1 - nomor tak dikenal

247 14 2
                                    

Azel menyimpan buku-bukunya ke dalam laci. Waktu istirahat ini ia gunakan untuk pergi ke kantin bersama Arin. Perutnya sudah berbunyi sejak Bu Rasti menjelaskan materi. Mereka memasuki area kantin yang mulai ramai dan mendekat ke salah satu penjual.

"Mas, batagor sama es teh dua," ujar Arin menyebutkan pesanan. Sementara Azel mengitarkan pandangan mencari meja yang masih kosong. Sulit memang mencari tempat kosong di jam istirahat pertama. Terlebih, meja di kantin ini seperti meja rumah makan padang yang bentuknya persegi panjang dan biasa digunakan untuk bergerombol.

Azel segera menarik tangan Arin begitu menemukan meja kosong dipojok kantin. Namun begitu sampai di meja itu, Azel membulatkan mata saat segerombol laki-laki seenaknya menyambar tempat itu. Tentu saja Azel langsung naik pitam.

"Heh, kok kalian seenaknya nyamber tempat orang, sih?" ketus Azel mengalihkan perhatian banyak orang yang sedang makan.

Segerombolan laki-laki yang jika Azel mau menghitungnya berjumlah 6 orang itu menatap Azel dengan kening berkerut.

"Dih, emang ini meja punya nenek moyang lo?" cowok yang berambut hitam lebat membalas ucapan Azel.

"Udahlah, Zel, cari meja lain aja, yuk!" ajak Arin menarik tangan Azel.

Azel melempar tatapan tajamnya ke enam laki-laki itu tepat di wajah masing-masing. Lalu ia pergi menuruti permintaan Arin.

Azel bukan tipe cewek yang suka mencari masalah. Tapi ia tidak bisa diam ketika orang lain bertindak semena-mena. Lagipula, Azel dan Arin sudah hampir menempati meja itu dan tiba-tiba datanglah mereka yang mengambil alih tanpa menyisakan sedikitpun tempat untuk Azel dan Arin.

"Lo harusnya biarin gue siram muka mereka pake sambel batagor, Rin," kesal Azel sembari mengaduk kasar sepiring batagornya. Mereka sudah duduk di meja panjang jauh dari meja yang dipermasalahkan tadi.

"Ih, jangan, dong. Entar muka-muka ganteng itu ternoda, nggak terima gue!"

Azel mendengus kesal. "Masih aja muji orang-orang kayak gitu."

Bukan kali pertama Azel mengomel karena perbuatan segerombol laki-laki itu. Pernah di lain waktu ia marah-marah di koridor karena salah satu diantara mereka menabraknya hingga terjatuh. Parahnya, cowok itu tidak meminta maaf dan justru menyalahkannya.

"Namanya orang ganteng nggak pernah salah, Zel," balas Arin dengan mata seolah sedang membayangkan ketampanan gerombolan cowok itu. Azel yang sedang tak ingin berdebat, diam saja dan melanjutkan makannya.

Azel setuju tentang gerombolan itu dipenuhi cowok-cowok dengan wajah tampan. Tapi menurutnya, modal paras tidak cukup untuk bertahan hidup. Manusia butuh lebih dari itu. Seperti dirinya sekarang, harus bekerja keras untuk bisa membanggakan orang tuanya, bahkan jika harus merelakan masa remaja yang biasa diisi dengan jalan-jalan dengan teman atau pacar.

***

Azel berdiri di depan gerbang menunggu angkot yang biasa mengantarnya pulang. Bukan hanya dia, beberapa siswa juga menunggu sepertinya. Sebenarnya Azel difasilitasi motor oleh Ibunya, tapi ia terlalu takut berkendara karena ia dengar saat-saat ini sedang banyak polisi lalu lintas beroperasi mencari mangsa. Lagipula Azel mematuhi peraturan untuk tidak berkendara sebelum memiliki SIM.

Azel menyandarkan punggungnya ke dinding pagar sekolah sembari memeriksa beberapa pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Ia mengabaikan pesan dari grup kelas karena ia tahu tidak terlalu penting. Ia lebih tertarik membuka ruang obrolan dari nomor tak dikenal.

Azel jarang sekali memiliki nomor orang yang tidak dikenalnya. Tapi sekali ada nomor tak dikenal mengirim pesan padanya, ia langsung membuka pesan itu untuk memeriksa mungkin saja pesan itu penting.

BECANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang