[64] Menantu Baru Nuripeh

5K 452 13
                                    

"Ketika hubungan kita hanya ada luka, tangis dan amarah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ketika hubungan kita hanya ada luka, tangis dan amarah. Bisakah kita bahagia?"

***

Sambil menyetir mobil, Dodit menoleh pada kursi penumpang di samping, pada Nadia Humaira yang terlihat sangat gelisah.

"Santai aja Nadia, kenapa kamu gugup banget setiap kali mau ketemu sama Ibu?" Dodit menenangkan.

Nadia menatap Dodit tidak percaya. "Gimana aku nggak gugup, kamu tau? Aku sama sekali nggak pernah meninggalkan kesan yang baik di depan mata Ibu!" Dia membuka kaca jendela mobil. Membiarkan angin masuk, walaupun AC sudah menyala.

Hari ini adalah lebaran pertama Nadia menjadi menantu Nuripeh, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Nuripeh, mengingat! Apa yang terjadi di antara Nadia dan Nuripeh hanyalah air mata, kemarahan dan juga kesedihan, hampir tidak ada memori indah yang pantas untuk dikenang.

Sekarang dalam perjalanan mereka dari Jakarta-Bandung, Nadia berusaha keras memikirkan topik bahasan yang bagus, agar dia bisa berbicara dengan Nuripeh. Apa perlu dia membahas tentang kompor yang hampir meledak kemarin? Waktu dia mencoba membuat opor ayam untuk sajian Hari Raya?

"Ibu pasti nggak bakal ketawa, malah ngatain aku nggak becus!" Nadia lesu, membenturkan kepalanya di sisi jendela mobil.

Tingkah Nadia yang aneh membuat Dirga tertawa.

"Mamah lucu, Mamah lucu," kikik Dirga.

Nadia merengut, berbalik. Menatap Dirga. "Kamu yah! Nggak ngerti perasaan Mamah. Kamu mah enak, Nenek naruh hati sama kamu. Tapi sama Mamah enggak." Dia terlihat sangat iri pada putranya sendiri karena Nuripeh tidak segan menganggap Dirga cucu.

"Kenapa salahin Dirga?" Dodit menyela. "Sudahlah! Bersikap sewajarnya aja. Ibu orangnya baik kok. Dia nggak semenakutkan yang kamu pikirkan." Dia membesarkan hati Nadia.

"Karena itulah aku pengin banget kasih Dirga adek. Dipercepat datang adeknya, supaya Ibu luluh hatinya sama aku." Nadia menyalahkan Dodit yang selalu mengulur program kehamilannya. "Jadi dia bisa menerima aku bagian dari keluarga kamu."

"Bahkan sebelum adek lahir, kamu sudah diterima!" bantah Dodit. "Nyatanya, dia nggak menentang pernikahan kita, kan? Dia nggak ngelarang aku menikahi kamu, kan?"

Nadia mendengkus. Dia menatap keluar jendela lagi. Di mana pepohonan berlalu dengan cepat dalam pandangan. "Emang benar! Tapi apa kamu lupa? Waktu sungkeman! Waktu aku mau cium tangan Ibu, dia malah menarik tangannya! Seperti nggak sudi dicium tangannya sama aku," ucapnya dengan sedih.

Jodoh Terbaik Nadia [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang