"Begini, Pak Genta, Anda tau Anda sudah menyakiti mantan istri Anda, alasannya sudah sangat jelas. Tapi, kenapa setelah dia pergi, Anda justru menginginkannya kembali? Berdasarkan logika antan istri Anda, tentu itu tidak adil. Tidak ada yang mau dibelenggu dalam ikatan pernikahan yang menyiksanya." Genta menghela napas ketika ucapan terapisnya membuatnya frustrasi. Satu minggu setelah Genta bertekad untuk membantu Shera, Genta langsung menemui psikolog yang akan membantunya mengurangi sifat tempramentalnya.
"Sifat itu selain faktor genetik, bisa saja karena tekanan sosial. Sekarang, saya tanya pada Anda, kenapa Anda menginginkan mantan istri Anda kembali?" Tunggu, Genta ingin mengurangi sifat tempramennya, bukan berkonsultasi tentang pernikahannya yang sudah kandas.
"Begini Dok, bukankah kita selalu merasakan penyesalan di akhir? Saya menyadari Shera sangat berharga bagi saya ketika dia pergi. Saya ingin dia karena dia memberikan banyak pengaruh pada saya. Dia berharga, saya hanya terlalu.bodoh untuk menyadarinya." Genta menundukkan kepalanya begitu ia sadar kebodohannya. "Tapi, sekarang saya tidak ingin menginginkannya segitu banyak, saya hanya ingin dia sembuh. Karena...saya penyebabnya. Saya tau saya harus menyelesaikan permasalahan pada diri saya dulu." Genta tersenyum. Ia sangat percaya bisa membantu Shera.
Dokter Irawan mengangguk. "Saya bisa memulai terapisnya, bukan untuk menghilangkan sifat itu. Hanya untuk menenangkan, seperti memberikan saran jikalau nanti Anda berada di kondisi yang akan memicu tempramen Anda."
Genta mengangguk.
***
"Mbak, anggaran segini, investor yakin bakal setuju? Maksudnya, dana yang kita punya kurang dikit lagi dari target anggaran." Shera sedang menyeruput macchiato-nya ketika Lala mengganggu kenikmatan dunianya dengan proyek yang mereka kerjakan.
Shera begumam. "Nanti Pak Ravael bakal minta anggaran dari pemerintah setempat. Katanya lagi nyusun proposalnya."
Lala mengangguk. Tangannya mengetik sesuatu di komputernya. "Untuk SPK para kontraktor gimana, Mbak? kita juga yang urus?" Sepertinya Lala sudah kelimpungan dengan proyek besar ini. Jika Lala tidak sedang stres seperti ini, Shera mungkin akan tertawa melihat ekspresinya. "Nggak, ada bagian divisi lain yang urus, La. Kita fokus anggaran sama pelaksanaan pembangunan aja." Lala menghembuskan napasnya lega.
Shera masih menikmati jam istirahatnya ketika teleponnya bergetar. "Halo, Ta?"
"Kok kamu yang jemput? Kenapa nggak bilang ke saya dulu?"
Shera langsung mengambil tasnya dengan kasar. "Saya ke sana sekarang."
Lala mengerutkan dahinya. "Kenapa, Mbak? Pak Genta, ya?"
Shera berdecak. "Gue buru-buru. Takut anak gue diculik sama Bapaknya." Lala terkekeh kecil mendengarnya.
Sebelum pergi, Shera menyempatkan diri untuk pergi ke ruangan Ravael. "Pak Ravael," panggilnya. Ravael sedang memeriksa dokumen ketika ia masuk. "Eh Shera, masuk."
Shera baru akan membuka mulutnya untuk berbicara ketika Ravael memberikan bingkisan padanya. "Ini, makan siang buat kamu. Saya tadi beli satu tapi malah kelebihan, jadi beli dua. Kamu mau?" Shera mengambil bingkisan itu. Wow, spaghetti, hamburger, kebab. Kesukaannya.
"Bapak yakin ini kelebihan pesen? Ini makanan kesukaan saya semua." Shera menatap Ravael heran. Yang ditatap hanya tertawa kecil, eh? bisa tertawa juga bosnya ini. "Kentara banget, ya? Saya orangnya nggak bisa bohong, sih."
What?
Sejak kapan Ravael tau makanan kesukaannya? Dan, sejak kapan pria itu jadi perhatian padanya? Shera jadi takut. "Ini bener, Pak?"
"Iyalah, ngapain bohong?"
Shera hanya nyengir kuda. "Makasih banyak, Pak Ravael. Oh iya, saya mau ijin keluar, mungkin agak lama. Ada kepentingan keluarga."
KAMU SEDANG MEMBACA
L'amour L'emporte [Complete]
General Fiction"I don't see any reason why we have to be together, still." "But, i still want you. That's the only reason." *** Sheravina Anjani Sanjaya tidak percaya lagi pada suaminya--Gentahardja Revan Subroto setelah semua hal yang telah dilakukan oleh pria it...