Sepuluh tahun berlalu...
Semua orang tahu, hidup dalam kesendirian itu menyiksa. Di tengah-tengah sekumpulan manusia tanpa keluarga maupun teman.
Sudah sepuluh tahun berlalu. Dalam keadaan yang masih sama, semenjak kejadian itu. Gin masih menetap dipanti asuhan yang tak jauh dari tempat tinggal sebelumnya. Desa yang tak terkena musibah itu, kini menjadi tempat tinggalnya.
Tok tok tok
"Gin," panggil seorang pengurus panti asuhan itu sembari mengetuk pintu kamar Gin pelan, Wina.
Gin yang semula memberi makan kucing kesayangannya kini beranjak membuka pintu kamarnya. Wina tersenyum melihat sifat Gin yang tak berubah, tetap dingin dengan siapapun.
"Waktunya sarapan," ucap Wina yang menyadari Gin tidak ada di ruang makan.
"Aku tahu," jawab Gin datar.
"Pergilah ke sana! Sarapan dengan yang lain," ucap Wina lembut.
Dibalas deheman oleh Gin lalu menutup pintu kamarnya untuk bersiap.
Wina yang melihat kelakuan itu, lagi-lagi tersenyum. Ia sudah menganggap Gin sebagai putranya, dengan memberikan perhatian lebih seperti seorang ibu. Namun, sepertinya Gin beranggapan lain. Gin belum bisa menerima kenyataan yang menimpanya. Ia pergi meninggalkan lorong kamar Gin.
Gin termenung di kamar.
'Jika aku boleh memilih, aku akan memilih pergi bersama kalian. Tak ada gunanya aku hidup tanpa tujuan. Semuanya hampa,' batin Gin.
Gin keluar dari kamar menuju ruang makan. Orang-orang kini hanya sedikit yang berlalu lalang mengambil makan, karena jam sarapan sudah berlalu. Ruang makan yang cukup luas untuk panti asuhan yang sederhana. Panti asuhan yang ditinggali Gin dibagi menjadi dua bagian. Bagian kanan untuk putri, bagian kiri untuk putra. Gin langsung mengambil makanan tanpa bertegur sapa dengan yang lain, lalu duduk di kursi kosong. Tanpa ada seseorang yang menemaninya. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
Selesai makan, Gin langsung menggendong tasnya dan pergi berjalan menuju sekolahnya. Jarak sekolah dan panti asuhan tak jauh. Beberapa meter ke sekolahan dari panti. Hanya membutuhkan waktu lima belasan menit untuk sampai ke High School Lrance. Kebanyakan murid di High School Lrance dari Panti Asuhan Drelion.
*****
Leane, gadis yang sedari kecil tinggal di Panti Asuhan sederhana itu. Satu-satunya orang yang berani mendekati Gin walaupun sering diacuhkan Gin, bahkan menyuruhnya pergi. Sifat dingin Gin membuat orang-orang berpikir dua kali untuk mendekatinya.Flashback
Gin baru pulang dari Rumah Sakit setelah ia mengalami koma. Kini Gin tinggal di Panti Asuhan Drelion, di Desa Miłcowice tak jauh dari desanya dulu. Gin sedang duduk di taman panti sembari mengingat kejadian-kejadian sebelum tim sar menemukannya.
"Hai Gin," sapa seorang gadis berambut coklat pendek sembari duduk di samping Gin.
Gin hanya membuka mata tanpa menjawab sapaan gadis itu.
"Namaku Leane. Aku tahu namamu dari Bibi Wina." Lagi-lagi Gin diam dan menutup matanya, walaupun ia mendengarkan ocehan gadis bernama Leane itu.
"Aku dengar kau korban yang selamat gempa di Desa Zerlyon, walau kau koma." Gadis itu terus bercerita walaupun Gin tak meresponnya.
"Bibi Wina sudah menceritakan banyak tentangmu." Gin membuka matanya tanpa menatap Leane.
"Kalian tak mengerti apa perasaanku. Di saat usiaku ini, aku harus mengalami kenyataan pahit ini sendiri. Di tengah-tengah dari sekian banyaknya orang tanpa keluarga ataupun teman," ungkap Gin menatap lurus kedepan.
Leane sedikit terkejut mendengar perkataan Gin. Di usia yang terbilang anak-anak, ia berbicara seolah orang dewasa.
"Aku di sini. Kita ini teman," ucap Leane sembari tersenyum lebar.
"Pergilah!" Leane yang mendengar perkataan Gin bermaksudkan mengusirnya ditanggapi tenang olehnya.
"Baiklah," ucap Leane berdiri.
"Kita bertemu besok," lanjutnya berlari serta melambaikan tangan ke arah Gin.
Gin hanya menatap kepergiannya dalam diam, lalu kembali ke posisi sebelumnya.
Flashback off
Leane kini berjalan ke lorong menuju kamarnya untuk mengambil tas sekolahnya.
"Hmm... sepertinya, Gin sudah berangkat." Ia langsung menyambar tas gendongnya, berlari keluar kamarnya.
*****
"GIN!" Teriakan Leane saat melihat Gin tak jauh darinya. Gin mendengar teriakan itu, tapi ia tak menghentikan langkahnya. Leane berlari menyusul Gin sebelum jaraknya jauh.Leane kini sampai di samping kiri Gin dengan napas memburu karena berlari. Belum lagi ia harus menyamakan langkahnya dengan Gin.
"Kau tak mendengar teriakanku?" Tanya Leane setelah napasnya kembali normal.
Gin hanya melirik Leane sekilas tanpa membuka suara. Leane sebenarnya tahu apa respon Gin. Ia yang mendekati Gin sejak Gin tinggal di panti asuhan pun tak membuat sifat dingin Gin menghangat, walau hanya untuk dirinya. Leane tak peduli itu. Ia hanya ingin berteman dengan Gin. Itu saja.
Suasana canggung ini membuat Leane kembali membuka suara.
"Gin, kenapa kau masih dingin padaku?" Leane menatap Gin. Mereka berhenti. Mata elang Gin memandang tajam Leane. Orang-orang akan takut dengan tatapan Gin itu. Tapi Leane tidak setakut itu. Baginya Gin sama-sama manusia bukan? Ia juga makan nasi bukan daging mentah. Selama Leane tidak melakukan kesalahan, mengapa harus takut?
"Memangnya kau siapa?" Gin bertanya balik dengan nada dingin dan menusuk. Leane juga sadar ia bukan siapa-siapa Gin. Tapi, apa salahnya berteman?
"Kita kan teman," ucap Leane.
"Kau pikir aku menganggapmu begitu?" Gin menatap sinis Leane yang kini terdiam. Gin melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Berbeda dengan Leane yang menatap sayu punggung Gin.
'Aku tak masalah kau berkata dingin kepadaku. Setidaknya kau mau menjawabku, walau kau pernah bilang kau menjawabnya karena tidak mau aku terus bertanya,' batin Leane
Ia melanjutkan langkahnya. Sekolahnya hanya tinggal beberapa meter di depan.
::
::
::
::
::
::
::
::
TBC
Voment chapter
Thanks for reading
Salam hangat
Lafhiqo
KAMU SEDANG MEMBACA
Gin
RandomGin, nama seorang laki-laki yang dianugrahi dapat bicara dengan hewan.Hingga suatu kejadian terjadi bencana di kampung halamannya dan hanya menyisakan beberapa orang yang selamat termasuk dirinya.Orang tuanya meninggal dunia saat bencana tersebut da...