BAGIAN 4

333 19 0
                                    

Panglima Widura jadi terpekik, begitu tangannya terkena hantaman keras dari tangan kiri Datuk Muka Hitam. Akibatnya, pedang yang berada di dalam genggaman tangan kanannya terlepas dan melayang tinggi ke angkasa.
"Hup! Hiyaaa...!"
Panglima Widura cepat melesat berusaha mengejar pedangnya yang terpental tinggi ke angkasa. Tapi baru saja melesat, tiba-tiba saja Datuk Muka Hitam sudah melenting dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Dan seketika diberikannya satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hih!"
Panglima Widura yang tengah melayang mengejar pedangnya sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan yang demikian cepat. Akibatnya, dia tidak dapat lagi berkelit. Maka pukulan yang dilepaskan Datuk Muka Hitam tepat menghantam dadanya.
Diegkh!
"Akh...!"
Kembali Panglima Widura terpekik keras agak tertahan. Tubuhnya seketika terpental jauh ke belakang, dan keras sekali menghantam tanah. Kembali panglima itu terpekik dan menggeliat sebentar di tanah. Tampak darah merembes dari sudut bibirnya.
"Phuih!"
Sambil menyemburkan darah yang menggumpal dalam rongga mulutnya, Panglima Widura mencoba bangkit berdiri. Tapi dadanya yang terkena pukulan jadi terasa sesak. Dan pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Walaupun bisa berdiri lagi, tapi tubuhnya sudah tidak bisa lagi ditegakkan. Panglima Widura kelihatan limbung. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini. Datuk Muka Hitam melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
Namun begitu pukulan Datuk Muka Hitam hampir menghantam dada Panglima Widura, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan putih menghadang serangan.
Plak!
"Ikh...?!"
Datuk Muka Hitam jadi terpekik kaget begitu pukulannya membentur bayangan putih yang berkelebat cepat bagai kilat menghadang arus serangannya. Cepat tubuhnya melenting dan berputaran dua kali ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, tampak seorang pemuda berbaju putih tanpa lengan sudah berdiri di depan Panglima Widura. Wajahnya yang tampan semakin terlihat mempesona oleh senyum yang terus mengembang menghiasi bibirnya.
"Bocah keparat! Minggir kau...! Jangan ikut campur urusanku!" bentak Datuk Muka Hitam berang.
"Aku memang tidak ingin mencampuri urusanmu. Tapi kalau kau sudah bertarung tanpa aturan, terpaksa aku harus mencegahnya, Kisanak," terdengar lembut dan kalem sekali nada suara anak muda berbaju rompi putih dengan gagang pedang berbentuk kepala burung bertengger di punggungnya.
"Phuih! Apa hubunganmu dengan si setan keparat itu, heh...?!"
"Tidak ada hubungan apa-apa. Maaf, aku hanya tidak bisa melihat kecurangan dalam pertarungan," masih terdengar tenang suara pemuda itu.
"Heh...?! Kecurangan apa yang kulakukan?"
"Kau menggunakan ilmu kesaktian di saat lawan tidak siap menggunakannya. Dan itu satu kecurangan dalam pertarungan. Maaf, aku terpaksa harus menilai pertarunganmu tadi, Kisanak."
"Setan...! Mau cari mampus rupanya, heh...?!"
Pemuda berbaju rompi putih itu hanya tersenyum saja mendengar bentakan Datuk Muka Hitam yang sudah demikian berang. Sementara, Panglima Widura sudah bisa menguasai keadaan. Tarikan napasnya sudah tidak lagi tersengal, walaupun dadanya masih terasa begitu nyeri, akibat pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam dan ilmu kesaktian tadi. Dihampirinya pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya ini.
"Sebaiknya kau menyingkir saja, Anak Muda. Dia terlalu berbahaya untukmu," ujar Panglima Widura. "Dan kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu tadi."
"Tarikan napasmu masih terdengar berat, Paman. Luka dalam yang kau derita cukup parah. Dan rasanya pertarunganmu tidak mungkin bisa dilanjutkan," kata pemuda itu kalem.
"Maaf, Anak Muda. Semua ini urusanku. Sebaiknya kau memang tidak perlu ikut campur. Sekali lagi, maaf...," ujar Panglima Widura sopan.
"Baiklah, Paman. Tapi aku tetap akan mengawasinya, kalau dia melakukan kecurangan lagi."
Setelah berkata demikian, anak muda berbaju rompi putih itu segera menggeser kakinya ke kanan, menjauhi Panglima Widura yang sudah bisa berdiri tegak dengan tarikan napas masih terdengar berat. Dan pemuda berbaju rompi putih itu tahu, Panglima Widura menderita luka dalam yang cukup parah.
"Kau ingin membunuhku, Datuk Muka Hitam? Bunuhlah... Kau punya kesempatan banyak untuk membunuhku. Agar kau puas, Datuk Muka Hitam," tantang Panglima Widura, sambil menatap tajam Datuk Muka Hitam.
"Keparat kau, Widura! Aku tidak suka membunuh orang yang sebentar lagi akan mampus!" geram Datuk Muka Hitam.
"Kenapa? Kau takut, Datuk Muka Hitam...?" ejek Panglima Widura sinis.
Datuk Muka Hitam malah terdiam dengan sorot mata terlihat begitu tajam dan membara, bagai sepasang bola api yang akan menghanguskan seluruh tubuh Panglima Kerajaan Pakuan ini. Sedikit pun suaranya tidak terdengar. Namun, di dalam sorot matanya terpancar sinar dendam membara.
"Hari ini kau beruntung, Widura. Tapi ingat, satu saat kelak aku tidak akan segan-segan lagi memenggal batang lehermu," desis Datuk Muka Hitam dingin menggetarkan.
Setelah berkata demikian, Datuk Muka Hitam langsung memutar tubuhnya, dan sekali genjot saja, tubuhnya sudah melesat cepat bagai kilat. Dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuh Datuk Muka Hitam sudah tidak terlihat lagi. Sementara Panglima Widura memutar tubuhnya perlahan-lahan, hingga berhadapan langsung dengan pemuda berbaju rompi putih yang menyelamatkan nyawanya dari maut.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap Panglima Widura.
"Hm," pemuda itu hanya menggumam saja sedikit.
"Kalau bolah kutahu, siapa namamu, Anak Muda?" tanya Panglima Widura.
"Rangga," sahut pemuda itu memperkenalkan namanya.
Dan memang, pemuda berbaju rompi putih yang pedangnya tersampir di punggung itu tidak lain dari Rangga. Di kalangan rimba persilatan, dia lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
"Dan temanku bernama Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan gadis cantik yang masih berdiri di sebelah orang tua pemilik kedai.
Panglima Widura tersenyum dan menganggukkan kepala pada Pandan Wangi. Gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membalas dengan sedikit anggukan kepala juga. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri diiringi orang tua yang kedainya hancur akibat pertarungan Panglima Widura melawan Datuk Muka Hitam tadi.
"Maaf kedaimu hancur, Ki. Biar semua kerugianmu aku yang mengganti," ujar Panglima Widura, setelah orang tua pemilik kedai itu dekat bersama Pandan Wangi.
"Terima kasih, Gusti."
Panglima Widura lalu mengambil kantung kulit yang tergantung di pinggangnya. Kemudian, diserahkannya sekantung uang emas itu pada orang tua pemilik kedai ini yang menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah mengucapkan terima kasih berulang kali dengan membungkukkan tubuhnya, orang tua pemilik kedai itu meminta diri. Dan Panglima Widura hanya tersenyum saja mengiringi kepergian pemilik kedai dengan pandangan matanya. Tatapannya baru beralih ke arah Rangga dan Pandan Wangi kembali setelah orang tua pemilik kedai tadi sudah jauh.
"Anak Muda, sekali lagi kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kalau kalian berdua tidak keberatan, aku mengundang kalian singgah di rumahku," ucap Panglima Widura dengan tutur kata lembut dan ramah sekali.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. "Tapi, maaf. Sekarang ini, kami masih ada urusan yang harus diselesaikan. Mungkin satu hari nanti, kami akan singgah."
"Kalian berdua sepertinya bukan orang Pakuan. Kalau boleh tahu, ada urusan apa kalian di Pakuan ini?" tanya Panglima Widura.
"Hanya urusan keluarga saja, Gusti Panglima," selak Pandan Wangi cepat, sebelum Rangga membuka suara. Dan gadis itu ikut memanggil dengan sebutan Gusti Panglima pada Widura, sebagaimana pemilik kedai tadi memanggil.
"Kalau begitu, baiklah. Aku pergi dulu. Aku menunggu kalian di kediamanku," ujar Panglima Widura, seraya mengangkat bahunya.
"Mudah-mudahan kami bisa singgah, Gusti Panglima," sahut Rangga seraya membungkukkan tubuh sedikit memberi hormat.
Setelah membalas salam penghormatan Pendekar Rajawali Sakti, Panglima Widura mengambil kudanya. Kemudian dia melompat naik ke punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan sekali. Sebentar kepalanya berpaling pada kedua pendekar muda dari Karang Setra itu, lalu menggebah kudanya.
Sementara, Rangga dan Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi Panglima Widura yang semakin jauh meninggalkan debu beterbangan diudara. Pandan Wangi baru melangkah mengambil kuda setelah Panglima Widura tidak terlihat lagi. Hanya debu saja yang masih terlihat mengepul di sepanjang jalan yang menuju Kotaraja Pakuan.
"Ayo, Kakang... kita pergi dari sini," ajak Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Diambilnya tali kekang kudanya dari gadis itu. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti melompat naik dengan gerakan ringan sekali. Sementara, Pandan Wangi sudah berada di punggung kuda putih tunggangannya. Dan tanpa bicara lagi, mereka menggebah kudanya hingga berlari kencang ke arah yang sama dengan Panglima Widura.

116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang