"Sepasang mata emas itu memandangku dengan penuh damba. Seakan bertanya melalui tatapannya, kapan aku pulang?"
***
Hari yang sangat cerah untuk memulai aktivitas yang membosankan. Lagi-lagi aku menghela napas dan mengeluh untuk ke sekian kalinya. Entahlah, tiba-tiba saja mengeluh menjadi hobi baruku saat ini.
Di tengah aktivitasku menatap lapangan sekolah, tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dengan kaget, rupanya Yuna yang melakukannya.
"Sampai kapan kau mau menatap lapangan seperti orang idiot?" Gadis di depanku ini mencoba menatapku dengan ekspresi galak yang ia bisa. "Jangan melewatkan jam makan siangmu bodoh! Kalau kau sakit aku yang repot."
Aku mendengkus geli kemudian memeluk lengannya. "Manisnya... Kau sampai mau repot-repot menghampiriku ke rooftop."
"Aku tahu beban hidupmu berat sekali." Yuna mencubit pinggangku karena gemas. "Jangan seperti orang sakit jiwa!"
Pada akhirnya aku tertawa pelan dan hanya bisa menurutinya. Yuna menyeretku sampai ke kafetaria dan terus mengomeliku untuk segera menghabiskan makan siangku.
"Coba katakan, kenapa hari ini kau seperti orang gelisah?" Yuna yang tadinya sedang menikmati susu stroberinya kini fokus menatapku. "Tidak mungkin kan hanya perkara Mr. Park yang menegurmu di kelas tadi?"
Aku juga tidak tahu.
Rasanya aku seperti menantikan seseorang, tapi tidak tahu siapa dan kenapa aku seperti ini. Hampa sekali, entahlah... Hanya itu yang ku rasa saat ini. Aku sampai bingung harus bagaimana perasaan aneh ini hilang karena sejak aku bangun dari tidurku pagi tadi perasaan hampa ini sudah ada.
Dan itu tidak enak sama sekali.
Bayangkan saja kau menunggu penuh harap tapi kau tidak tahu siapa yang akan kau tunggu.
Seperti itu yang aku rasakan sekarang.
"Aku juga tidak mengerti." Hanya kalimat itu yang lolos dari bibir tipisku.
Aku tidak mau Yuna tahu, bisa jadi perasaan aneh ini sifatnya hanya sementara.
"Oh, oke..." Yuna mengangguk mengerti. Dia berdiri lalu membuang botol susunya dan kembali di hadapanku. "Sudah selesai kan? Ayo kembali ke kelas."
Aku mengangguk lalu kita berdua melangkahkan kaki meninggalkan kantin.
Oh iya, apakah aku lupa memperkenalkan diri?
Namaku Reina Kim. Aku tinggal bersama nenekku dan tumbuh besar tanpa hangatnya kasih sayang kedua orang tuaku. Ayahku meninggal karena sakit di usiaku yang ke dua belas tahun dan ibuku menyusul tak lama setelah itu. Jika kalian bertanya apakah aku sangat sedih ketika mereka meninggalkanku di waktu yang bersamaan, jawabannya adalah aku juga tidak tahu.
Kisah hidupku sangat rumit untuk diceritakan. Ayahku sering bekerja keluar kota dan ibuku yang ku sangka malaikat tanpa sayap ternyata berselingkuh dengan pamanku —adik kandung ayahku. Di usia yang masih belia aku sudah merasakan bagaimana pahitnya patah hati, dikecewakan, dan kehilangan dalam waktu yang berdekatan.
Awalnya aku merasa semesta tidak adil. Bisa-bisanya memberikan penderitaan seperti itu kepadaku. Namun seiring waktu berjalan, sedikit demi sedikit aku mulai bisa menerima semuanya.
Aku mulai berdamai dan mencoba untuk hidup untuk diriku sendiri.
"Tiga bulan lagi usiamu tujuh belas tahun kan?" Yuna mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku. Ngomong-ngomong kita berdua sudah berada di dalam kelas. "Kau mau hadiah apa? Aku belikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] The Saga : RED MOON | Lee Jeno
Fantasy[🔞] Ini bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur yang sering ibumu bacakan ketika malam hari. Ini adalah cerita di mana cinta dan tahta mendominasi dalam kisahnya. © 2020, reinjunity.