"Sia, maafin aku, yah!"
Entah kenapa, ucapan Topan membuatku merasa bimbang. Rasanya ingin marah, tapi tidak bisa. Ditambah lagi, dia minta maaf didepan Daniel. Aku kebingungan mau bicara apa.
"Pan, kita kedalam aja." Awalnya, aku ingin langsung bertanya tentang dia dan Nilam. Tapi tidak jadi. Ada Daniel disitu. Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
"Bang Daniel mau-" Bukan bermaksud mengusir Daniel. Aku hanya benar-benar bingung berada dalam situasi seperti ini.
"Kalian masuk aja. Aku nunggu Arsya aja disini. Lagi ada urusan sama dia." Ekspresi Daniel sepertinya berubah. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.
Aku masuk kedalam rumah, diikuti oleh Topan. Pikiranku berkecamuk. Tidak tahu mau bicara dari mana. Mau marah atau memaafkannya. Tapi marah kenapa? Atau memaafkan kesalahan yang mana?
"Tadi, gimana Pan?" Itu kalimat pertama yang aku ucapkan pada Topan ketika kami duduk. Topan duduk di sofa yang terletak disudut ruang tamu, dan aku memilih duduk berjarak sekitar satu meter dari sampingnya.
"Aku mau minta maaf, Sia."
"Minta maaf untuk apa? Aku yang seharusnya minta maaf, udah ngehindarin kamu."
"Aku yang seharusnya ngertiin kamu, mungkin kamu masih kepikiran sama ayah kamu. Tapi aku malah maksa kamu pulang sama aku. Aku juga kayak anak kecil. Pas liat kamu sama Bang Daniel, aku malah pergi gitu aja."
"Ya udah, pan. Lupain aja."
"Habisnya Nilam bilang kamu udah pacaran sama Bang Daniel. Awalnya aku nggak percaya. Makanya aku tungguin kamu digerbang rumah kamu waktu itu. Terus kamu datang sama Bang Daniel. Jadi, aku percaya aja."
"Nilam bilang gitu? Aku nggak pacaran sama Bang Daniel, kok." Aku bergeser sehingga duduk lebih dekat dengan Topan.
"Iya, dia bilang gitu. Udah, aku udah tahu kok dari Bang Daniel."
"Bang Daniel?" Ini semakin membingungkan. Entah apa yang Daniel katakan pada Topan.
"Iya, aku nemenin nyokap beli bunga. Terus ketemu sama Bang Daniel. Jadi, dia cerita kalau dia nggak pacaran sama kamu."
Aku jadi merasa tidak enak pada Daniel. Nanti, aku akan berterima kasih padanya.
"Sia, bikinin kopi dong. Ibu lagi mandi deh kayaknya." Kata Bang Arsya padaku. Dia masuk kedalam rumah, diikuti Daniel dari belakang.
Tanpa menjawab, aku melangkah pelan menuju dapur. Samar-samar aku bisa mendengar suara Bang Arsya berbicara.
"Pan! Tadi, aku sama Asia liat kamu sama cewek di kafe. Kamu udah punya pacar? Kalau udah, nggak usah deketin Asia."
"Oh, enggak, bang. Itu temen doang." Topan menjawab santai.
"Awas kalau bohong."
Aku mempercepat langkah menuju dapur, ingin mencari Mbok Sum. Namun beliau tidak ada. Akhirnya, aku yang membuat kopi dan mengantarnya ruang tamu.
"Kok, kopinya cuman dua?" Tanya Bang Arsya. Aku memang sengaja hanya membuat dua gelas kopi. Satu untuk Bang Arsya, satu untuk Daniel. Aku berencana mengajak Topan jalan-jalan ketaman depan kompleks. Tidak enak rasanya bila harus membahas Nilam didepan Bang Arsya dan Daniel.
"Iya, aku sama Topan mau pergi ketaman komplek sebentar." Kataku, sambil menoleh pada Topan.
"Ya udah. Jangan sampe malam, yah." Kata Bang Arsya. Tumben, ia langsung setuju. Biasanya, ia akan melarangku pergi. Apalagi dengan Topan.
Udara sore ini tidak begitu panas. Akhirnya, aku dan Topan memutuskan berjalan kaki menuju taman.
"Kamu tahu aku jalan sama Nilam tadi?" Tanya Topan.
"Iya." Jawabku singkat.
"Tadi Nilam nelpon aku, katanya dia males sendirian dirumah. Makanya dia ngajakin aku ke kafe." Aku hanya ber-oh-ria mendengar Topan.
"Kamu nggak marah, kan?" Lanjut Topan.
Aku berhenti sejenak dan menatapnya. "Enggak." Jawabku.
"Biasanya cewek kalau bilang enggak, itu artinya iya."
"Enggak, Topan. Aku nggak marah. Ngapain juga marah?" Aku berbohong sepenuhnya. Aku memang marah. Aku tak suka Topan dekat dengan Nilam. Tapi, karena statusku dengan topan yang hanya sekedar teman, membuatku tidak ada alasan kuat untuk marah. Rasanya terlalu berlebihan jika aku marah.
"Aku malahan lebih senang kalau kamu marah." Perkataan Topan membuatku bingung. Apa maksudnya dia juga suka aku?
Aku berjalan meninggalkan Topan. Bukannya aku marah, namun untuk menyembunyikan wajahku yang sepertinya telah merona.
Aku duduk disebuah bangku kosong. Topan tak ikut duduk. Dia berdiri tepat dibelakangku.
"Kamu ngerasain apa waktu ngehindarin aku?" Tanya Topan berbisik ditelingaku. Kedua tangannya diletakkan diatas sandaran bangku.
"Maksudnya?" Bukannya aku tidak mengerti arah pembicaraan Topan. Aku hanya ingin mengulur waktu, karena bingung mau menjawab apa.
"Maksudnya, kamu nggak ngerasain apa-apa gitu waktu kamu ngehindarin aku?"
"Nggak, nggak tau, ah. Nggak ngerti."
"Kalau aku, kangen banget sama kamu. Tapi kesal juga, pas ngajakin kamu pulang, kamu lebih pilih Bang Daniel dari pada aku."
Waktu mendengar itu, ingin sekali rasanya aku bilang: 'aku juga kangen Topaaaan, tapi aku juga malu sama kamu'. Tapi gengsi untuk mengucapkannya.
"Pengen banget tuh waktu itu, aku marahin kamu. Atau nonjok Bang Dankel, kek. Aku cemburu soalnya. Tapi, yah kita kan cuman teman. Iya, nggak?" Topan berputar mengitari bangku itu, dan duduk disampingku.
Cuma teman. Dua kata yang terasa menusuk hati. Sudah sedekat ini, Topan bilang cuma teman? Aku mengalihkan pandanganku pada anak-anak yang sedang berlarian ditaman. Tak sanggup rasanya melihat wajah Topan.
"Sia, lihat sini dong." Kata Topan sambil menarik wajahku untuk menatapnya. Terpaksa aku menurutinya.
"Boleh, nggak aku jadi orang yang berhak marah dan cemburu sama kamu kalau kamu jalan sama cowok lain?"
"Topan, maksud kamu?" Aku benar-benar tidak mengerti. Tadi dia bilang kami hanya berteman. Sekarang dia seperti sedang menyatakan cinta.
"Kamu mau nggak, jadi pacar aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ASIA.
Non-FictionBanyak yang bilang move on itu bukan tentang melupakan, tetapi mampu bersikap biasa saja jika mendengar namanya atau mengingat kenangannya. Setidaknya, itu yang dipikirkan Asia tentang perasaannya sendiri. Move on dari seseorang yang dicintainya sel...