menjerit keras, dan tubuhnya terpental jauh ke belakang. Begitu keras hantaman tadi, sehingga bocah itu terus melayang, hingga sampai ke bibir sebuah jurang yang ada di belakangnya. Bocah itu jatuh, dan langsung bergulingan di tanah. Dan dia benar-benar tidak dapat lagi menguasai diri. Tubuhnya terus bergulingan, hingga jatuh terperosok ke dalam jurang.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan yang begitu panjang dan menyayat dari dalam jurang. Tapi tidak lama, jeritan itu lenyap bersamaan menghilangnya tubuh bocah kecil berpakaian buruk seperti gembel itu. Sementara, anak muda yang tadi menghantamnya, bergegas berlari ke tepi jurang. Kepalanya seketika dijulurkan, berusaha untuk bisa melihat tubuh bocah yang mungkin sudah hancur di dalam jurang.
"Heh...?!"
Tapi pemuda itu jadi terkejut setengah mati, karena di dasar jurang yang tidak begitu dalam ini sama sekali tidak terlihat ada satu sosok tubuh pun di sana. Padahal tadi sudah jelas kalau bocah kecil itu bakal hancur termakan batu-batu yang banyak bertebaran di dasar jurang.
"Mustahil...! Ke mana dia...?" desis anak muda itu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Jelas sekali dari raut wajahnya kalau anak muda ini jadi penasaran. Tapi begitu kakinya terayun hendak menuruni tebing jurang yang berbatu ini.
"Cukup, Widura. Tidak perlu kau turun ke sana"
Terdengar suara halus dari belakang. Maka anak muda yang ternyata bernama Widura itu tidak jadi menuruni jurang. Kepalanya berpaling sedikit, kemudian tubuhnya berbalik. Dan di depannya kini sudah terlihat seorang wanita berusia lebih dari separo baya, tapi masih kelihatan cantik dan padat. Dia berbaju cukup ketat warna putih bersih, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah.
"Anak itu tidak ada di jurang ini, Nyai Wisanggeni," kata Widura memberi tahu.
"Aku sudah tahu," ringan sekali sahutan wanita yang dipanggil Nyai Wisanggeni.
"Kau sudah tahu...?"
Widura jadi tidak mengerti. Dipandanginya wanita itu dalam-dalam. Dia sungguh heran! Karena setahunya, wanita yang bernama Nyai Wisanggeni itu tidak beranjak sedikit pun dari tempatnya tadi. Tapi, apa yang terjadi pada anak gembel itu di dasar jurang sana sudah bisa diketahuinya.
"Kau terlalu menganggap enteng anak itu, Widura. Seharusnya lehernya penggal saja tadi dengan golokmu," sesal Nyai Wisanggeni lagi.
"Pukulanku tadi pasti sudah membuat dadanya remuk, Nyai."
"Itu bukan berarti sudah mati, Widura. Lihatlah kenyataannya. Anak itu sekarang tidak ada lagi. Dan dia pasti masih hidup sekarang."
"Aku akan mencarinya, Nyai."
"Tidak perlu. Tidak ada gunanya lagi mencari anak itu, Widura. Ayo kita kembali saja."
Widura tidak bisa membantah lagi. Walaupun rasa penasaran masih tersimpan dalam hatinya, tapi perintah wanita ini tidak dapat ditolaknya. Dengan hati diliputi rasa kepenasaran dan terus bertanya-tanya, kaki Widura terayun juga mengikuti wanita separo baya yang masih kelihatan cukup cantik dan menggairahkan ini. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara sedikit pun. Dan sesekali kepala pemuda itu masih sempat menoleh ke belakang. Mungkinkah anak kecil berusia tujuh tahun itu tidak mati di dasar jurang yang penuh batu...?
Walaupun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari delapan belas tahun, tapi pertanyaan itu terus mengganggu pikiran Widura. Memang sulit baginya untuk melupakan peristiwa yang untuk pertama kalinya mendapat tugas menghilangkan nyawa orang lain. Padahal, hanya nyawa seorang anak gelandangan yang sangat kotor dan berwajah buruk sekali. Tapi itu tugas yang diberikan gurunya, yang tidak mungkin dapat ditolak lagi. Meskipun dalam hati kecilnya tidak ingin melaksanakannya, tapi Nyai Wisanggeni tetap memaksa untuk melakukan kekejaman itu.
Dan sekarang, setelah delapan belas tahun berlalu, Widura bukan lagi seorang anak muda yang gagah. Walaupun tubuhnya tidak lagi tegak seperti dulu, tapi ketampanannya masih tetap terlihat. Bahkan tingkat kepandaiannya juga semakin bertambah. Widura sekarang menjadi seorang panglima perang Kerajaan Pakuan yang amat disegani.
Siang ini, entah kenapa Widura datang kembali ke tempat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun lalu. Sebuah daerah perbukitan yang dibelah oleh jurang yang tidak begitu dalam dan besar. Keadaannya belum banyak yang berubah, masih seperti pertama kali dia harus melenyapkan nyawa seorang anak manusia berusia tujuh tahun pada delapan belas tahun yang lalu. Dan entah sudah berapa lama Widura berdiri mematung di bibir jurang. Sementara, para pengawal dan prajurit hanya bisa sabar menunggunya.
"Gusti Panglima..."
Tiba-tiba seorang punggawa menghampiri Panglima Widura yang masih tetap berdiri mematung di bibir jurang ini. Panglima Widura perlahan berbalik sambil menghembuskan napas panjang. Seakan, ada sesuatu yang tengah dirasakannya saat ini.
"Ada apa, Punggawa Garula?" tanya Panglima Widura datar.
"Ampun, Gusti. Sudah hampir senja. Apakah Gust ingin tetap berada di sini hingga malam?" hormat sekali tutur kata dan sikap orang yang dipanggil Punggawa Garula.
"Perintahkan semua prajurit untuk mendirikan tenda. Aku ingin tinggal di sini sampai besok pagi," sahut Panglima Widura.
"Baik, Gusti Panglima."
Punggawa Garula bergegas meninggalkan panglimanya. Lalu prajurit-prajuritnya diperintahkan untuk mendirikan tenda. Walaupun ada guratan keheranan pada wajah para prajurit, tapi perintah panglimanya tetap dilaksanakan. Mereka memang tidak tahu untuk apa Panglima Widura datang ke tepi jurang dan bermalam di sini. Dan hanya Panglima Widura sendiri yang bisa menjawabnya. Namun para prajurit tetap melaksanakan perintah junjungannya untuk mendirikan tenda. Sementara, Panglima Widura kembali memandang ke dalam jurang yang penuh batu dan sama sekali tidak ada perubahan selama delapan belas tahun.
"Tenda sudah siap, Gusti Panglima. Apakah Gusti Panglima hendak beristirahat...?" Punggawa Garula kembali datang melapor.
"Kemarilah. Punggawa," pinta Panglima Widura, tanpa berpaling sedikit pun.
Dengan sikap hormat, Punggawa Garula menghampiri panglimanya. Tubuhnya dibungkukkan sedikit dengan telapak tangan merapat di depan dada, begitu berada di sebelah kanan Panglima Widura.
"Kau tahu, Punggawa. Aku mempunyai satu kenangan pahit di sini yang tidak bisa kulupakan seumur hidup...," pelan sekali suara Panglima Widura.
"Kalau boleh hamba tahu, kenangan apa itu, Gusti...?" ujar Punggawa Garula ingin tahu.
"Sulit dijelaskan, Punggawa. Tapi di tempat inilah aku pertama kali menjadi seorang pengecut yang kejam. Untuk pertama kali dalam seumur hidup, aku menghabisi nyawa orang," pelan sekali suara Panglima Widura.
"Ah.... Gusti Panglima pasti bergurau. Semua orang tahu, betapa gagahnya Gusti Panglima berada di medan perang. Kerajaan Pakuan tidak akan sebesar ini tanpa Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula tidak percaya ucapan panglimanya barusan.
"Kapan pertama kali kau menghilangkan nyawa orang lain, Punggawa?" tanya Panglima Widura.
"Hamba tidak ingat, Gusti," sahut Punggawa Garula.
"Hhh...!"
Entah kenapa, Panglima Widura jadi menarik napas panjang. Memang, Punggawa Garula ditakdirkan untuk menjadi seorang prajurit. Dan baginya, melenyapkan nyawa orang lain bukanlah suatu pekerjaan yang harus dipikirkan mendalam. Terlebih lagi, menjadi kenangan seumur hidup yang tidak akan bisa terlupakan.
Sama sekali Panglima Widura tidak bisa menyalahkan Punggawa Garula yang mempunyai pendapat seperti itu. Dan memang, bukan hanya punggawa itu saja yang berpendapat demikian, banyak orang berpendapat sama. Terlebih lagi, bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan. Nyawa bagai tidak ada artinya sama sekali. Bahkan seringkali dibuat menjadi bahan permainan.
"Sudah gelap. Kau atur penjagaan, Punggawa," ujar Panglima Widura memberi perintah.
"Hamba. Gusti Panglima," sahut Punggawa Garula seraya membungkuk memberi hormat.
Sementara Panglima Widura sudah melangkah menuju tendanya, Punggawa Garula segera mengatur para prajuritnya untuk bergantian berjaga malam. Dan memang, kegelapan sudah menyelimuti sebagian alam ini. Kesunyian pun sudah terasa menyelimuti hati mereka semua yang ada di tepian jurang ini.
Di dalam tendanya, Panglima Widura tidak dapat memejamkan matanya sepicing pun. Kembali benaknya teringat peristiwa yang terjadi delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Bahkan kembali terbayang wajah bocah yang tidak berdosa itu. Sinar mata yang redup dan memancarkan permohonan belas kasihan, tapi saat itu Widura sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan garang dihantamkannya pukulan yang bertenaga dalam cukup tinggi ke dada kurus bocah itu, hingga terjerumus masuk ke dalam jurang.
Panglima Widura merasakan udara di dalam tendanya begitu panas. Dan kakinya segera melangkah ke luar. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan tendanya, mendadak saja....
"Aaa..!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Bukan hanya Panglima Widura yang terkejut mendengar jeritan melengking tinggi tadi. Bahkan seluruh prajuritnya juga kaget setengah mati. Tanpa diperintah lagi, mereka segera bersiaga dengan senjata terhunus milik masing-masing. Panglima Widura yang melihat Punggawa Garula, bergegas menghampiri.
"Ada apa. Punggawa?" tanya Panglima Widura langsung.
"Entahlah, Gusti...," sahut Punggawa Garula.
Dan baru juga mulut Panglima Widura terbuka hendak bertanya lagi, mendadak...
"Akh...!"
"Heh...?!"
Kembali mereka dikejutkan oleh terdengarnya pekikan agak tertahan. Panglima Widura bergegas berbalik. Saat itu, terlihat seorang prajurit terhuyung-huyung ke arah panglima ini. Dan tubuhnya langsung jatuh terguling, begitu berada dekat di depan Panglima Kerajaan Pakuan ini.
"Hah...?!"
Kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak kaget begitu melihat sepotong ranting kering tertancap di leher prajurit ini. Dan belum lagi rasa terkejutnya hilang, kembali terdengar jeritan nyaring melengking yang disusul ambruknya seorang prajurit lagi, dengan sepotong ranting menembus dada.
"Siaga...!" teriak Panglima Widura memberi perintah.
Seketika itu juga, seluruh prajurit yang berjumlah sekitar lima puluh orang langsung membuat lingkaran, melindungi panglimanya.
"Siapa kau?! Cepat keluar...!" teriak Panglima Widura lantang menggelegar.
Teriakan yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu menggema sampai ke dalam jurang, dan menyusup di antara lebatnya pepohonan di sekitar hutan ini. Tapi, tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Kini keadaan jadi begitu sunyi dan mencekam. Sedikit pun tidak terdengar suara. Hanya desir angin saja yang terdengar menghembus, mengusik dedaunan. Panglima Widura mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan pada saat matanya terarah ke sebelah kanan, saat itu juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menuju ke arah jurang.
"Hup..."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panglima Widura segera melesat mengejar. Namun bayangan itu dalam sekejapan mata saja sudah lenyap bagai ditelan bumi. Sementara, Panglima Widura sudah berada di bibir jurang. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling.
"Aku di sini, Widura...."
"Heh...?!"
Panglima Widura jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara yang begitu berat dari belakangnya. Cepat tubuhnya berbalik. Dan kini di hadapannya sudah berdiri seseorang yang wajahnya begitu sulit dikenali, karena tertutup sebuah caping dari jerami yang cukup besar.
Orang itu bertubuh bungkuk, terbungkus pakaian compang-camping. Tampak sebuah benjolan besar seperti tumbuh di punggungnya. Tidak ada satu senjata pun terlihat, kecuali sebatang tongkat kayu yang tergenggam di tangan kanannya. Kelihatannya tongkat itu tidak berarti, dan hanya sekadar menyanggah tubuhnya yang bungkuk. Namun siapa tahu, justru di dalamnya mengandung kekuatan dahsyat.
"Siapa kau...?!" tanya Panglima Widura dengan suara agak keras membentak.
"Kau tentu sudah tidak lagi mengenaliku, Widura? Tapi aku tidak akan pernah bisa melupakanmu, karena tubuhku seperti ini akibat perbuatanmu. Nah… Malam ini juga aku akan membuat perhitungan padamu," terasa begitu dingin suara orang bertubuh bungkuk ini.
"Heh...?! Perhitungan apa...? Aku saja baru kali ini bertemu denganmu, Kisanak," terdengar agak terkejut nada suara Panglima Widura.
"Kau lupa, Widura. Kita pernah sekali bertemu. Namun, pertemuan itu tidak akan pernah kulupakan seumur hidup. Kau begitu kejam, Widura. Kau waktu itu mencoba membunuhku, tapi sang Hyang Widi belum menghendaki aku mati. Dan pertemuan yang kedua ini, sengaja kedatanganku untuk sedikit menghirup darahmu," masih terasa begitu dingin nada suara orang aneh itu.
"Siapa kau sebenarnya...?" tanya Panglima Widura.
"Delapan belas tahun... Waktu yang cukup lama untuk menunggu dan membalas semua perbuatan kejimu, Widura," masih terasa begitu dingin suara orang itu, tanpa menjawab pertanyaan Panglima Widura tadi.
"Heh...?! Kau...," suara Panglima Widura jadi tercekat di tenggorokan.
Orang berpakaian kumal seperti gembel itu perlahan mengangkat tangan kirinya ke atas. Lalu, dibukanya tudung jerami yang menutupi kepala serta sebagian wajahnya. Dan begitu tudung jerami itu terlepas dari kepala, kedua bola mata Panglima Widura jadi terbeliak lebar. Bahkan mulutnya jadi ternganga bagai melihat sosok hantu yang begitu mengerikan.
Sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihatnya ini. Wajah orang itu demikian hitam bagai arang. Rambutnya yang jarang, dibiarkan meriap tidak teratur. Seluruh kulitnya juga hitam, penuh benjolan. Dan ketika dadanya dibuka, terlihat gambar sebuah telapak tangan berwarna merah agak kehitaman, hingga hampir tidak terlihat dalam sepintas saja.
"Kau...," suara Panglima Widura semakin tercekat.
Seketika Panglima Widura kembali teringat pada peristiwa delapan belas tahun yang lalu di tempat ini. Peristiwa yang sampai sekarang sulit dilupakan. Sementara, orang bertubuh hitam terbungkus pakaian kumal penuh tambalan itu tersenyum menyeringai lebar. Dengan senyum itu, dia memperlihatkan baris-baris giginya yang runcing dan tidak teratur, bagaikan barisan gigi binatang buas. Sorot matanya begitu tajam memerah, menatap lurus ke bola mata Panglima Widura. Seakan-akan, dia ingin melumat panglima itu lewat sorot matanya.
"Ya! Aku sering dipanggil Datuk Muka Hitam. Dan akulah anak kecil tanpa daya yang tidak punya dosa apa-apa padamu, tapi malah ingin kau bunuh. Dan sekarang aku datang, Widura. Datang dengan membawa pembalasan," masih terdengar dingin sekali nada suara orang bertubuh hitam yang mengaku bernama Rahkapa.
"Maafkan aku, Rahkapa. Waktu itu, aku hanya menjalankan perintah saja. Aku tidak tahu apa-apa," ujar Panglima Widura bernada menyesal. "Ketahuilah, Rahkapa. Sampai saat ini aku terus menyesali semua yang telah kulakukan padamu. Itulah sebabnya, setiap saat aku datang ke sini untuk mengenang semua itu."
"Hanya dengan mengenang, tidak akan bisa menyelesaikan persoalan, Widura."
"Ya, aku tahu itu. Tapi, maafkanlah aku..."
"Hmm. Tidak kusangka! Orang yang begitu kejam, ternyata sekarang merintih ketakutan seperti tikus. Di mana kegaranganmu, Widura...!"
Panglima Widura hanya diam saja. Dia tahu dengan cara apa pun, Rahkapa yang sudah dikenal sebagai Datuk Muka Hitam itu tidak akan bisa memaafkan semua yang sudah dilakukannya delapan belas tahun yang lalu.
"Kau lihat, Widura. Akibat dari perbuatanmu itu, aku tidak punya lagi masa depan. Semua orang takut dan jijik melihatku. Kau harus membayar semua ini, Widura. Kau harus merasakan, bagaimana hidup terhina dan dijauhi orang," semakin dingin nada suara Rahkapa.
Panglima Widura masih tetap diam. Tapi tangannya sudah mencekal gagang pedang yang masih tergantung di pinggang. Disadari, tidak ada jalan lain lagi, kecuali membela diri. Walaupun dalam hatinya merasa bersalah, tapi dia tidak mau menerima nasib begitu saja tanpa ada perlawanan sama sekali. Sementara itu, para prajurit yang bersama Panglima Widura sudah mengepung tempat ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti, persoalan apa yang terjadi pada diri panglimanya ini. Tapi, mereka sudah siap dengan senjata terhunus, siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Terimalah pembalasanku, Widura! Hiyaaa...!"
"Hap...!"***
KAMU SEDANG MEMBACA
116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka Hitam
AçãoSerial ke 116. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.