Lou POV
Beberapa minggu ini terasa sangat menyenangkan. Aku tak lagi menyimpan problematika dan pemikiranku sendirian. Nadin ternyata teman mengobrol yang sangat menyenangkan, dia pintar, dan pendengar yang baik. Bukan hanya pendengar, tapi dia juga sangat supportif dan punya wawasan luas. Jarang sekali ada orang yang mau meladeni obrolan-obrolan dengan topik berat, apalagi kalau topiknya tentang permasalahan cinta.
Saat aku sedang galau tentang Gin, dia selalu mengajakku ngobrol topik-topik yang kusukai. Beruntungnya kami menyukai topik-topik diskusi yang sama, mulai agama, filosofi, sejarang, sampai politik. Aku tidak menyangka kalau seorang pengacara sepertinya memiliki ketertarikan pada topik-topik seperti itu. Kurasa dia sama kutu bukunya denganku.
Tapi hari ini dia cukup aneh. Gak biasanya dia gak kirim text. Memang sih aku tadi bilang kalau mau tidur siang karena sakit kepala, tapi kok ini handphone sepi amat. Kayak kuburan. Aneh, ke mana dia ya. "Woi!" seru Dea menegurku yang duduk melamun sembari melihat handphone. "Bangun tidur, ngumpulin nyawa dulu, terus cuci muka, jangan malah mantengin hape," ucapnya menyadarkanku. Aku melempar bantal padanya dengan sebal. "Jomblo aja sok pegang hape mulu," ledeknya lagi setelah menangkap bantal yang kulempar.
Tanpa banyak bicara aku bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Dea adalah salah satu karyawan paruh waktu di café, dia baru bergabung dengan kami sekitar 2 minggu yang lalu. Usinya tak jauh berbeda denganku, namun dia sudah berkeluarga. Bekerja di café hanyalah salah satu cara untuk menghabiskan waktu, karena suaminya sering dinas di luar kota. Dia tipe orang yang mudah bergaul, sehingga aku dan Arya menerimanya dengan senang hati. Café ini perlu orang extrovert sepertinya untuk membuat suasana lebih hidup, dan pelanggan lebih senang karena mendapat teman ngobrol yang asyik seperti Dea.
Sebentar lagi shift kerjaku di café akan segera mulai. Masih ada 15 menit lagi, lebih baik aku telpon saja Nadin setelah cuci muka. Aku sudah mengirimkan text padanya saat bangun tadi, tapi belum ada balasan. Apa mungkin dia sedang sibuk ya? Hmm...
Setelah cuci muka, aku coba menelpon Nadin. Tidak dijawab, malah direject. Ah, sok sibuk ini orang. Gak asyik. Padahal ini sudah hampir lewat jam kerjanya, karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Masa dia gak siap-siap pulang sih. Kerja rajin amat. Ya udahlah aku siap-siap aja untuk shift kerjaku. Rapikan rambut, rapikan baju, pakai appron. Oh ya, name tag. Done. I'm ready.
"Oke, gantian," ujarku pada Arya sembari menepuk punggungnya. Hampir saja dia menumpahkan latte yang baru dibuatnya. Membuatku tertawa, dan dia melotot padaku. "Sorry, bro."
"Gue tidur dulu ya di belakang. Katanya nanti Vincent mau main ke sini, nyobain kamera baru katanya. Mau coba take video kopi. Sama lu aja ya," pesan Arya sebelum meninggalkan bar padaku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala dan mengacungkan jempol. Sepertinya café mulai cukup ramai, karena hari semakin sore. Biasanya puncak ramai di café terjadi setelah solat maghrib, banyak anak remaja yang ke sini untuk mengerjakan tugas. Biasanya kalau tidak terlalu sibuk, aku atau Arya akan menghampiri mereka dan mencoba membantu mereka, kalau kebetulan mereka dari jurusan yang sama dengan kami dulu.
Shift malam ini dikelolah olehku sebagai manajer, ada seorang juru masak, seorang asisten, seorang barista, dan seorang server. Sebagai manajer, tugasku bukan hanya duduk diam mengawasi, tapi aku sendiri bekerja merangkap sebagai barista, server, dan kasir.
Beberapa jam berjalan, pelanggan café semakin ramai. Ada banyak anak muda yang datang, namun satu pelanggan yang pasti selalu mendapat perhatianku baru saja memasuki pintu café. Pakaiannya selalu yang paling rapi di antara pelanggan pada café ini. Jarang sekali aku mendapatinya berpakaian casual pada hari kerja seperti ini, sekalipun ini sudah malam. Aku merasakan dia terus memandangku, seperti menunggu kontak mata denganku.
Aku sengaja tak mengacuhkannya sejak tadi, tapi bagaimana pun dia adalah pelanggan café ini. Pasti akan tiba gilirannya, dan sialnya aku adalah orang yang bertugas untuk menerima ordernya. "Selamat datang di COFFEE AND YOU. Saya akan melayani Anda hari ini. Mau pesan apa, bu?" tanyaku dengan formal padanya. "Oh ya satu Vanilla Latte," jawabku sendiri. Sepertinya dia paham bahwa aku sedang tak ingin berbasa-basi dengannya.
"Hey, sorry. Aku tadi masih meeting," ucapnya padaku.
"Maaf, bu. Mau dingin atau panas?" tanyaku kembali padanya, walaupun sebenarnya aku sudah tahu juga apa yang dia mau.
"Dingin, dan jangan ngambek begitu. Aku kira tadi kamu masih tidur, karena kamu bilang sakit kepala. Gimana sakit kepala kamu? Sudah hilang?" tanyanya dengan cepat, dan aku mendengar ada kecemasan pada suaranya.
Ah mana bisa ngambek lama-lama kalau dia so sweet begitu kan. "Sudah better. Don't worry," jawabku. "Nanti aku antar ke meja. Mau makan apa?" tanyaku kembali.
Dia tersenyum mendengar respon yang kuberikan. "Aku lapar. Aku mau menu spesial hari ini. Ada apa?" tanyanya kembali. Aku berpikir sejenak, hari ini menu spesial adalah smoked beef spaghetti carbonara. Tapi dia tidak terlalu suka dengan carbonara sauce.
"Mau prawn spaghetti aglio e olio?" tawarku padanya. Sepertinya kami masih punya beberapa bahan di dapur untuk masakan itu. Dia mengangguk setuju, dan aku segera memasukkan pesanannya dalam mesin kasir. Segera setelah membayar, kuberikan nomer meja untuknya. "Tunggu saja sebentar kopinya, akan kukirimkan nanti makanannya."
Segera kubuatkan ice vanilla latte yang selalu dia pesan. "Ini kopimu, jangan diminum dulu sebelum makan. Nanti maag kamu bisa kambuh. Minum air putih saja dulu," pesanku padanya sembari memberikan dua gelas minuman di nampannya. Dia tersenyum lebar dan mengangguk-ngangguk. "Yes, mam," jawabnya sebelum meninggalkan counter pengambilan order menuju salah satu meja kosong di dekat read corner. Biasanya memang di sana adalah tempat yang tidak terlalu ramai.
Setelah masakan untuk Nadin selesai, aku segera bersiap untuk mengantarkan ke mejanya. "Dea, aku temui Nadin dulu ya. Kalau kalian nanti gak bisa handle, panggil saja aku," pesanku pada Dea sebelum mengantarkan makanan pesanan Nadin. "Siap, bos," jawab Dea dengan senang hati.
"Pesanan untuk Ibu Nadin," ledekku sembari meletakkan sepiring prawn spaghetti aglio e olio untuknya. "Selamat makan," ucapku padanya.
"Sudah makan belum," tanyanya padaku setelah mengaduk spaghettinya. Aku menggelengkan kepala. "Sini buka mulutnya," perintahnya padaku sembari menyodorkan segulung spaghetti pada garpunya. Aku membuka mulut dan memakan spaghetti yang Ia tawarkan. Namanya rejeki kok ditolak, ya gak? "Udah itu tanda minta maaf aku," ucapnya santai, kemudian mulai menyantap makanannya.
Enak aja, masa cuma itu. "Ishh.. Kurang lah," ucapku kembali memasang muka cemberut. Dia malah menertawakanku.
"Kamu itu gak jelas. Begitu aja kok ngambek. Aku tadi itu sedang meeting, gak bisa angkat telpon kamu," jelasnya padaku sambil meneruskan makan.
"Memang meeting sepenting itu? Padahal itu sudah dekat jam selesai kerjamu."
Dia menganggukkan kepala dan wajahnya berubah jadi sebal, seolah dia sedang mengingat meeting yang baru dia ikuti tadi. "Yeah. Dan client aku resek. Sudah dijelaskan berkali-kali kalau kasus yang mau dia gugat itu beresiko, karena dia sebenarnya salah secara administratif. Tapi dianya ngeyel terus. Kan jengkel ya," ceritanya secara singkat padaku. Dia memang seorang profesional, walaupun dia bercerita padaku mengenai beberapa hal, tapi dia tidak akan memberitahukan detil kasusnya padaku. Rahasia dari perusahaan dan client.
"I see. Sudah sabar saja. Pokoknya dibayar kan," ujarku menenangkan Nadin. Dia menjawab dengan hmm dan anggukan saja. "Lain kali kalau mau meeting begitu, bilang dong. Jadi aku tahu kenapa kok kamu diam aja. Aku bingung tahu, kamu itu gak text aku sama sekali. Gak perhatian," omelku kembali padanya.
Mendengar omelanku, dia berhenti makan dan menatapku dengan bingung. "Ishh.. Diomeli kok malah ngelihat aku begitu. Okay gak?"
"Eh, iya. Iya. Okay," jawabnya dengan kikuk.
"Okay apa?" tanyaku memastikan kalau dia paham.
"Okay nanti akan kabari kamu kalau aku ada meeting atau apa yang bikin gak bisa text atau call," jelasnya padaku yang membuatku puas. Aku tersenyum lebar padanya.
Good girl.
*********
YOU ARE READING
Law of Perfect Cup
RomanceNadin, seorang pengacara senior menjadi pelanggan sebuah cafe. Bukan hanya karena kopi yang mereka tawarkan sesuai dengan seleranya, namun juga karena keberadaan seorang barista. Tidak cantik, tapi tidak jelek juga. Mungkin keren adalah kata yang pa...