BAGIAN 5

309 18 0
                                    

Di tempat kediamannya, Panglima Widura kelihatan begitu gelisah di dalam kamar. Sementara saat ini malam sudah cukup larut menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Pakuan. Kejadian siang tadi di dekat perbatasan kota sebelah selatan, membuatnya jadi tidak bisa tenang malam ini. Dari para pembesar kerajaan, panglima ini tahu, siapa itu Datuk Muka Hitam yang hampir saja membunuhnya siang tadi. Untung saja, dia cepat ditolong seorang anak muda yang mengaku bernama Rangga.
"Hhh! Perasaanku semakin tidak enak saja sejak tadi. Ada apa ini...?" desah Panglima Widura seraya menghembuskan napas kuat-kuat.
Entah sudah berapa kali Panglima Widura berjalan mengelilingi kamar peristirahatannya yang besar dan megah ini. Sementara, jendela kamarnya dibiarkan tetap terbuka lebar. Sehingga, cahaya bulan yang lembut keperakan, leluasa menerobos masuk menerangi ruangan ini.
"Aku akan menemui Nyai Wisanggeni saja. Aku khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Perasaanku terus semakin tidak enak," gumam Panglima Widura lagi.
Setelah berpikir beberapa saat, panglima berusia setengah baya itu bergegas melangkah keluar dari kamar peristirahatannya ini. Tangannya sempat menyambar sebilah pedang yang tergeletak di atas meja, kemudian mengikatkannya di pinggang. Ayunan langkah kakinya begitu mantap, keluar dari dalam kamarnya. Dan dia terus berjalan menyusuri lorong yang pintu-pintunya berjajar di sebelah kanan dan kiri.
Panglima Widura terus berjalan melewati sebuah ruangan yang berukuran sangat luas dan terang benderang. Sebentar kemudian, dia sudah berada di beranda rumah yang berukuran sangat besar dan megah bagai istana ini. Empat orang anak muda berpakaian seragam prajurit yang berada di beranda segera memberi hormat dengan sedikit membungkukkan tubuh sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Panglima Widura berpaling menatap pada salah seorang dari mereka.
"Kumpulkan dua puluh orang temanmu. Dan siapkan kuda untukku," perintah Panglima Widura.
"Baik, Gusti Panglima," sahut prajurit muda itu.
Bergegas prajurit itu melangkah pergi. Sementara, Panglima Widura berdiri tegak di tepi beranda. Pandangan matanya lurus, tidak berkedip sedikit pun ke depan. Kepalanya baru berpaling sedikit, begitu di depan beranda rumahnya sudah berkumpul dua puluh orang prajurit dengan kuda masing-masing. Seorang prajurit muda yang berada paling depan memegangi tali kekang kuda yang sudah siap dengan pelana Panglima Widura bergegas menghampiri kuda tunggangannya. Dan dengan gerakan indah sekali dia melompat naik.
"Kalian berempat, atur penjagaan di sini. Lipat gandakan kekuatannya," perintah Panglima Widura pada empat prajurit yang tidak ikut.
"Hamba laksanakan, Gusti," sahut keempat prajurit itu serempak.
"Hs! Hiyaaa...!"
Panglima Widura langsung menggebah cepat kudanya. Maka kuda hitam dengan belang putih pada kedua kakinya itu meringkik kerasa sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas. Kemudian binatang tunggangan itu melesat cepat bagai anak panah lepas dari busur. Sementara dua puluh orang prajurit yang sejak tadi sudah berada di punggung kuda masing-masing segera menggebah begitu panglimanya sudah memacu cepat kudanya meninggalkan kediamannya yang besar dan megah.
Malam ini bumi Kerajaan Pakuan bagai diguncang gempa. Dua puluh orang prajurit yang langsung dipimpin Panglima Widura bergerak cepat menuju selatan. Hentakan-hentakan kaki kuda yang dipacu cepat, membuat beberapa orang yang masih berada di luar rumahnya jadi terheran-heran. Ketika rombongan itu melewati rumah Ki Jumir, Rangga dan Pandan Wangi tengah duduk-duduk di pinggiran beranda depan. Mereka sempat terkejut melihat Panglima Widura dan dua puluh orang prajurit memacu kuda dengan kecepatan tinggi di tengah malam begini. Seakan, mereka sedang mengejar sesuatu.
"Mau ke mana mereka, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti untuk dirinya sendiri.
"Mana aku tahu?" sahut Rangga seraya berdiri.
"Kau mau ke mana, Kakang?"
"Aku akan mengikuti mereka. Kau di sini saja, Pandan."
Belum lagi Pandan Wangi bisa membuka mulut, Rangga sudah melesat begitu cepat. Hingga dalam sekejap mata saja, tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan bumi. Memang sempurna sekali ilmu meringankan tubuh yang dikuasai Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga tubuhnya bagaikan bisa menghilang saja.
"Nini Pandan...."
"Oh...?!"
Pandan Wangi agak tersentak ketika tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang. Cepat kepalanya berpaling ke belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu Ki Jumir sudah berada di belakangnya. Orang tua yang sebenarnya adalah patih di Kerajaan Pakuan ini melangkah menghampiri, dan berhenti setelah berada di sebelah kiri gadis ini.
"Siapa tadi yang menunggang kuda malam-malam begini?" tanya Ki Jumir langsung.
"Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya," sahut Pandan Wangi.
"Ke mana mereka pergi?"
"Mereka menuju ke selatan"
"Lalu, Rangga ke mana?"
"Mengejar mereka."
"Heh?! Untuk apa...?"
Ki Jumir tampak tersentak kaget mendengar jawaban Pandan Wangi yang begitu polos tadi.
"Aku tidak tahu, Ki. Kakang Rangga memang biasa begitu. Nanti kalau sudah kembali juga akan diberitahu," sahut Pandan Wangi seraya melangkah ke dalam meninggalkan Ki Jumir yang jadi termangu sendiri di depan beranda rumahnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara malam yang begitu dingin, membuat Ki Jumir harus bergegas masuk kembali ke dalam rumahnya.
"Hhh... Mudah-mudahan sang Hyang Widhi melindunginya..." desah Ki Jumir perlahan.
Beberapa saat Ki Jumir masih berdiri terpaku di depan beranda rumahnya yang besar dan megah ini. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah hendak masuk ke dalam. Tapi belum juga mencapai pintu mendadak saja telinganya yang tajam mendengar desiran yang begitu halus dari belakang tubuhnya.
"Haiiit..!"
Tanpa berpaling lagi, Ki Jumir cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan seketika, terlihat secercah cahaya keperakan melewati samping orang tua ini.
"Hup!"
Ki Jumir bergegas memutar tubuhnya berbalik. Dan pada saat itu juga, terlihat cahaya keperakan kembali meluncur cepat bagai kilat. Maka orang tua itu segera melesat berputar dua kali untuk menghindarinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah dengan manis sekali...
"Tunggu...!" sentak Ki Jumir cepat-cepat dan keras, sambil menjulurkan tangannya ke depan. "Siapa kau?! Kenapa tiba-tiba menyerangku...?!"
"Hik hik hik...! Kau tidak mengenaliku, Jumir...?"
Ki Jumir jadi berkerut keningnya. Diperhatikannya orang berjubah lusuh berwarna putih, membungkus tubuhnya yang kecil. Tampak pada tangannya tergenggam tongkat berbentuk ular. Sesaat kemudian, Ki Jumir jadi tersentak, ketika orang itu membuka kain kerudung yang menutupi wajahnya.
"Nyai Wisanggeni..." desis Ki Jumir langsung mengenali.
"Hik hik hik...!"
Ki Jumir benar-benar kaget setengah mati begitu mengenali orang berjubah hitam yang menyerangnya ternyata adalah Nyai Wisanggeni. Dia adalah seorang wanita tua yang memiliki kepandaian tinggi, dan sangat sukar dicari tandingannya. Tapi, bukan itu yang membuat Ki Jumir jadi terkesiap. Karena dia tahu, wanita tua berjubah putih lusuh ini sudah terkenal kekejamannya. Wanita ini tidak akan pernah meninggalkan lawannya dalam keadaan hidup. Bahkan tidak pernah memandang, apakah orang yang akan dibunuhnya sudah tua, anak muda, atau anak kecil. Kekejamannya inilah yang membuat Nyai Wisanggeni terkenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Kau terkejut melihatku, Ki Jumir?" terasa begitu dingin nada suara Nyai Wisanggeni.
"Hm.... Apa maksudmu datang ke sini," Tanya Ki Jumir, dibuat dingin nada suaranya.
"Kukira kau sudah tahu maksud kedatanganku, Ki Jumir. Sebaiknya, bersiaplah menjemput ajalmu," sahut Nyai Wisanggeni datar.
"Kenapa kau ingin membunuhku, Nyai Wisanggeni?" tanya Ki Jumir lagi.
Walaupun Ki Jumir sudah berusaha untuk bisa tetap tenang, tapi getaran suaranya terdengar begitu gelisah. Terutama ketika mendengar kata-kata yang begitu dingin dan mengejutkan dari wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah ini. Dia tahu, apa yang dikatakan Nyai Wisanggeni tidak akan tercabut kembali. Dan wanita itu tidak akan pergi, sebelum memenggal kepala orang yang sudah berhadapan dengannya.
"Hik hik hik..! Kau sudah terlalu banyak tahu, Ki Jumir. Orang sepertimu tentu sangat berbahaya bagi keselamatan muridku. Maka sudah sepantasnya kau harus mampus. Nah! Bersiaplah kau, Ki Jumir...!" dingin sekali jawaban Nyai Wisanggeni, disertai suara tawanya yang mengikik kering membuat bulu-bulu halus di tengkuk jadi meremang berdiri.
"Hm...," Ki Jumir jadi menggumam sedikit. Perlahan laki-laki tua ini mulai menggeser kakinya sedikit ke kanan. Sorot matanya begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun menatap Nyai Wisanggeni yang berada sekitar satu batang tombak di depannya. Sedangkan wanita tua yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah itu masih tetap kelihatan tenang. Malah bibirnya menyeringai, memberikan senyum lebar dan meremehkan.
"Hih...!" Tiba-tiba saja tangan kiri Nyai Wisanggeni mengebut ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangan kirinya melesat beberapa buah benda berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat ke arah Ki Jumir.
"Hap...!"
Tapi hanya sedikit saja Ki Jumir mengegos, serangan Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak sampai menyambar tubuhnya. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, mendadak saja Nyai Wisanggeni sudah melompat cepat bagai kilat, sukar diikuti mata biasa.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Secepat kilat pula tangan kanan Nyai Wisanggeni mengibas, memberikan satu sodokan dahsyat ke arah lambung laki-laki tua ini.
"Haiiit...!"
Ki Jumir cepat melompat ke samping, menghindari kibasan tangan kanan yang mematikan ini. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, cepat sekali tubuhnya meliuk sambil memberi satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah dada kiri perempuan tua ini.
"Hih!"
"Hap!"
Tapi tanpa diduga sama sekali, Nyai Wisanggeni tidak berusaha bergerak sedikit pun juga. Bahkan tangan kirinya malah dipasang di depan dada. Hingga...
Plak!
"Ikh...?!"
Ki Jumir jadi terpekik tertahan, begitu pukulannya beradu dengan tangan kiri Setan Perempuan Penghisap Darah. Seketika seluruh tulang tangan kanannya terasa bagai remuk setelah berbenturan dengan tangan kiri Nyai Wisanggeni yang kerasnya bagai batu karang. Cepat-cepat Ki Jumir melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Lalu manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Mulutnya sempat meringis sambil mengurut tangan kanannya yang nyeri akibat membentur tangan Nyai Wisanggeni tadi.
"Hik hik hik...!"
Nyai Wisanggeni tertawa mengikik, melihat kekuatan tenaga dalam lawannya ternyata masih berada cukup jauh di bawahnya. Dan dengan begitu, sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian Ki Jumir. Sambil tertawa mengikik mengerikan, Nyai Wisanggeni melangkah ke depan, mendekati Ki Jumir yang masih meringis menahan nyeri pada persendian tulang tangan kanannya.
"Saatmu sudah sampai, Ki Jumir. Bersiaplah untuk mati! Hiyaaat..!"
Sambil mendesis dingin, Nyai Wisanggeni berteriak keras menggelegar. Dan tubuhnya langsung melesat cepat bagai kilat menerjang Ki Jumir yang belum siap sama sekali. Serangan yang begitu cepat dan mendadak ini, membuat Ki Jumir jadi terbeliak setengah mati. Bahkan kesempatan untuk menghindar pun sudah tidak dimilikinya lagi. Maka begitu pukulan menggeledek dilepaskan Nyai Wisanggeni hampir menyambar dada, mendadak saja...
Wut!
"Heh...?! Ups!"
Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba secercah cahaya putih keperakan berkelebat begitu cepat, hampir menyambar tangan kanannya yang tengah memberikan pukulan dahsyat menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat tangannya ditarik pulang kembali lalu melompat ke belakang sambil melakukan putaran dua kali. Begitu indah dan ringan gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Setan Perempuan Penghisap Darah menjejakkan kedua kakinya, sekitar satu batang tombak di depan Ki Jumir.
"Setan keparat...!" geram Nyai Wisanggeni berang.
Kedua bola mata Setan Perempuan Penghisap Darah jadi membeliak lebar, begitu mengetahui yang menggagalkan serangannya barusan ternyata hanya seorang gadis muda berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna biru muda, membungkus tubuhnya yang ramping dan indah menggiurkan. Sebuah kipas berwarna putih keperakan tampak terkembang di depan dadanya. Sementara, Ki Jumir berada di sebelah kiri agak ke belakang dari gadis cantik bersenjata kipas yang tidak lain Pandan Wangi, yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
"Bocah keparat! Menyingkir kau! Jangan ikut campur!" geram Nyai Wisanggeni kasar.
Tapi Pandan Wangi hanya tersenyum sedikit saja mendengar bentakan yang bernada kasar itu. Dan kakinya malah melangkah ke depan beberapa tindak. Sorotan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata perempuan tua yang kelihatan memerah menyimpan kemarahan menggelegak ini.
"Sebaiknya, kau saja yang pergi dari sini, Nenek Tua. Kehadiranmu di sini sama sekali tidak diperlukan," terasa begitu datar dan dingin nada suara Pandan Wangi.
"Heh...?! Phuih...!"
Nyai Wisanggeni jadi terperangah mendengar jawaban ketus dan tegas dari gadis cantik ini. Matanya sampai mendelik, dan ludahnya disemburkan dengan sengit. Sementara, Pandan Wangi tetap kelihatan tenang sambil menggerak-gerakkan kipasnya perlahan di depan dada. Hanya Ki Jumir yang kelihatan gelisah melihat kemunculan Pandan Wangi.
Walaupun gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya dan sudah dikenalnya dengan baik, tapi tetap saja gelisah. Karena dia tahu, perempuan tua yang dikenal sebagai Setan Perempuan Penghisap Darah itu tidak bisa dibuat main-main. Kepandaiannya yang sangat tinggi, begitu sukar ditandingi.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bocah...!" desis Nyai Wisanggeni seperti tidak sabar melihat sikap Pandan Wangi yang terus menantangnya.
"Aku ingin tahu, sebesar apa mulutmu itu, Nenek Tua," sambut Pandan Wangi malah menantang.
"Pandan...," Ki Jumir agak menyentak, mencoba memperingatkan Pandan Wangi.
Tapi belum juga bisa tertangkap telinga laki-laki tua itu, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah mengebutkan cepat tangan kirinya ke depan. Maka seketika itu juga melesat sebuah benda kecil berwarna putih keperakan yang begitu cepat bagai kilat.
"Haiiit...!"
Wut!
Tring!
Namun hanya sekali kebut saja, Pandan Wangi sudah bisa menghalau serangan pertama si Setan Perempuan Penghisap Darah dengan kipasnya. Sedikit pun Pandan Wangi tidak menggeser kakinya. Dan benda keperakan itu melenting tinggi ke angkasa, terhempas kipas maut di tangan Pandan Wangi.
"Bagus! Rupanya kau berisi juga, Bocah!" dengus Nyai Wisanggeni dingin.
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam saja sedikit.
"Tahan seranganku ini, Bocah! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Wisanggeni melesat cepat bagai kilat, menerjang Pandan Wangi yang masih mengembangkan kipasnya di depan dada. Satu pukulan dahsyat menggeledek langsung dilepaskan Setan Perempuan Penghisap Darah, tepat diarahkan ke kepala si Kipas Maut.
"Haiiit...!"
Sedikit saja Pandan Wangi mengegoskan kepala, hingga pukulan si Setan Perempuan Penghisap Darah hanya lewat sedikit saja di atas kepala. Dan pada saat itu juga Pandan Wangi mengebutkan kipasnya ke atas. Sehingga, membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget, tidak menyangka akan mendapat serangan balasan yang begitu cepat bagai kilat.
"Ups...!"
Cepat-cepat Nyai Wisanggeni menarik tangannya sambil menghentakkannya sedikit ke atas. Maka ujung kipas maut yang runcing bagai anak panah itu lewat sedikit saja di bawah lengan si Setan Perempuan Penghisap Darah.
"Hih! Yeaaah...!"
Namun Pandan Wangi tidak berhenti sampai di situ saja. Dengan cepat kipasnya diputar, dan langsung dikebutkan ke arah lambung perempuan tua ini.
Bet!
"Haiiikgh. !"
Nyai Wisanggeni cepat menarik kakinya ke belakang, menghindari serangan cepat yang dilancarkan Pandan Wangi barusan. Dan cepat sekali tongkatnya dikebutkan dengan gerakan setengah berputar. Sehingga, tongkat berbentuk seekor ular itu terus melayang mengarah ke kepala Pandan Wangi.
"Hap!"
Pandan Wangi segera menarik kepalanya sedikit ke belakang. Maka begitu ujung tongkat Nyai Wisanggeni lewat di depan mukanya, Pandan Wangi cepat memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat, kipasnya dikebutkan ke arah perut perempuan tua ini. Serangan Pandan Wangi memang sungguh membuat Nyai Wisanggeni jadi terperanjat setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, hingga serangan itu tidak sampai mengenai sasaran. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah kembali menjejakkan kakinya dengan tegak, sekitar satu batang tombak jauhnya di depan Pandan Wangi yang kini sudah mengembangkan kipasnya di depan dada. Dan untuk sesaat, mereka terdiam saling berpandangan dengan tajam menusuk. Seakan-akan, mereka tengah mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki masing-masing.
"Siapa namamu, Bocah?" tanya Nyai Wisanggeni dingin.
"Untuk apa kau ingin tahu namaku...? Tidak ada gunanya kau tahu namaku, karena sebentar lagi kau akan mampus," sahut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Hik hik hik..! Kau angkuh sekali, Bocah. Tapi aku suka dengan wanita angkuh dan berkepandaian tinggi sepertimu. Tapi sayangnya, mulutmu harus kubungkam, Bocah," masih tetap terasa dingin suara Nyai Wisanggeni.
"Coba saja kalau bisa. Aku malah khawatir, mulutmu sendiri yang kurobek nanti," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Phuih! Kau benar-benar tidak bisa dikasih hati, Bocah. Terimalah seranganku ini! Hiyaaat..!"
"Hap...!"

***

116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang