Vani masih sibuk dengan monitor dihadapanya hingga tidak menyadari beberapa panggilan tak terjawab, sampai pada panggilan ke-empat Vani baru menyadarinya.
Nomor tidak dikenal tapi Vani merasa tak asing dengan tiga angka dibelakangnya.
"Halo"
"Mi ini Shasa, mami disuruh ke sekolah tadi Shasa ga sengaja nendang perut Kaka kelas, pokonya cepetan ke ruang kesiswaan" tanpa menunggu jawaban panggilan terputus.
Vani memegangi pelipisnya, mengapa Shasa berulah lagi. Padahal dia perempuan kok bisa bisanya nendang orang, kakak kelasnya lagi. Vani keluar ruangan meminta Ryan untuk menggantikan dirinya.
"Ryan, saya mau minta tolong kamu ke sekolah Shasa tadi Shasa bikin ulah"
"Iya Bu sekarang saya kesana" Ryan yang memang sudah langganan menjadi wali dadakan untuk Shasa sudah terbiasa dengan ulah Shasa.
"Lu ketimbang jadi sekertaris mending jadi baby sister buat Shasa" ucap Doni teman satu divisinya.
"Itu tandanya gua cocok buat dampingi Bu bos"
"Gua lagi ngehina lu bisa bisanya malah seneng" ujar Doni yang tidak mengerti arah pikiran Ryan.
Ryan menepuk pelan pundak Doni sebelum menuju sekolah Shasa. Setidaknya dirinya harus siap jika guru Shasa itu akan menggodanya. Ryan mengetuk pintu sampai ada sahutan masuk dari dalam.
"Permisi saya Ryan walinya Shasa"
"Silahkan duduk pak" ujar Bu Ella.
"Sebelum ke inti permasalahannya saya mau tanya kenapa harus diwakilkan memangnya ibunya Shasa kenapa"
Ryan membasahi bibirnya sebelum menjawab "ibunya Shasa sedang berhalangan hadir jadi mohon pengertiannya"
"Dari Shasa kelas sepuluh orang tuanya selalu tidak hadir jadi apa yang perlu dimengerti" ujar Bu Ella sengit, jika biasanya dengan sebuah senyuman masalah akan cepat selesai kali ini tidak sepertinya dirinya tidak bisa lagi mengandalkan tampang.
"Bu bisa langsung ke intinya aja ga kasian ini anak saya" baru juga Ryan akan menjawab terpotong oleh ibu ibu diujung sofa yang sedang memeluk anaknya yang menangis.
"Intinya adalah Shasa saya Scors selama tiga hari renungkan kesalahan kamu dan jangan kamu ulangi lagi"
"Dan kamu harus minta maaf" tambah Bu Ella.
"Saya ga salah jadi saya ga perlu minta maaf" jawab Shasa.
"Anak saya sampe memar gini kamu ga mau minta maaf" tukas ibu ibu yang kini berdiri menantang Shasa.
"Bu jangan emosi Bu" ujar Ryan melerai.
"Mangkanya pak anaknya diajarin sopan santun"
"Sudah saya permisi" ibu ibu itu pergi meninggalkan ruangan.
Shasa keluar ruangan diikuti Ryan dibelakangnya, didepan ruangan sudah ada vio dan Haikal.
"Baru kemaren gua puji" ujar Haikal.
"Tau, dihukum apa lo" tanya vio.
"Scors tiga hari doang, lo balik ke kelas gua mau langsung balik" jawab Shasa sambil berlalu meninggalkan vio dan Haikal.
"Oke, dadah mas ganteng" ujar vio sedikit berteriak, sedangkan Ryan hanya tersenyum.
"Temen lo no" ujar Haikal.
"Temen lo juga" sahut vio.
"Mas ga mau dengerin penjelasan aku dulu"
"Nanti aja, itu pakai seatbeltnya" Shasa hanya mengangguk.
Ryan menepikan mobilnya dipinggir jalan dekat penjual kopi, membeli dua gelas kopi dan kembali ke dalam mobil.
"Jadi kenapa kamu nonjok Kaka kelas kamu?" Tanya Ryan.
"Mas tau kan aku gak bakal ngelakuin sesuatu tanpa alasan" ujar Shasa sambil menatap Ryan.
"Iya, jadi?"
"Aku tu tadi niatnya baik mau nolongin adek kelas yang dipalakin, eh kaka kelasnya nyolot malah bilang gak usah ikut campur deh terus aku kesel dia tiba tiba narik rambut aku yaudah aku tendang aja aku kira gak bakal biru kaya gitu eh ternyata parah" jelas Shasa.
Ryan menghela nafas "niat kamu itu udah baik mau nolongin orang tapi ya jangan pake kekerasan"
"Bela diri itu buat ngelindungin diri bukan buat nyelakain orang"
Shasa hanya mengangguk, menatap Ryan yang kini sedang menyesap kopi miliknya, laki laki dihadapannya ini sungguh sempurna luar dalam.
"Mas Jo baik banget sih terharu aku" ucap Shasa dengan nada selebay mungkin.
"Bahkan dibandingkan dengan mami mas Jo jauh lebih baik"
Ryan terkesiap melihat Shasa yang tiba tiba menangis, ia langsung memeluk Shasa, mengusap pelan rambut hitam legam miliknya.
"Aku rasa mami ga pernah bener bener sayang sama aku deh" masih didalam pelukan Ryan Shasa terus mengoceh tentang keburukan maminya.
"Mungkin dulu mami mau buang aku"
Ucapan tiba tiba Shasa membuat Ryan melepas pelukannya, menatap Shasa dengan tatapan tidak suka. "Kalo ibu ga sayang gak akan ibu ngelahirin kamu gak akan ibu mau ngerawat kamu sampai sekarang"
Shasa menghapus sisa air mata di pipinya "aku dirawat sama uti dari kecil sedangkan mami cuma modal uang doang"
"Kamu pikir nyari uang gampang" Ryan menggeleng tak percaya.
"Ya kan setidaknya mas mami tuh sama sekali ga punya waktu buat aku" jelas Shasa.
"Kan ibu sibuk ngurusin kantor" Ryan berusaha membuat Shasa mengerti.
"Mas, gunanya mami punya banyak anak buah dan mereka semua digaji itu apa kalo ujung ujungnya mami ngerjain semuanya sendiri mending gak usah pake anak buah buang buang duit"
"Tau amat lah ga peduli aku" ujar Shasa sambil menutup kuping karena melihat Ryan akan berbicara.
"Yaudah sekarang kita mau kemana" tanya Ryan.
"Kerumah" jawab Shasa cepat.
"Sebentar" Ryan merogoh saku jas nya mengambil benda pipih yang dari tadi terus bergetar.
"Iya bu"
"Iya setelah ini saya langsung keruangan ibu"
"Iya bu" sambungan dimatikan dari sebrang sana.
"Mami ya" tanya Shasa.
"Iya, nanyain kamu"
Shasa berdecih samar "sok peduli tuh dia"
"Ibu tuh bener khawatir"
"Kalo khawatir ya mami yang jemput aku bukannya mas" balas Shasa sengit.
Ryan mengangkat kedua tangannya "oke oke kamu bener harusnya ibu ga kaya gitu kalo bener bener khawatir"
Shasa itu tipikal orang keras kepala, gak mau kalah, dan ambisius sama seperti ibunya. Jadi wajar jika keduanya sulit untuk saling mengerti.
TBC