BAGIAN 6

295 21 0
                                    

Pandan Wangi cepat melenting ke udara, begitu Nyai Wisanggeni melompat seraya mengebutkan tongkatnya yang berbentuk ular itu ke arah kaki. Sehingga tongkat itu hanya lewat saja di bawah telapak kaki si Kipas Maut ini.
Bet!
Namun Nyai Wisanggeni begitu cepat memutar tongkatnya, langsung disentakkan ke arah perut gadis cantik berbaju biru muda ini. Begitu cepat serangan susulannya, sehingga Pandan Wangi jadi sedikit terperangah juga. Namun dengan gerakan berputar yang manis sekali, serangan itu masih bisa dihindari
"Hap!"
Manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali di tanah. Dan pada saat itu juga, Nyai Wisanggeni sudah mengebutkan tongkatnya ke arah kepala. Cepat-cepat gadis ini merunduk. Tapi tanpa diduga sama sekali kaki kiri Nyai Wisanggeni menghentak cepat. Maka....
Diegkh!
"Akh...!"
Pandan Wangi jadi terpekik, begitu tanpa diduga sama sekali dadanya mendapat tendangan telak yang begitu keras, mengandung pengerahan tenaga dalam. Gadis itu kontan terpental ke belakang, sejauh dua batang tombak. Dan tubuhnya jatuh menghantam tanah dengan keras, sehingga membuatnya kembali terpekik.
"Ugkh! Hoeeek...!"
Pandan Wangi seketika memuntahkan darah kental agak kehitaman, saat mencoba bangkit berdiri. Tendangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ini membuat seluruh rongga dadanya bagaikan remuk. Dan napasnya juga jadi tersengal, membuat pandangannya jadi berkunang-kunang.
Walaupun tampaknya menderita luka dalam yang cukup parah, tapi Pandan Wangi masih tetap berusaha bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Setan Perempuan Penghisap Darah sudah melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu, dilepaskannya satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
Dan pada saat itu juga...
"Hup! Hiyaaa....!"
Ki Jumir yang mengetahui keadaan Pandan Wangi sangat berbahaya, tidak berpikir panjang lagi. Maka dengan kecepatan bagai kilat tubuhnya melesat menghadang serangan Nyai Wisanggeni. Dan tepat di saat pukulan Setan Perempuan Pengisap Darah terlontar, tubuh Ki Jumir berada tepat di depan Pandan Wangi. Hingga...
Begkh!
"Akh...!"
Ki Jumir menjerit keras begitu pukulan menggeledek yang dilepaskan Nyai Wisanggeni tepat menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua itu terpental ke belakang, menghantam Pandan Wangi yang baru saja bisa berdiri. Dan mereka berdua langsung terbanting ke tanah, bergulingan beberapa kali. Sementara itu, Nyai Wisanggeni jadi terperanjat melihat hasil serangannya yang sangat dahsyat.
"Edan...! Keparat...!"
Sementara Ki Jumir tampak menggeliat dengan mulut berlumur darah. Dadanya kelihatan menghitam hangus seperti terbakar, dengan asap berwarna agak kehitaman mengepul dari dadanya. Sedangkan Pandan Wangi sudah tergeletak diam tidak bergerak sedikit pun, tidak jauh dari tubuh Ki Jumir yang menggelepar meregang nyawa.
"Ugkh! Hoeeegkh...!"
Begitu darah tersembur dari mulutnya. Ki Jumir langsung mengejang dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Lelaki tua itu tewas dengan dada remuk dan menghitam hangus seperti terbakar, akibat terkena pukulan yang dilepaskan Nyai Wisanggeni.
"Phuih!"
Nyai Wisanggeni menyemburkan ludahnya, sambil menghembuskan napas berat. Sebentar dipandanginya dua tubuh yang tergeletak diam tidak jauh di depannya. Dia yakin, mereka sudah tidak bernyawa lagi. Dan...
Slap!
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Setan Perempuan Penghisap Darah, sehingga dalam sekali lesatan saja, bayangannya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Dan malam pun menjadi sunyi, tanpa sedikit pun terdengar suara.

***

Sementara itu, agak jauh dari Kotaraja Pakuan, Rangga terus membuntuti Panglima Widura dan dua puluh orang prajuritnya. Arah yang ditempuh jelas menuju hutan tempat tinggal Nyai Wisanggeni yang dikenal berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah. Dan wanita tua itu juga guru Panglima Widura.
"Hm..."
Kening Rangga jadi berkerut, begitu melihat Panglima Widura turun dari kudanya, setelah terlihat sebuah gubuk kecil dan reot di tengah hutan ini. Panglima Widura langsung menerobos masuk ke dalam gubuk itu. Tapi tidak berapa lama, dia keluar lagi dengan raut wajah memancarkan kebingungan. Sementara, dua puluh orang prajurit yang dibawa terus menunggui di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa bicara sedikit pun juga, Panglima Widura melompat naik ke punggung kudanya, dan langsung menggebahnya dengan kencang keluar dari hutan ini.
Rangga yang mengikuti sejak tadi, jadi bertanya-tanya sendiri. Untuk apa Panglima Widura malam-malam datang ke hutan ini...? Perhatian Pendekar Rajawali Sakti beralih ke gubuk kecil yang pintunya kini terbuka lebar. Dia keluar dari tempat persembunyiannya setelah Panglima Widura dan para prajuritnya tidak terlihat lagi. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti berdiri diam tertegun, kemudian hati-hati melangkah menghampiri gubuk kecil itu dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sempurna sekali. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya terayun melangkah. Bahkan seakan-akan tidak menjejak tanah.
Sebentar saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di ambang pintu gubuk ini. Keningnya jadi berkerut begitu memandang ke dalam. Tidak ada satu pun perabotan terlihat di sana. Dan bagian dalam gubuk ini benar benar kosong.
"Hm..."
Rangga bergegas berbalik, dan langsung melesat. Pendekar Rajawali Sakti kini berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah sangat sempurna. Hingga kedua telapak kakinya seakan tidak menyentuh tanah sedikit pun. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah bisa mengejar Panglima Widura dan para prajuritnya yang baru saja keluar dari hutan ini.
"Ups!"
Untung saja Rangga cepat bisa melihat mereka, dan segera berhenti berlari. Karena tanpa disadari dia kini hanya tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di belakang prajurit-prajurit Panglima Widura. Pendekar Rajawali Sakti bergegas menyembunyikan diri di balik pohon. Tapi tanpa sengaja sebelah kakinya menginjak sebatang ranting kering.
Trek!
"Berhenti...!"
Panglima Widura yang sangat tajam pendengarannya, langsung memerintahkan prajurirnya berhenti. Saat itu juga, dia melompat ke belakang dari punggung kudanya. Dua puluh orang prajurit yang mendampinginya bergegas berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Sementara itu, Rangga tetap diam di balik pohon sambil menahan napas. Memang sangat dekat jaraknya. Dan Rangga tidak ingin kehadirannya diketahui. Terlebih lagi, dia memang sengaja membuntuti panglima ini.
"Siapa kau?! Keluar, cepaaat...!" teriak Panglima Widura dengan suara lantang menggelegar.
Namun Rangga yang masih tetap berada di balik pohon, tidak menjawab sedikit pun juga. Punggungnya juga dirapatkan ke batang pohon yang cukup besar ini. Dan telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang begitu ringan mendekatinya dari balik pohon ini. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Bibirnya langsung tersenyum melihat cabang pohon yang cukup besar berada tepat di atas kepalanya.
"Hep!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke cabang pohon di atas kepalanya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak di batang pohon ini. Kemuian tubuhnya kembali melesat, dan langsung hinggap di cabang pohon lain yang lebih tinggi. Dan kembali tubuhnya melesat ke cabang pohon lainnya. Hingga akhirnya, Pendekar Rajawali Sakti berada di bagian lain dari tepian hutan ini.
"Sayang sekali, aku belum ada urusan denganmu, Panglima Widura," gumam Rangga dalam hati.
"Hup!"
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat pergi meninggalkan Panglima Widura dan para prajuritnya yang masih penasaran karena merasa diikuti tadi. Sementara, Rangga sudah begitu jauh meninggalkannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung masuk ke dalam Kotaraja Pakuan yang sudah tenggelam dalam sunyinya malam yang pekat ini.

***

"Pandan...! Ki Jumir...!"
Rangga jadi terhenyak begitu tiba di depan rumah Ki Jumir yang berhalaman luas ini. Tampak Pandan Wangi dan Ki Jumir tergeletak seperti tidak bernyawa lagi. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti menghampiri.
Baru saja tubuh Ki Jumir disentuh, telinganya mendengar rintihan halus di sebelahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti berpaling, dan melihat Pandan Wangi menggeliat menggelengkan kepala sambil merintih lirih. Bergegas dihampirinya gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Tampak darah sudah agak mengering di sudut bibirnya. Rangga mengangkat kepala gadis itu, dan menumpangkan di paha kirinya.
"Pandan.... Apa yang terjadi?" tanya Rangga, dengan suara agak parau tersendat.
"Ka..., Kakang...," lemah sekali suara Pandan Wangi.
Kelopak mata gadis itu terbuka dan terlihat begitu sayu, seperti tidak ada lagi cahaya kehidupan di sana. Rangga jadi terkesiap melihat keadaan kekasihnya ini. Cepat diangkatnya tubuh gadis itu, dan dipondongnya dengan kedua tangan. Pandan Wangi begitu lemah terkulai seperti tidak bernyawa lagi. Hanya sedikit gerakan pada dadanya saja, yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Sebentar Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, mengamati keadaan sekitarnya yang sunyi. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang kelam bertaburkan cahaya bintang keperakan.
"Hanya Rajawali yang bisa menyembuhkan Pandan Wangi. Mudah-mudahan dia tidak jauh berada di sini," gumam Rangga pelan, bicara pada diri sendiri.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan sekitarnya yang masih tetap sunyi. Tidak terlihat seorang pun di sekitar halaman rumah Ki Jumir ini. Kemudian kepalanya mendongak ke atas, menatap langit yang menghitam kelam. Kemudian....
"Suiiit...!"
Hanya sebentar saja Rangga menunggu, sudah terlihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan meluncur cepat bagai kilat menuju rumah Ki Jumir. Dan hanya sekejap mata saja, burung raksasa itu sudah mendarat tepat di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Khrrr...!"
"Rajawali, tolong bawa Pandan Wangi. Rawat dia," pinta Rangga.
"Khrrrkh...!" Rajawali Putih mengangguk sambil mengkirik perlahan.
"Sembuhkan dia, Rajawali. Aku tidak rela dia mati seperti ini," kata Rangga lagi, dengan suara agak tertahan
"Khragkh!"
Rangga meletakkan Pandan Wangi di tanah. Dan begitu melangkah ke belakang beberapa tindak, Rajawali Putih sudah melesat tinggi ke angkasa setelah menyambar tubuh gadis itu. Begitu cepatnya Rajawali Putih melesat, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan. Dan untuk beberapa saat Rangga masih berdiri diam mematung dengan pandangan lurus ke atas.
"Raden...."
"Heh...?!"
Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja terdengar suara dari belakang. Cepat tubuhnya berputar. Kedua kelopak matanya jadi menyipit melihat beberapa orang anak muda tahu-tahu sudah ada tidak jauh di depannya. Rangga tahu, mereka adalah murid-murid Ki Jumir. Beberapa orang terlihat menggotong Ki Jumir, dan membawanya masuk ke dalam rumah. Rangga hanya memperhatikan saja sekilas.
Perhatiannya kini tertumpah pada anak-anak muda yang berada di depannya dengan kepala tertunduk, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang dirasakan teramat berat. Dalam pertarungan tadi, sebenarnya murid-murid Ki Jumir ingin pula membantu gurunya. Namun ketika itu rasanya memang sudah terlambat. Ki Jumir sudah lebih dulu terhantam pukulan telak dari Nyai Wisanggeni. Apalagi, mereka juga baru terbangun, setelah mendengar suara ribut-ribut.
"Ada di antara kalian yang tahu kejadiannya?" tanya Rangga langsung.
"Kami datang terlambat, Raden. Tapi yang jelas, perempuan itu yang melakukannya," sahut salah seorang seraya mengangkat kepalanya sedikit.
"Siapa?" tanya Rangga ingin tahu.
"Nyai Wisanggeni, yang juga berjuluk Setan Perempuan Penghisap Darah."
"Hm, ke mana dia pergi?"
"Ke arah sana, Raden," sahut pemuda itu seraya menunjuk ke arah Nyai Wisanggeni pergi, setelah membunuh Ki Jumir dan melukai Pandan Wangi.
Rangga berpaling ke arah yang ditunjukkan murid Ki Jumir. Keningnya jadi berkerut. Memang, arah yang ditunjuk menuju hutan, tempat Pendekar Rajawali Sakti membuntuti Panglima Widura dan prajurit-prajuritnya. Di hutan itu dia melihat Panglima Widura masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang tidak ada penghuninya. Saat itu juga, timbul berbagai macam pertanyaan dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti. Pertanyaan-pertanyaan yang masih terlalu sulit dijawab.
"Kalian urus saja Ki Jumir. Aku akan mengejar wanita itu," kata Rangga.
"Hati-hati, Den. Wanita itu sangat tangguh dan kejam."
Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum kecil mendengar peringatan murid Ki Jumir ini. Kemudian kakinya melangkah ke samping rumah, dan mengambil kudanya yang tertambat di samping rumah Ki Jumir ini. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kuda hitam yang dikenal bernama Dewa Bayu ini.
"Hiyaaa...!"
"Hieeegkh...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam itu melesat cepat bagai kilat, membuat debu di halaman rumah Ki Jumir beterbangan membubung tinggi ke angkasa. Semua murid Ki Jumir jadi terlongong bengong melihat kuda hitam tunggangan tamu gurunya ini begitu cepat berlari. Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah jauh dan lenyap ditelan kegelapan malam.

***

116. Pendekar Rajawali Sakti : Datuk Muka HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang