Happy Reading
..."Saya terima nikahnya dan kawinnya Humairah binti Abdullah dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Baarakallaahu laka, wa baarakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khaiir."
Riang sorai, menggema di seluruh penjuru, rasa syukur dipanjatkan setinggi-tingginya. Senyuman bahagia menjadi pemanis di setiap sudut bibir yang berhadir di tempat yang berbahagia tersebut.
Kecuali, satu orang di antara mereka. Dia adalah mempelai pria, seseorang yang seharusnya paling riang, dan paling bersyukur. Justru ia menjadi orang yang paling pelit tersenyum, paling muram.
Namanya Langit, ya namanya hanya Langit, tidak ada lanjutannya. Sangat singkat, padat dan bermakna.
Pernikahan ini bukanlah keinginannya, melainkan keinginan Ayahnya. Langit bisa saja membangkang, hanya saja dia tidak ingin. Karena sebanyak apapun keburukan yang ada dalam dirinya, membantah dan memutus keinginan orangtuanya adalah suatu hal yang tidak pernah bisa ia lakukan.
Alasannya menerima perjodohan ini, hanya sebatas itu.
"Langit."
Langit tersadar dari lamunannya, saat ia merasakan sentuhan di bahunya.
"Iya Ma?" tanya Langit.
Mama Langit, Bu Wida memberi isyarat, agar Langit segera menerima uluran tangan Humairah.
Dengan perasaan terpaksa, Langit menyanggupinya. Humairah mencium punggung tangannya dengan khidmat.
Langit tidak merasakan getaran apapun, terasa hambar dan memuakkan. Sangat berbeda dengan cerita-cerita teman-temannya yang sudah menikah terlebih dahulu. Kata mereka saat pertama kali istri mereka mencium punggung tangan mereka, seperti ada getaran dahsyat yang tidak bisa didefeniskan, rasanya sangat luarbiasa.
"Mana getarannya, yang ada gue pengen emosi aja bawaanya! Omong kosong!" Langit membatin
...Humairah sebenarnya bisa merasakan ketidak inginan Langit terhadap dirinya, terlihat jelas oleh Humairah dari tatapan acuh tak acuh dari Langit ketika menatap dirinya, tercetak jelas pula dari raut wajah Langit yang tidak menyiratkan satu kebahagiaanpun atas pernikahan mereka ini.
Humairah pun sama, perjodohan ini bukan atas dasar pilihannya. Sama halnya dengan Langit, Humairah menerima perjodohan ini atas dasar baktinya kepada orangtuanya. Hanya saja Humairah percaya, kalau pilihan orangtuanya pastilah pilihan terbaik dalam hidupnya, jadi Humairah benar-benar telah ikhlas secara sepenuhnya, tidak ada kekesalan yang muncul dalam hatinya seperti yang dirasakan Langit.
Semenjak akad nikah, hingga Acara Pesta, yang bisa Humairah tangkap dari gerak-gerik, mimik wajah Langit, hanyalah ketidaknyamanan, dan keterpaksaan.
Sebenarnya Humairah merasa sedikit takut menghadapi kehidupan pernikahan ini kedepannya, karena sejak awal saja Langit sudah menunjukkan sikap yang tidak bersahabat dengan dirinya.
Memulai kehidupan baru dengan orang yang masih asing saja sudah cukup menakutkan untuk Humairah, terlebih orang tersebut tampak acuh tak acuh, dan tidak peduli, akan bagaimana kelanjutannya? Pertanyaan itu tidak henti-hentinya bermain-main di benak Humairah.
...Dengan langkah yang sedikit ragu, Humairah memasuki kamar yang telah terlebih dahulu dimasuki oleh Langit.
"Mau apa kesini?"
Baru selangkah kaki Humairah mendarat di kamar itu, suara bariton Langit langsung menyambut kedatangannya.
"Mau tidur Mas," jawab Humairah apa adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Cinta
RomanceSuatu cerita klasik tentang perjodohan. Dua orang manusia yang terjebak dalam pilihan orangtua, yang menjadikan keduanya terikat secara agama dan hukum dalam ikatan pernikahan yang sah. Mereka adalah Langit dan Humairah, keduanya memiliki perbedaa...