Chapter : 15

189 68 46
                                    

Happy Reading
***

‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍Keparat! Dasar lelaki keparat!

Setelah mendengar semua yang diucapkan Jeno, tentu aku tidak bisa percaya semudah itu walau dia adalah sepupuku sekalipun. Pasalnya, ini bukanlah masalah sepele. Ini menyangkut hidup seseorang.

Tidak bisa semudah itu! Aku harus memastikannya dengan mata kepalaku sendiri.

Sambil terus berlari di lorong apartemen, aku berharap semoga hal ini tak sungguh terjadi. Tetapi kalau pun memang, setidaknya biarkan aku bisa menyelamatkannya dan berada di sampingnya.

Sial! Kenapa di saat begini lift tidak berpihak padaku? Katanya apartemen ini bagus, tapi apa nyatanya? Lift yang menjadi sarana utama pada apartemen ini saja tak kunjung diperbaiki.

Jalan alternatif lainnya adalah melewati tangga darurat. Sekuat tenaga aku berlari, menuruni tangga dari lantai lima ke lantai dua, di mana Jeno mengatakan bahwa ia menemukan Jaemin yang tergeletak di sana.

Aku tidak mengerti apa maksud "tergeletak" yang diucapkannya. Kini aku tidak mempedulikan apa maksudnya, dan hanya terus berlari untuk melihat bagaimana keadaan anak itu yang sesungguhnya.

"Jaemin!"

Begitu di tengah-tengah lorong aku menemukan sesosok laki-laki dengan hoodie hijau terbaring di sana, air mataku langsung jatuh hingga akhirnya menyadari bahwa Jeno tidak sedang main-main dan aku sendiri yang terlalu bodoh untuk tidak percaya padanya.

Kedua bahunya kupegang erat-erat, mengguncang tubuhnya yang telah dibanjiri darah. "Nana...! Na!" seruku dengan menahan sesak di dada. Walau melihatnya yang tak lagi merespon serta bau darah segar yang menyeruak ke dalam hidung, aku masih tetap mengharap adanya keajaiban.

"Seo..." Jeno tiba lalu memegang pundakku dari samping. "Tenanglah, Seo."

Apa? Dia memintaku untuk tenang? Bagaimana aku bisa tenang ketika melihat sahabat yang sedari kecil bermain bersamaku sedang dalam kondisi seperti ini?

"Sebenarnya apa yang terjadi?! Kenapa sampai seperti ini?!" Aku berteriak seperti orang gila. Wajahku telah basah akibat air mata bercampur keringat yang meluncur di pelipis. "Na...!"

Tubuhku condong ke kiri begitu Jeno memelukku, membuatku tak lagi memegang bahu sahabatku dan terganti dengan memegang tangannya yang berdarah-darah. Lagi-lagi aku tidak peduli apakah darah akan mengotori tanganku.

"Sebelumnya dia masih membuka mata... dan dia menyebutkan... sosok Daniel," kata Jeno terbata.

Tampaknya karena kegaduhan yang kuperbuat—tidak, tepatnya si psikopat itu yang memulai semuanya—para penghuni unit lainnya mulai berkeluaran dan melihat apa yang terjadi. Sontak, terdengar jeritan serta bisik-bisik dari orang-orang yang berbeda umur itu.

Aku masih terus terisak. Kembali tubuhku mendekat kepadanya sampai aku menyadari sesuatu. Ponselnya. Di mana benda itu? Aku mencarinya dan berniat ingin mengabari adiknya. Tidak tahu apakah ini pilihan yang tepat atau tidak, mengingat adiknya yang beberapa waktu lalu baru sampai di New York ini sedang sakit, dan terjadi begitu tiba-tiba.

Aku menemukan ponselnya dan langsung membuka pesan. Tapi apa-apaan ini? Aku terdiam, namun dengan napas yang kembali memburu saat membaca pesan yang baru masuk dan ternyata bukanlah dari adiknya, melainkan dari si psikopat sialan!

"Nana...!" Tangannya yang berada di atas perut kugenggam erat-erat. Garis mukanya tampak begitu tenang, matanya telah tertutup sempurna, bibirnya yang berdarah terbuka sedikit juga menampakkan darah dari dalam sana, luka sayat berada di berbagai tempat dan wajahnya tak luput dari luka serta hantaman benda tumpul.

Semakin ramai orang-orang yang mengerumuni, membuatku tak bisa bernapas normal, ditambah lagi isak tangis yang tak kunjung reda. Pandanganku meredup, kulihat wajahnya sekali lagi sebelum mataku tertutup sepenuhnya dan limbung ke arah Jeno yang sigap menahanku.

***

Dia mengelus kepalaku. Ya, kurasakan ada sosok yang mengelus kepalaku. Entah sudah berapa lama, tapi begitu aku menyadarinya, perlahan aku membuka mata lantas melirik ke kanan, di mana sosoknya berdiri.

Senyuman tulus yang tak pernah membuat siapa pun bosan diperlihatkannya. Dia salah satu sosok terbaik yang menjadi bagian dalam hidupku. Aku tersenyum, membalas senyuman manis yang masih setia ia tampilkan. Begitupula dengan tatapannya yang menatapku teduh, seolah-olah ia merasa tenang.

Terakhir kali kulihat dia berpakaian rapi begini—kemeja putih dilapisi jas, celana kain hitam serta sepatu mengkilap—saat kelulusan SMA waktu lalu. Sudah cukup lama dan sangat menyenangkannya kini dia berada di sisiku.

Benarkan bahwa dia sedang berdiri di sisiku?

Tanganku hendak terangkat, tetapi tidak bisa, rasanya sekujur tubuhku ini kaku. Apa yang salah?

Mata cokelatnya berkilat, terkena cahaya yang menyilaukan dan entah berasal dari mana, membuatku tersadar bahwa ada yang tidak benar di sini. Sosok dengan rambut kecokelatan itu masih tersenyum ke arahku dengan tangan yang bergerak tuk menggenggam tangan kananku.

"Terima kasih karena selama ini sudah menjadi sahabatku, Lee Seo Yoon."

Nana...

Aku tidak bisa mengeluarkan suara walau sekadar menyebut namanya. Air mataku berlinang, dan ketika tidak mampu untuk menampung lagi, satu bulir lolos dan meluncur di ujung mata.

Jaemin mengusap pipiku lembut menggunakan jempolnya. Tidak ada kata-kata yang keluar lagi. Ia memandangku sebentar kemudian menarik kembali tangannya. Lalu berbalik badan, dan meninggalkanku.

"Jaemin!"

Aku terbangun, tubuhku reflek mengambil posisi duduk dengan debaran jantung yang tak terkendali. Bibirku yang mengeluarkan napas, gemetaran, begitu juga tanganku. Aku tidak merespon ketika laki-laki yang awalnya menduduki kursi bergerak untuk memeluk sambil mengelus belakang kepalaku.

"Nana..."

"Apa kau bermimpi tentangnya?" tanya Jeno dan aku mengangguk saja, meski kurasa hal itu terlalu nyata untuk dikatakan sekadar mimpi. Ia menatapku yang sedang menatap lurus ke depan. "Kau mau minum obat?"

Kali ini aku menggeleng dalam pelukannya. "Tidak, Jen..."

Setelah mengetahui sosoknya yang merupakan kenalanku serta menjadi sosok yang "menolongku" ketika aku stres adalah seorang psikopat, tentu aku tidak mau memercayainya lagi. Laki-laki sepertinya seharusnya tak pernah kupercayai. Dia yang terburuk di antara yang buruk.

Jeno memundurkan tubuhnya, menatapku pilu dari matanya yang terbingkai kacamata bening. "Kalau begitu, kau istirahat lagi saja," sarannya dengan memegang bahuku. "Aku ke dapur dulu, mengambilkan makanan."

Kurasa waktu sudah cukup siang, aku tidak tahu karena hanya bisa menebaknya dari sinar matahari yang masuk melalui pintu balkon. Tidak ada jam weker yang menunjukkan waktu kepadaku lagi, selain jam yang tertera pada ponsel.

Tampaknya mataku masih memerah, berlinang air mata walau tak sampai jatuh. Namun tak jarang juga air yang tertampung membuat pandanganku kabur hingga tanpa sadar aku kembali terisak. Aku duduk meringkuk di balik selimut putih nan hangat yang menutupi. Menaruh dagu di antara lutut. Kemudian satu, dua tetes air mata jatuh, membasahi selimut.

Sesungguhnya apa yang orang tuaku pernah perbuat sampai-sampai ayahnya melakukan hal itu kepada orang tuaku? Dan bahkan, selagi sosok itu di penjara, kini anaknya yang melanjutkan hal gila yang telah dilakukannya sebelas tahun lalu.

Miris. Tanpa mengetahui apa alasan semua ini berawal, membuatku tak habis pikir dan hanya bisa mengutuk diri sendiri. Karena jika waktu itu aku tidak bertemu, bahkan mau berkenalan dengannya, ini semua tentu tak akan terjadi.







***
To Be Continued
(R: 22-07-22)

PSYCHO | Vol.1 [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang