[48] Punggung Hangat Yang Sama

2.8K 388 15
                                    

“Kuingin memutar balik waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kuingin memutar balik waktu. Kembali ke masa-masa itu. Masa di mana aku dan kamu tidak terlibat luka.”

***

“YAK! Waktunya kita pulang. Hentikan pekerjaan kalian. Waktunya kalian pulang dan beristirahat,” seru Pandu. Mandor bangunan yang memimpin para buruh mengerjakan pengaspalan jalan.

Malam telah larut, cuaca yang seharusnya dingin menjadi panas karena tersaingi cairan aspal yang sudah dipoleskan di jalan. Mendengar perkataan Pandu, para buruh mengeluh senang, beberapa memundurkan alat berat, beberapa melepas sepatu bot dan beberapa duduk di teras salah satu ruko untuk beristirahat.

Dodit menyeka keringat yang membasahi wajah dan melihat punggung tangannya menghitam karena asap yang menguar dari cairan aspal. Dia memilih duduk sejenak di trotoar ketika teman kerja serabutannya; Yudi datang dan merangkul bahunya.

“Benaran, lo mau balik ke Bandung? Berati ini pekerjaan lo yang terakhir dong!” Yudi terdengar sedih.

Dodit mengangguk. “Iya, ini pekerjaan yang terakhir. Mas Yudi, nggak pa-pa kan kalau nggak ada saya? Nggak bikin masalah lagi, 'kan?” Dia bercanda dan menepuk bahu Yudi. “Selalu ingat memakai peralatan pelindung kalau bekerja Mas,” ingatkannya lagi.

“Iya, gue bakal ingat. Oh ya, gimana hutang-hutang gue? Gue perlu bayar lewat mana?”

Dodit mengibaskan tangan. “Jangan dipikirin. Nggak usah dibayar.”

“Benaran Dit! Tapi hutang gue kan banyak.” Yudi tercengang, terkejut dengan perkataan Dodit.

“Anggap sadaqoh, anggap saja itu hadiah perpisahan dari saya buat Mas Yudi.” Dodit tersenyum. “Kalau nggak ketemu Mas Yudi di Jakarta, saya nggak mungkin mendapatkan pekerjaan dan mengumpulkan banyak uang,” ungkapnya dan tidak bisa menyembunyikan rasa syukur.

Yudi menghela napas. “Kok, gue merasa sedih liat lo pergi. Tapi kita masih bisa ketemu lagi kan, Dit? Lo masih sudi temanan sama gue, 'kan?” harapnya.

“Tentu saja! Entar kalau saya ke Jakarta, saya pasti menyempatkan diri menemui Mas Yudi.” Dodit menepuk pundak Yudi. “Kalau saya datang! Mas Yudi harus traktir saya makan, oke?”

Yudi menanggapi dengan acungan jempol. “Sip Dit! Gue bakal membawa lo ke penjual bakso yang enak. Dekat rumah gue dan tebak siapa penjualnya?”

“Siapa?” tanya Dodit penasaran.

“Bini gue!” jawab Yudi tertawa kecil. “Doain yah, supaya modal gue cukup buat buka warung bakso buat bini gue bulan ini. Kalau udah buka pasti gue bakal mengajak lo makan, lo harus coba bakso bikinan bini gue.” Dia sangat bersemangat, menyampaikan keinginannya kepada Dodit.

Jodoh Terbaik Nadia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang