15. Naima Rosdiana

1.7K 141 2
                                    




⁠۝ ⁠۝ ͒⁠۝ 


Akulah batu karang yang siap ia hantam ribuan kali tapi tak pernah luluh lantak. Akulah pelangi yang ia tolak keindahannya di ujung senja yang tetap menunggu walaupun berulang kali ia hadiahkan penolakan.

Akulah karam yang tenggelam di samudera Atlantik, terdampar di ujung Antartika meratapi dingin ngilunya cahaya mentari yang tak lagi menghangatkan. Akulah dermaga yang porak-poranda di ujung malam. Dan aku tetaplah aku yang mencintai lelaki itu walau dalam pergantian seribu musim sekalipun.

Bukankah pernikahan adalah kado dari Tuhan yang menyatukan dua manusia. Meski dalam ketidaksengajaan sekalipun. Tidak ada bab yang sia-sia dalam kehidupan ini. Jika hari ini aku berada di lembaran yang paling menyakitkan, mungkin di lembaran berikutnya ada bahagia yang menunggu.

Walaupun harus membusung seribu kesabaran lagi, aku sanggup jika ia tetap berada disampingku. Jika ia tetap memastikan bahwa tidak ada perempuan lain.

Cinta datang karena terbiasa, meskipun dalam keterbiasaan itu ia menjadi sesuatu yang paling menyakitkan, tapi perasaan tidak bisa dibohongi. Wanita gila sepertiku juga sangat ingin kehidupannya penuh dengan kebahagiaan.

Namun, luka berkata lain. Ia suamiku, akan tetapi aku tak pernah berhasil menarik kapalnya untuk tenggelam di lautanku. Sejauh ini ia nakhoda kuat dan hebat hingga tak mudah karam di terjang amukan lautan.

Malam ini cuaca begitu dingin. Sudah sangat larut. Tetapi aku masih saja bernegosiasi dengan rasa sakitku. Memintanya berdamai dengan keadaan. Semuanya tetap menjadi sia-sia ketika sesak kembali memenuhi ruang kosong di dalam sana.

Ezard kurang ajar itu ternyata ingin tenggelam di lautan orang lain. Itu menyakitiku. Hei! Aku tidak menuntut banyak selama ini. Aku membersihkan semua isi rumah jika diminta. Aku membantunya memasang dasi setiap pagi sebelum berangkat kerja. Aku menyiapkan sarapannya. Memperbaiki selimutnya jika melorot ke bawah. Membantunya mengeringkan rambut. Mencukur jenggotnya jika kembali panjang. Menyiapkan pakaian dan hal terkecil sekalipu, seperti menyisir rambutnya yang berantakan.

Tidak pernah kusesali karena telah melayani lelaki sakit jiwa itu, kecuali hanya beberapa kali absen karena kemarahanku padanya. Tetapi bukankah aku sudah melakukan kewajiban sebagai seorang istri.

Bahkan ketika tadi di dalam mobil ia meminta haknya. Aku juga sudah siap memberikan. Namun, kau tahu apa yang ia lakukan? Ia menolakku. Lagi. Entah apa yang ada di otak busuknya itu.

Mimpi terburukku saat ini adalah mencintai orang yang seharusnya tak pernah kutaruh di hatiku. Seorang suami yang kadang dingin, kadang hangat, yang selalu dikelilingi wanita-wanita cantik berpakaian modis. Semua orang seperti tertarik dan menyukainya. Tidak ada jalan pulang untuk membebaskan diri dari kesepian yang tak berujung ini.

"Di luar dingin, kau akan beku jika disini sepanjang malam." Pemilik suara itu membuatku terpaksa menghapus air mata.

Tanpa perlu menoleh aku tahu itu suara bariton siapa. Lelaki brengsek yang menikahiku dan tidak ingin mencintaiku sama sekali. Dan betapa naifnya aku menginginkan ia lebih dari sekedar suami yang tidur di sebelahku sepanjang malam.

"Aku tidak akan masuk bersamamu. Jika kau ke sini hanya untuk itu."

Tanpa pikir panjang Ezard membuatku benar-benar berada dalam pelukannya. Untuk apa pelukan ini? Apa artinya? Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Ezard. Namun, kekuatannya untuk menahanku lebih kuat.

"Naima, kesalahan terbesarmu adalah mencintai orang lain lebih besar dari dirimu sendiri. Apa kau akan terus begini? Hidup dan mengabdikan dirimu untuk semua orang."

Ezard menekankan di setiap katanya.

"Kalau begitu, kenapa tak kau ubah beberapa hal menyedihkan dalam hidupku menjadi kebahagiaan? Belajar mencintaiku misalnya?" Aku penuh keputusasaan. Namun, memeluknya lebih erat dari yang ia lakukan.

"Tapi aku tahu kau mencintaiku, Ezard. Hanya saja kau tak ingin menyadari hal itu. Aku mencintaimu," lirihku sembari menutup mataku.

Mendengar hal itu Ezard melepaskan pelukannya dan menatapku tidak percaya. Ia nyaris tertawa. Mungkin karena kegilaanku.

"Kau salah, Nai. Yang kau lihat dariku hanyalah keinginan memilikimu. Bukan cinta. Tidakkah kau bisa merasakan bahwa aku mengasihanimu sepanjang waktu? Hanya gadis naif sepertimu yang bisa menukar dirinya demi nyawa adiknya. Aku tertarik pada bagian itu."

Sekarang yang kumiliki hanyalah harapanku yang tak berkesudahan. Selalu begitu sepanjang tahun. Aku membuat harapan, kemudian merayakan hangusnya harapan itu dibakar mentari.

Pamuda bongsor itu kemudian menarik kakinya pergi dari tempatku berdiri. Dan di sini, aku hanya meratapi punggungnya yang menjauh. Tidak ada yang salah. Semuanya berubah hanya karena aku mencintainya. Lain kali, meski ia terus menolakku. Aku akan tetap memohon padanya untuk mencintaiku.

Langkahnya terhenti pada kisaran jarak tiga meter. Ia berbalik menatapku yang penuh air mata ini dan berjalan kembali ke arahku. Terlihat ia menghela napas malas sembari membuang mukanya ke arah dimana tidak ada bayanganku disana.

Jika saat itu matanya bisa hilang, mungkin ia lebih memilih menghilangkan kedua matanya ketimbang menatapku. Sebegitu menjijikkannya aku dimatanya, sampai-sampai ia enggan melirik istrinya sendiri.

Seketika, kurasakan dinginnya sentuhan Ezard, kala tangannya menggenggam tanganku. Kulitku menyatu dengan kulitnya. Ia menggenggam tanganku seakan memberi isyarat tidak akan pernah melepasnya.

Akupun balik menggenggam tangannya, seolah ingin mengatakan aku juga tidak ingin dilepaskan. Sekalipun ia tetap kekeuh dengan pendiriannya untuk tidak mencintaiku. Akan tetapi ini cukup lebih baik dari pada hidup di atas hinaan dan cacian banyak orang.

Penderitaan ini tidaklah berarti sama sekali. Ia memberiku tempat yang nyaman, ia menyelamatkan hidupku, mengangkat reputasiku. Tidak ada yang lebih penting dari itu bukan? Bukankah hidup di rumah ini jauh lebih menyenangkan ketimbang hidup di jalanan. Di rumah sempit. Gang-gang kumuh. Hah! Aku cukup beruntung meski tidak memilikinya sepenuh hati. Aku mungkin sudah gila.

"Kau tahu, Nai? Mengapa aku tidak pernah membawa perempuan ke rumah ini selain dirimu? Dan mengapa aku selalu bekerja keras?"

"Mana mungkin aku tahu! Kau bahkan tidak pernah menceritakan kau lahir dimana? Tanggal berapa? Aku mengetahui itu hanya dari KTP-mu yang pernah tertinggal di atas meja." Aku sangsi. Jelas! Karena ia salah satu suami yang tidak terbuka, dan jarang sekali menceritakan keluh kesahnya padaku.

"Bagian mana dulu yang ingin kau ketahui?"

"Tentu seorang wanita akan tertarik pada bagian pertama." Mengapa seorang Ezard Wattson hanya membawanya dirinya ke dalam rumahnya? Bukankah sudah cukup menggambarkan betapa aku sangat spesial di matanya.

"Bagian pertama, karena kau seperti bunga. Penuh dengan keindahan, mekar, harum, kemudian saat waktunya tiba kau akan layu dan disaat itu kau memberi benih baru."

Apa yang ia katakan? Otakku ini benar-benar tidak bisa memahaminya. Darimana ia belajar merangkai kata-kata murahan seperti itu? Bukankah ini terlalu ambigu. Ia seperti remaja yang sedang membacakan puisi di depan kelas.

"Seharusnya kau cukup menjelaskan pertanyaan yang kedua." Aku memberi saran agar ia tidak terlalu lama larut dalam kata-katanya yang jelek itu.

"Selain restoran, aku juga ingin punya perusahaan property, menyebar banyak yayasan di setiap sudut Jakarta. Aku ingin sekali punya panti khusus lansia. Dan juga, terakhir rumah sakit. Aku ingin membangunnya juga."

"Aku tahu kalau kau punya yayasan?"

"Mau kuajak kesana?"

"Tentu!"

Aku terlalu bersemangat untuk itu. Aku tidak percaya bahwa suamiku yang hidup bebas ini ternyata juga punya rasa kemanusiaan. Mengejutkan sekali fakta baru ini. Sungguh diluar dugaanku.





......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang