Keke tahu, dia tidak terlalu mahir mengendarai motor, sekali pun itu motor matic.
Insting mengendarainya sangat payah. Ditambah, dia trauma, pernah jatuh dari motor saat sedang tikungan tajam. Alhasil dia jarang mengendarai motor dan lebih mengandalkan kakaknya jika bepergian kemana-mana.
Tapi, di saat seperti ini, di mana dia mendapatkan pesan dari Koko yang sangat menghawatirkan, membuat Keke mau tidak mau harus mengumpulkan nyali untuk melakukan hal tersebut untuk menjemput kakaknya yang sepertinya sedang dalam bahaya.
Keke sudah sering memperingatkan kakaknya untuk menolak dan kabur jika diajak menongkrong. Apa sih, manfaatnya? Lebih baik di rumah membantu dirinya menjaga toko.
Jika Keke sudah berbicara seperti itu, kakaknya hanya mendengkus dan membuang muka. Berasa seperti masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kakaknya pasti akan menjawab, bahwa semua itu mengenai setia kawan dan kekompakan.
Halah, bacot!
Begitulah sekiranya yang Keke umpat di dalam hati.
Apalagi jika di Warjeg datang para alumni-alumni sekolah seperti Bobi. Orang-orang menyebutnya sebagai Botak Bijaksana. Tapi menurut Keke, Bobi adalah singkatan dari Botak Biadap. Dia jelas-jelas orang yang tidak memiliki akhlak, orang yang bar-bar, dan tidak ada masa depan karena masih bersikap kekanak-kanakan.
Akhirnya, setelah 15 menit mengendarai motor menuju Warjeg, yang di mana terletak di belakang sekolah. Keke memarkirkan motornya di samping bangunan tersebut, yang merupakan rumah kecil yang dijadikan warung kopi. Suasana di sana cukup ramai akan suara anak-anak sekolahan yang duduk-duduk di depan warung. Gadis itu berjalan mengendap-endap seraya menajamkan pendengarannya. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Koko.
Ting!
Keke sedikit tersentak kala mendengar notifikasi sebuah ponsel di dekatnya, yang pasti itu bukan dari ponselnya. Alhasil gadis menunduk dan menemukan sebuah ponsel tergeletak di tanah yang kebetulan merupakan ponsel milik Koko. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. "Anjrit!"
Keke mengambil ponsel milik kakaknya itu dan bergegas menuju keramaian tersebut. Dan mendapati Kakaknya yang hendak dipukul oleh si Botak Biadap tersebut.
"STOP!"
Keke berteriak. Gadis itu berlari dan menarik Koko agar tangannya dilepas. Gadis itu meneliti wajah Koko yang baik-baik saja. Tanda jika dia belum dipukuli atau mungkin dia menggunakan tenaga dalamnya.
"Enak aja kalian mukulin kembaran gue!" Sedetik setelah Keke mengatakan hal itu, dia langsung membelalakkan matanya dan menutup mulutnya seraya mengumpat pelan. Kenari bodoh! Kenari bodoh!
Koko menghela napasnya seraya mengusap wajahnya kasar. "Licin banget sih, itu mulut!" kesalnya. Sedangkan Keke menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal.
"Kembaran? Serius? Apa mata gue aja yang siwer nih?" Salah satu dari mereka yang merupakan kakak kelas berkomentar.
"Kembaran, lo bilang? Kembaran dari Afrika ke China maksud lo?" Bobi ikut tertawa.
"Maksud gue, kita—"
"—emang kembaran. Kembaran nggak indentik. Kalo lo semua gak percaya. Berarti nilai IPA lo waktu SMP jelek semua!" Koko tiba-tiba melanjutkan ucapan adiknya. Mengakui jika mereka adalah saudara kembar.
Bobi menatap teman-teman yang lain kemudian melirik sekilas kearah mereka berdua. "Usir itu cewek! Ganggu aja!"
Keke membelalakkan matanya, gadis itu memasang kuda-kuda dan mengaktifkan tenaga dalamnya. "Usir gue? Coba aja kalo berani!"
KAMU SEDANG MEMBACA
yang baik belum tentu baik
AksiDisclaimer dikit: ini hampir 2 tahun lebih di-unpublish karena gaya penulisannya yang menurutku kurang. Sengaja dipublish lagi untuk mengenang perkembangan gaya penulisan gue yang dulunya suka sok ke-jaksel-jakselan. Aslinya mah orang Bogor wkwkw. *...