Tiba di kedai lebih awal dari waktu janjian. PAdahal sudah pasti barang tentu, Ibra akan telat, karena jam praktik yang padat.
Tidak apa, perut karet dan gratisan adalah penyemangatnya. Ghalea sengaja memilih resto kesukaannya yang agak pricy. Ibra kaya jadi tidak masalah untuk menggelontorkan sebagian kecil penghasilnannya untuk fakir dhuafa bernama Ghalea.
Hari ini mereka janjian akan ke Wikrama mengunjungi dr. Yusuf, mengantarkan undangan pernikahan Ibra secara sopan tidak via wassap seperti ide gila Ghalea. Dengan iming-iming makan siang Ghalea bersedia.
Setelah memesan Ghalea melamunkan hari ini, lagi lagi sejak pagi dia kembali dikasihani. Untuk hal yang ia sendiri tidak mengerti.
"Itukan yang ditinggal merit dokter Ibra?"
"Wah cantik dan suka dibawa kesana-kemari tapi nggak dinikahin ya?"
"Yang diantar jemput siapa yang diajak nikah siapa."
Selentingan terus berlanjut, mungkin hingga sekarang. Tapi apa peduli Ghalea. Nyaris dua tahun dia di rumah sakit itu, dan nyaris delapan tahun dengan Ibra disisinya.
Ghalea merasa tidak perlu menjelaskan kalau mereka benar-benar berteman. Ibra yang menemaninya ketika patah hati, Ibra yang menghiburnya ketika insecuritasnya meninggi, da Ibra lah yang ikut menyaksikan bagaimana Ghalea berusaha bangkit hingga saat ini.
Ibra memang berharga, tapi bukanlah orang yang sangat dicintainya. Begitupun Ibra.
Satu windu bersama, tidak mungkin Ghalea tidak tahu siapa Azhari dan bgaimana Azhari dimata Ibra.
Jangan salah, Ibra menempatkan Azhari diatas segalanya.
Ibra baik kepada Ghalea, karena Ghalea adalah temannya.
Tapi Ibra menjadi pemuda cupu gugup dan tidak tahu meraup nafas yang benar ketika terpana Azhari.
Azhari yang dicintai, Azhari yang dikagumi, dan Azhari yang untuknya Ibra rela mati.
Sewindu tidak mungkin dibbandingkan dengan dua tahun.
Kebetulan Ghalea satu kampus dengan Ibra.
Kebetulan Ghalea satu kost dengan IBra.
Kebetulan Ghalea satu rumah sakit dengan Ibra.
Banyak kebetulan bukan berarti harus dalam ikatan bukan?
Begitupun Ghalea Kusumawardhani.
Perlu diluruskan ketika Ghalea sudah lulus dan sudah kerja, Ibra masih pontang-panting koas di rumah sakit yang sama.
"memang takdir atau aku sedang beruntung?" suara jahil meletuskan segala almunan ghalea tentang masalalunya.
Fico manusia ganjen muncul sempurna dihadapan Ghalea.
Ghalea termenung dan Fico dengan santai sudah duduk tepat didepan Ghalea.
"Sering kemari?" Fico kembali berbasa-basi.
"jangan jawab sudah rencana Tuhan kita bertemu." Fico berkelakar kemudian tertawa sendiri lagi.
Ghalea merasa kkebahagiannya kkarena ditraktir Ibra tak tahan lama, dia muak, dia mnyesel memilih tempat ini.
Kedatangan pramuniaga memberi sedikit jeda agar dia bebas dari gombalan Fico manusia tak kenal lelah itu.
Pramuniaga yang cantik itu menaruh dua porsi bakmi dengan toping yang berbeda. Dua orsi kentang, satu porsi nugget ayam, sosis bakar sebagai camilan, dan sebagai pemanis krupuk pangsit renyah ikut hadir. DEngan minuman latte vanilla yang sangat disukai Ghalea, jus alpukat kebanggan seluruh umat, dan air mineral. Ghalea kalap dan Fico menyerngitkan dahinya.
"Kamu menunggu teman?" secara spontan Fico bertanya.
Ghalea diam, ingin mengiyakan tapi malas. Semua ini memang miliknya, Ibra biar saja pesan sendiri.
"Atau kamu terilham akan bertemu aku kemudian pesan sebanyak ini, tapi aku lebih suka hot chocholatenya daripada vanilla lattenya," Fico kembali menyambung perkataannya lagi.
"Maaf anda bisa pindah meja dan pesan sesuai keinginan anda, yang dimeja ini, semua pesanan saya." Ghalea menyikapi dengan setenang mungkin meski semburat mera dipipinya masih ada dan nyata.
"Kak Fico... Udah pesen belum?" Ghalea mengerjap, dia harap dia salah mngenali suara.
Duh biang keladi, aku tidak mau ditampar lagi.
Belum sempat Ghalea menghindar tangan Vanya sudah menjabak rambutnya.
"Gak kemana-mana ppasti ketemu kamu. Apalagi yang mau kamu banggain ha?"
Suasana menjadi riuh tepat, Ibra yang baru dibibir pintu langsung menyongsong dengan buru-buru.
Tak sampai disitu kuku panjang Vanya mencarut wajah imut Ghalea hingga perawat yang sebetulya lapar itu meringis perih.
"Suster jalang. Kamu jalang. Perebut pacar orang."
MAlu, Ghalea sungguh malu, hingga pasrah saja saat Vanya mulai menarik rambutnya lagi.
"Sudah mbak, Lia tidak merebut siapapun mbak." Ibra melerai sambil berusaha membantah statemen Vanya.
"Setelah laki-laki yang ku cintai, perawat tampan, dokter ini, dan kakak tiriku sekligus mau kamu rebut? Pelet darimana sampai mereka semua tergila-gila sama kamu?"
Vanya berteriak lagi.
Kali ini Ghalea melarang Ibra menanggapi mereka langsung menjauh setelah Vanya ditarik paksa kakaknya.
"Maaf." Ghalea menunduk dalam kepada orang disekitar, dia kembali duduk dan meminum mineral yang disorongkan Ibra.
"Pindah aja yuk, aku nggak mau kamu makan dengan ekspresi nahan tangis gitu. Kalo Om Yusuf tau, aku bisa disate nanti." hibur Ibra.
Ghalea tersenyum seadanya tanpa menyicip apapun lagi, dia bangkit dan pergi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghalea
RomanceBercerita tentang Ghalea, perawat rumah sakit yang dibuat sakit hati oleh seorang pria. *** Derik bangsal yang didorong sepanjang lorong, raut cemas hilir mudik sampai cekikik usil ditengah deru isak masih ada, masih selalu ada. Seperti Arez ya? Gha...