20 | Ujung Pertemuan

130 17 0
                                    

20 | Ujung Pertemuan

__________


KEESOKAN harinya aku memutuskan langsung berangkat ke Surabaya, menandatangi surat tugas kantor yang sebelumnya sempat kutolak. Aku kehilangan kabar apakah kamu jadi berangkat ke Jogja dan menyelesaikan proyek satu tim dengan Triane.

Aku tidak mau tahu.

Aku sibuk mendistraksi pikiranku dengan kegiatan apapun.

Di kota yang baru, tanpa kamu dan Triane. Di kesibukanku yang baru, tanpa kabar satupun darimu membuatku bisa berpikir lebih jernih.

Aku mengerti sekarang, hal-hal yang sebelumnya hanya sebatas curigaku. Bahkan, hal-hal yang kupikir tidak masuk akal, tidak perlu dipikirkan, tidak perlu dipertanyakan. Justru semua itu sambung menyambung menjadi kesimpulan besar. Membantuku mengambil keputusan akan kemana kita setelah ini.

Delapan hari kemudian, aku pulang.

Kepulanganku yang didengarmu langsung membuat kamu mengirimkan chat pendek. 

Mas Iyo: Temui aku di kedai kopi biasa pukul empat sore.

Tidak ada ucapan bawel menagih oleh-oleh, menanyakan kondisiku, ataupun pekerjaanku. Hanya ada chat itu. Sebaris kalimat yang membuatku sadar, aku telah menyentuh titik paling sensitif yang dimiliki laki-laki penyabar seperti kamu, Mas.

* * *

Malam itu, kamu yang datang lebih dulu. Dengan wajah yang lelah, kamu menyambutku dengan senyuman seperti biasanya. Aku diam. Kamu sempat menanyakan kondisiku, aku hanya mengangguk. 

Dan tentu saja pertanyaan utamamu, tanpa basa-basi lagi akhirnya terlontar, mengoyak telingaku. "Ke mana saja kamu selama delapan hari ini, Ra?"

Aku mau balas, kamu juga pernah menghilang tujuh hari kan, Mas? Apa bedanya?

Situasinya beda, Kearaaa. Tapi suaramu ketika protes mengenai kealpaanku saat kejadian bom di Jakarta, terngiang. Menjawab pertanyaanku sendiri.

"Aku nggak tahu harus buka forum dari mana, Ra. Baru kali ini kamu melakukan hal di luar dugaan, Mas. Pergi jauh bukan solusi, Ra. Mas punya mulut yang bisa kamu ajak bicara. Mas punya telinga yang bisa dengar kemauan kamu. Tapi Mas nggak punya kekuatan magis yang bisa tahu semuanya kalau kamu nggak bilang," kamu bersuara. Menatapku sendu. 

Kalimat yang terdengar meminta pengertian itu berpilin dengan separuh otakku yang juga sibuk merangkai kata, mencari alasan atau memberi pernyataan. Aku hanya bisa bergeming, belum siap memberi jawaban meski hanya sepotong kalimat.

"Kamu kemana selama delapan hari tanpa kabar sama sekali, Ra? Bahkan kamu nggak bisa Mas temui di rumah." Kamu mengembuskan napas berat, terlihat sekali wajahmu terluka, menuntut penjelasan.

Malam itu, derasnya air hujan di kedai kopi terdengar memekakkan telinga. Tapi bagiku, helaan napas beratmu terdengar lebih memekakkan.

Bukan telinga, tapi hatiku.

Uap dari cangkir kopi pesananmu bahkan sudah menghilang dengan sempurna. Kamu terlampau sibuk dengan pemikiran lain hingga tak mampu menerima bujukan uap kopi favoritmu agar segera diminum.

Aku masih menunduk karena tak pernah berani menatap mata siapa pun yang memiliki masalah denganku. Bukan takut kalah, hanya saja aliran kemarahanku selalu berhenti mendadak setiap kali aku berani menatap mata lawan bicaraku.

Alih-alih semakin marah, aku malah membisu. Tidak tega melihat sorot mata yang bagiku terlalu banyak mengalirkan kata-kata daripada bibirnya sendiri.

Memori dalam Kata [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang