8. Sebuah Keputusan

8.2K 1.3K 148
                                    

Aku kembali ke tempat dimana bertemu dengan Hayam Wuruk kemarin. Pendopo besar ini ternyata bernama pendopo agung. Astaga, ini tempat yang sangat megah dan luas. Tapi keindahan tempat ini tenggelam dengan suasana yang sangat mencekam bagiku.

Sungguh aku tidak bisa mengendalikan degub jantungku ketika berada disini, aku benar-benar seperti ingin dihukum mati. Banyak orang yang aku yakini penjabat tinggi kerajaan ini berkumpul, menatap aku dan Hayam Wuruk dengan lekat.

Hayam Wuruk benar-benar seperti orang kesetanan, tanpa menunggu jawabanku ia langsung mengumpulkan para petinggi kerajaan dan mengatakan ingin menikahi diriku. Gila bukan? Aku saja sampai menganga mendengar setiap kata yang ia ucapkan, lelaki itu terlihat sangat percaya diri dan yakin.

"Baginda, tapi apa gadis yang ada di sebelah engkau adalah seorang Bangsawan? Putri dari kerajaan seberang?" Tanya seorang lelaki paruh baya.

"Apa itu penting? Aku rasa Majapahit sudah cukup besar dan berkuasa, kita tidak perlu mencari sekutu dengan menikahi putri dari kerajaan lain."

Aku melirik Hayam Wuruk dengan sorot mata kagum dan juga kaget. Astaga, aku tidak pernah menyangka ia akan menjawab pertanyaan itu dengan sangat cepat dan lugas.

Lelaki gagah kemarin yang akhirnya aku tahu jika itu adalah Mahapatih Gajah Mada ikut bersuara, ngomong-ngomong ia tidak seperti yang digambarkan oleh para sejarahwan. Wajahnya tetap tampan meski tidak muda lagi.

"Raja, hamba tau kekuatan Majapahit. Tapi bukan berarti kita bisa sombong dan angkuh, kita tetap membutuhkan sekutu untuk memperkuat kekuasaan kerajaan ini." Jelasnya.

Hayam Wuruk menghela nafas, ia baru saja ingin mengatakan sesuatu sebelum Ibunda nya ikut menimpali. "Aku tau Ayana adalah gadis yang menyelamatkanmu sepuluh tahun lalu di sungai. Aku tau ia sangat berjasa untukmu, tapi bukan berarti kau bisa mengorbankan kerajaan ini karena keegoisanmu." Lanjutnya, "Seorang Raja tidak seharusnya memiliki sifat seperti itu. Kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadimu, kau ingat?"

Ucapan Ibunda Hayam Wuruk aku rasa berhasil membuat lelaki itu bungkam untuk sementara, tapi ternyata ia masih memiliki persedian kata untuk perdebatan selanjutnya. "Aku akan menikahinya, Bu. Ia telah menyelamatkan hidupku dan menjadikannya permasuri adalah penghargaan tertinggi yang aku bisa berikan kepadanya."

Demi apapun, pasti aku terlihat sangat bodoh sekarang. Aku hanya bisa melongo sambil menatap orang yang sedang berbicara secara bergantian.

"Baiklah, kau boleh menikahi gadis itu."

Ruangan ini mendadak riuh rendah mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ibunda Hayam Wuruk, namun apa yang selanjutnya beliau katakan ternyata mampu membungkam semuanya lagi, termasuk raja.

"Kau hanya boleh menikahinya sebagai selir. Atau tidak sama sekali."

Aku melirik ke arah Hayam Wuruk, ia terlihat sangat kesal. Rahangnya mengeras dan sorot matanya begitu tajam. Sungguh aku sangat ketakutan sekarang.

Tanpa mengucapkan apapun, Hayam Wuruk lagi-lagi menarikku menjauh dari tempat itu. Padahal ini sudah malam, tapi lelaki ini seperti tidak menunjukkan tanda-tanda akan memulangkanku ke rumah. "Apa aku boleh pulang?" tanyaku.

Aku merasa suasana disini tidak kondusif, aku hanya ingin pulang dan memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan tanpa ada paksaan dari siapapun.

"Kau akan pulang esok pagi."

"kenapa?"

"Karena ini sudah malam. Apalagi?"

Hari ini adalah hari yang melelahkan dan juga mengagetkan untukku. Aku seperti ditarik kesana dan kesini oleh waktu, tanpa bisa mencerna dengan baik apa yang sedang menimpaku. Tapi melihat wajah Hayam Wuruk, aku rasa ia jauh lebih tertekan dari diriku.

The King and His Flower [Majapahit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang