46 - Ungkapan

787 67 7
                                    

"Emang Allah kalau lagi nguji manusia tuh nggak jauh-jauh dari orang orang yang disayang. Biar kita bisa lebih menghargai arti kebersamaan dan mengerti arti kehilangan."

💃💃💃

Ruang tamu Alvin kini dipenuhi oleh Ken, Kania, Ricky, Naura dan Pak Abdi. Orang-orang terdekat Alvin di cerita ini sebelum kepergiannya. Ken dari tadi hanya diam. Mencoba merasakan euforia disaat dirinya dan Alvin sedang bermain PS di ruangan ini. Ken memejamkan matanya dan tersenyum kecil. Seolah, ia dan Alvin masih sama-sama duduk dengan berbagai umpatan saat bermain PS.

Tidak ada yang membuka suara. Semuanya menunggu kehadiran Oma Alvin yang tengah sibuk mengurusi segala keperluan untuk tahlilan nanti malam.

"Hm, Kania."

Kania menoleh. Menatap Pak Abdi dengan matanya yang memerah. "Iya Pak."

"Sudah sejak lama, kamu tau penyakit Alvin?"

Kania menggeleng. Sekuat mungkin menahan air matanya kala mengingat kebersamaannya dengan Alvin terakhir kali. "Nggak Pak, Kak Alvin baru ngasih tau Kania pas pulang acara makan-makan di restoran kemarin."

Pak Abdi manggut-manggut mengerti. Pandangannya lalu beralih pada Keenan. Namun saat melihat Ken yang tengah memejamkan matanya, ia mengurungkan niat untuk bertanya. Mencoba memahami apa yang murid nya itu tengah rasakan kala kehilangan sahabat yang pak Abdi sendiri mengetahui bahwa dua orang itu tidak dapat dipisahkan. Ini memang cukup aneh baginya karna Ken seolah kehilangan jiwa nya. Tapi pak Abdi memang paham, jika Ken benar-benar merasa kehilangan akan kepergian Alvin yang mendadak ini.

Tak lama Oma hadir. Duduk dengan senyum ramah pada orang-orang terdekat cucunya.

"Maafkan cucu saya yang merahasiakan penyakit ini dari kalian semua." Ujarnya membuka suara.

"Iya buk tidak apa-apa, ini semua pilihan Alvin," Pak Abdi lalu agak memajukan diri. Ingin menanyakan apa yang dari tadi bersarang di kepalanya. "Maaf Buk, kalau boleh saya tahu, Alvin sudah berapa lama mengidap penyakit ini? Maksud saya, bahkan beberapa hari ini kami semua selalu bersama. Namun Alvin sama sekali tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya tengah sakit parah."

Oma tersenyum manis. Mencoba menahan bulir-bulir hangat kala mengingat pilihan dari cucu nya itu. "Alvin pernah bilang sama saya, setiap penyakitnya menunjukkan gejala, dia selalu menghindar dari keramaian. Kabur ketempat sepi agar orang-orang tidak menduga jika fisiknya tengah lemah."

"Sejak kapan Alvin tau jika dirinya tengah sakit, Buk?"

"Saat pulang dari olimpiade matematika, Alvin batuk darah. Akhirnya saya bawa dia ke dokter dan dapat vonis itu," Oma menarik nafas dalam-dalam. Namun tak dapat disangkal. Air matanya kembali luruh. "Awalnya saya tau dia murung. Tapi dia selalu meyakinkan saya jika memang Allah tetap baik memberinya kesempatan untuk memperbaiki sifat buruknya dulu. Kalian tidak tau, jika dibalik sikap dingin dan tidak tersentuhnya, dia tetap pribadi yang hangat untuk saya. Alvin tidak pernah berubah jika dia ada bersama saya. Dia tidak mau saya bersedih karena merasa kehilangan sosok asli nya."

"Dan juga, Alvin menolak untuk berobat. Hingga kanker paru-paru itu mengalami metastasis yang cukup cepat hingga menyebar ke hati dan tulangnya. Alvin takut. Namun dia selalu menyembunyikan ketakutannya itu dengan bilang bahwa dia ingin bertemu orang tuanya. Dan saya tidak bisa melarang karna Alvin selalu bilang jika ini lah yang terbaik untuknya."

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang