Dia..Mikayla Nuria Tavisha.
Gadis remaja berusia enam belas tahun yang tak pernah tau rasa kasih sayang dari orang tua. Gadis remaja yang tumbuh dalam kegelapan dunia. Gadis yang bahkan selama hidupnya terkurung di dalam sebuah bangunan dingin tak bercahaya.
Mikayla, sama seperti arti namanya yang berarti pemberian dari Tuhan. Ibunya lah yang memberikan nama itu padanya. Nama yang kini menjadi satu-satunya pemberian paling berharga dari ibunya. Ibunya seperti bersyukur dengan kehadirannya. Seperti ia sudah di tunggu-tunggu untuk lahir ke dunia. Dan meski tak pernah berjumpa dengan ibunya, tetapi rasa sayang yang teramat besar telah tersimpan di relung hatinya untuk sang Ibu tercinta.
Mika adalah anak piatu. Sedari kecil ia sudah tak memiliki ibu. Atau bisa dibilang semenjak ia lahir ke dunia, Ibunya saat itu juga pergi meninggalkannya. Mika saat itu bahkan belum bisa mengingat, bagaimana raut wajah ibunya. Bagaimana sentuhan lembut dari tangan wanita yang telah melahirkannya.
Meskipun begitu, Mika masih memiliki seorang Ayah. Sosok yang katanya digadang-gadang menjadi figur pelindung dalam sebuah keluarga. Tapi itu adalah katanya. Bukti lain menyatakan jika tak semua pria adalah Ayah yang baik untuk anaknya. Dan Ayahnya adalah salah satunya.
Mika hidup bersama Ayahnya sedari bayi. Ia diasuh oleh seorang pembantu yang disewa untuk menjaganya. Sementara ayahnya, seorang pria tambun telah memiliki seorang istri dan anak lainnya dan hidup penuh kehangatan di depannya.
Kenapa bukan disisinya? Karena Mika bukanlah siapa-siapa disana. Sebuah kenyataan bahkan sudah menamparnya sejak ia dilahirkan. Kenyataan jika ia adalah sosok haram yang seharusnya tak lahir ke dunia.
Sebenarnya Mika tidak baik-baik saja. Fakta itu menggerogoti perasaannya serta kehidupannya. Hidupnya sudah hancur. Ia sudah tak berharap lebih dari hidupnya.
Jika boleh jujur, Mika merasa jika lebih baik ia mati saja bersama Ibunya. Dengan begitu, ia tidak akan merasakan ini di dalam hidupnya. Tetapi, ia masihlah memiliki hati nurani. Ia masih memikirkan perjuangan sang Ibu dalam mengandungnya dan pengorbanan sang Ibu untuk mempertahankan hidupnya di dunia.
Tapi Mika lelah. Ia yang bahkan masih remaja harus menanggung semua beban berat dirinya seorang diri. Tak ada yang bisa dijadikannya sebagai sandaran. Ia sendiri.
Ayahnya?
Bahkan Mika sangsi jika Ayahnya masih ingat akan keberadaannya.
Mika memang tidak terkesan berlebihan. Meski mereka tinggal dalam satu atap, tetapi ayahnya sedari ia bayi bahkan tak pernah menyentuhnya. Boro-boro menyentuh, menemuinya saja tidak pernah.
Namun Mika tak ingin mendramatisir keadaan. Masih beruntung ayahnya mau menampungnya. Menanggung hidupnya. Toh, ini memang sudah takdirnya. Menjadi seorang anak haram dengan hidup yang penuh cacian dan makian.
Di rumah besar nan mewah milik Ayahnya, Mika juga hanya tinggal di sebuah kamar di loteng rumah itu. Ruangan yang bahkan tak lebih besar dari kamar mandi milik saudara tirinya. Kamar yang hanya berisi satu kasur tipis yang sudah nampak usang dengan satu lemari kecil yang terisi beberapa lembar pakaiannya dan juga satu bilik kamar mandi di dekat pintu kamarnya.
Meski terbilang kecil, tetapi ada satu tempat yang menarik. Yakni sebuah jendela kaca besar yang menghadap langsung pada jalanan. Mika suka menghabiskan waktunya disana. Memandangi jalan kompleks yang sepi sambil menatap ke arah langit. Terkadang ia juga memikirkan tentang takdirnya yang entah bagaimana Mika katakan, sangat memprihatinkan.
Lucu sebenarnya. Tapi Mika sudah pasrah dan mencoba untuk memahaminya. Ia sudah tak berkecil hati lagi. Ia pikir ia masih memiliki Ibunya yang sangat menyayanginya. Meski hanya berupa sebuah suara rekaman yang tersimpan di dalam tubuh sebuah boneka. Ia menemukannya di dalam gudang saat dulu ia dihukum oleh ibu tirinya karena mengacau di acara arisan yang diselenggarakan di rumah.
Sepanjang harinya selama beberapa tahun terakhir, Mika hanya menghabiskan harinya dengan berada di dalam kamar. Ia terkurung disana. Terkurung karena alasan yang tak pernah diketahuinya sampai sekarang. Mika lagi-lagi tak masalah. Kembali lagi ia ingatkan jika ini sudah termasuk ke dalam jalan takdirnya. Anak haram sepertinya pasti juga memiliki takdir yang menyedihkan pula.
Meski ia memahami takdirnya, Mika tidak menampik jika disudut hatinya ia ingin hidup seperti remaja lainnya. Memiliki orang tua yang hangat, teman-teman yang baik, dan kehidupan bahagia seperti yang dirasakan oleh Kakak tirinya. Tapi Mika bisa apa jika lagi-lagi nasibnya tidak mengizinkan hal itu untuk terjadi.
Ia iri. Jelas. Setiap kali melihat interaksi antara Kakak tirinya dengan sang Ayah dari balik kaca besar kamarnya, Mika merasa jika ia pun ingin merasakannya juga. Bahkan tak jarang ia mengusap kepalanya sendiri begitu melihat pemandangan itu. Ia hanya penasaran dengan rasanya. Rasa disayangi oleh orang tua.
"Teddy.. Bolehkah Mika bermimpi disayang oleh Ayah?"
Remaja itu menatap polos sebuah boneka usang ditangannya. Boneka yang awalnya berwarna putih itu sudah berubah warna menjadi abu-abu karena telah ditelan waktu.
Boneka itu hanya diam. Namun Mika mengerti dan tertawa setelahnya.
Mika..
Seorang remaja yang dituntut takdir untuk berpikir dewasa. Gadis yang tumbuh dalam kesenyapan dunia. Gadis yang berkeinginan untuk berharap namun terhalang karena takdir hidupnya.
Mika..
Gadis pendiam yang sudah pasrah akan hidupnya. Gadis yang di dalam mimpinya selalu membayangkan kasih sayang dari orang tua.
Ya, dia Mikaila..
Gadis yang tak tahu akan bagaimana kelanjutan hidupnya. Gadis yang bahkan takut untuk berharap jika takdir bahagia akan datang ke kehidupannya.
To be Continued
Tertarik?
Lanjut or not?
KAMU SEDANG MEMBACA
Because It's You
RomanceBahkan tanpa kata, ia tahu jika ia tak mungkin bisa menggapainya. ~Mikayla