Sensasi ruas-ruas jarimu masih begitu pekat dalam genggaman, tapi wujudnya tak lagi ada. Tatkala kita berpayung titik-titik air langit, puncak tubuhmu mulai basah waktu demi waktu. Kau berlari, dari tempatmu berdiri sampai persis masuk ke dalam hati. Peluhmu bercucuran kian deras pertanda usahamu juga begitu keras. Aku merajuk, membuat lututmu menyentuh tanah dan menghadirkan mimik wajahmu yang sarat dengan kata memohon. Kau datang terlalu lama. Ribuan detik kuhabiskan di balik kaca rias, memperbaiki diri agar jadi yang paling kau puja. Tapi kupastikan, di tengah jalan sebelum kau sampai, kau berpaling.
Kau mendaratkan pengungkapan rasa yang singkat di atas keningku, tapi sempat kau tahan. Aku menutup mataku, mencoba merasakan sensasi ketulusan yang katanya kau beri seutuhnya padahal jelas kau bagi-bagi sesuai kadarnya. Entah bagianku lebih banyak, atau justru tak mendapat bagian. Lenganmu mendekat, menarikku kepada dekap yang katanya paling nyaman. Aku mengerjap sesaat, menepuk sedikit keras pipiku, mencubit lenganku, sekadar memastikan aku tidak dalam alam yang lain –mimpi. Sampai akhirnya kau lepaskan, ada sesak yang kurasakan.
Titik-titik air langit menderas, kita merapat. Berlari kecil, berteduh di bawah sepetak atap yang masih tak mampu menahan pelukan alam yang hangatnya merambah dalam-dalam. Kau sibakkan pembungkus kemejamu lebar-lebar, mencoba menghalau hujaman hujan yang kian membasahi helai-helai hitam yang semakin kuyup. Aku merapatkan lenganku pada tubuh, kau menyumbangkan satu lenganmu melalui punggung. Cukup membantu.
Sedetik kemudian, kau mencoba mengalahkan suara deras dan memulai percakapan. Aku menjawab sekenanya. Kau tak menyerah. Aku juga terus menjawab sekenanya. Namun, aku kian merasa kalah, pembicaraanmu menyita perhatianku. Saksama kudengarkan.