8. Segala Kubidik, Segenap Kenangan Kubekukan dalam Piksel dan Data-Data

15 2 2
                                    

Kami berpisah di depan kelas. Aku dan Kitkat, maksudku. Selasa bagi kami adalah hari untuk memiliki kegiatan masing-masing. Tiarma dengan latihan taekwondo-nya, Bang Jack dengan pekerjaan paruh waktunya, dan Kitkat pergi mengunjungi kakak sulungnya di Cikini. Kemudian aku memiliki klub fotografi yang mesti kuurus hari ini.

Tanpa peraturan yang mengharuskan setiap siswa tahun pertama wajib memiliki minimal satu ekstrakurikuler, aku toh tetap akan bergabung dengan klub ini. Saat itu aku tengah gila-gilanya memotret, entah obsesi atau sekadar pelampiasan sebab patah hati. Aku tak peduli. Segala kubidik, segenap kenangan kubekukan dalam piksel dan data-data. Ditambah lagi kenyataan kalau aku tak menemukan klub seperti ini semasa SMP.

Awalnya semua terasa menyenangkan. Banyak hal baru yang dapat kupelajari. Kakak-kakak kelas yang baik hati. Pun teman sejawat yang gairahnya sama meledak-ledak. Namun, ketika angkatanku naik ke kelas dua, kami mesti menjadi mentor dan mengulang kembali hal-hal yang pernah kami pelajari selama setahun kemarin. Ini menjemukan. Sangat. Dan aku tak menyukai hal-hal yang diulang-ulang.

Pastinya masih berjebah hal-hal perkara fotografi yang belum kuketahui. Bisa saja apa yang kini kuketahui ternyata tak lebih dari seujung tahi kuku. Namun, kakak-kakak kelas berkata sudah cukup. Sudah tiba giliran kami untuk berperan sebagai pengajar dan membagikan apa yang telah kami pelajari selama ini.

Karenanya, dengan malas-malasan, aku melangkah ke gedung D yang berada di timur sekolah.

"Telat lagi, Bhumi?"

Suara ngenyek yang sudah kuhapal menyambutku ketika aku memasukki ruangan klub. Ngomong-ngomong, ruangan yang dimaksud adalah ruang kelas yang tidak lagi terpakai, yang dibagi dua dengan Klub Bahasa dengan cara diberi sempadan triplek jelek yang sekolah tak merasa perlu berpayah-payah untuk menggantinya, padahal sudah... berapa? Sepuluh, dua puluh tahun?

Aku menghela napas keras. Seminggu sekali berurusan dengan Arus Manayu menurutku terlalu berlebihan. Efek samping seperti dongkol hati, kepala pening, dan tensi meninggi sebab sewot sungguh tidaklah sehat bagi kesehatan fisik dan mental. Dan kakak-kakak kelas yang baik hati itu berniat menjadikanku wakilnya untuk kepengurusan klub yang baru.

"Belum sampai lima menit, Rus. Ayolah," jawabku malas. Kulempar tasku asal-asalan ke kursi terdekat.

"Aku tak tahu di mana beda tiga, empat menit, dengan delapan tahun kalau kedua-duanya terhitung sama telat?"

Itu karena kau bodoh, obsesif, dan tukang ngatur. Namun, tentu saja aku hanya mampu menyerukan serapah di dalam hati.

"Adik-adik, maafkan Kakak yang telat kurang lebih empat menit dari waktu yang telah kita jadwalkan, ya! Dimaafkan, kan?" laungku sok manis kepada junior-juniorku, dengan satu kaki diangkat, dan telapak-telapak tangan kutangkupkan ke pipi.

"Dimaafkan, Kaaak!" seru mereka kompak, tak ketinggalan teman-teman seangkatanku dan beberapa senior. Kulihat hanya dan hanya Arus yang mencebik dengan wajah sedikit merah. Apa yang kubilang tentang terlalu menjunjung tinggi peraturan? Yep, kau akan lebih cepat mati.

Merasa menang, aku nyengir lebar ke arah Arus. Yang disebut terakhir hanya menggerutu tak jelas, sembari membereskan kertas-kertas yang terserak di atas meja. Kuduga kertas-kertas itu adalah materi yang harus kami sampaikan kepada para junior. Aku duduk setelah mengaitkan tasku ke belakang kursi, dan segera kusadari kalau aku duduk tepat di sebelah Devan, junior favoritku.

"Hola."

"Hola," balasnya pelan, seraya mengedipkan sebelah matanya ke arahku. "Kayaknya Kakak menang lagi, nih."

Aku terkekeh, junior satu ini memang benar-benar deh.

"Ayo dong, Kak. Take the throne! Rebut takhtanya! Kenapa sih bukan Kakak saja yang jadi ketua?" desaknya lagi. "Kalau Kak Bhumi yang memegang ini ekskul, pasti jadi lebih seru deh. Kak Arus kaku banget kayak orang beragama."

Whatever Float My BoatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang