"Inilah yang tidak saya sukai dari bocah-bocah SMA seperti kalian, selalu ikut campur urusan orang dewasa dan sok pintar." Pak Hendra masuk ke ruangan dan mengunci pintu di belakangnya. Aku dan Yohan berjalan mundur hingga ke pojok ruangan. Pak Hendra yang sekarang tampak menyeramkan dan berbeda dari biasanya.
"Dan apa akibat dari kalian sok pintar?" Pak Hendra tertawa. "Kalian kira kunci lab kimia yang kalian temukan tadi kebetulan ada di situ? Untung Ms. Wahyu memberitahu saya, saya paling tidak suka murid-murid yang nakal."
"Apa maumu!? Dimana Theia?" Ujar Yohan. Dia maju ke depanku, entah untuk melindungiku atau menantang pak Hendra.
"Ah, pacarmu? Hmm, saya mulai dari mana ya? Tubuhnya menunjukkan reaksi lebih lambat daripada yang lain meskipun dia sudah memakan makanan yang mengandung racun. Saya hanya ingin melakukan sedikit eksperimen padanya, tapi dia menolak. Jadi saya terpaksa membuatnya diam."
"Kau membunuhnya?"
Pak Hendra tertawa lagi. "Andaikan saja dia lebih penurut."
"Sebenarnya apa tujuanmu melakukan semua ini!?"
"Entahlah, bukankah menyenangkan melihat kota yang sibuk ini tenang untuk beberapa saat? Kami punya komunitas besar, dan tujuan kami adalah membuat kota ini kosong. Kami menciptakan formula-formula baru, dan kalianlah bahan eksperimennya. Anggap saja kalian beruntung bisa bertahan hidup sampai sekarang, meskipun pada akhirnya saya akan membereskan kalian juga."
"Dasar orang gila!" Yohan kehilangan kesabarannya.
"Terserah kau mau memanggil saya apa. Sekarang, karena saya berbaik hati, saya tidak akan langsung membunuh kalian. Meskipun saya tidak tahu bagaimana keadaan teman-teman kalian di bawah, karena Ms. Wahyu dan pak Eric bisa jadi tidak sabaran, tapi saya akan membiarkan kalian hidup sedikit lebih lama. Bagaimana kalau kita main petak umpet? Saya akan hitung sampai sepuluh. Lebih baik kalian cepat bersembunyi dan jangan sampai tertangkap oleh saya. Semoga beruntung."
Yohan lalu menggandeng tanganku dan menyeretku keluar jauh-jauh dari lab kimia. Kami mendengar pak Hendra meneriakkan "Permainannya dimulai dari sekarang!" dan suaranya menggema di lorong.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanyaku panik pada Yohan.
"Lari, kita cari tempat untuk sembunyi. Kita terjebak di sini, tidak ada pilihan lain."
"10.." Tiba-tiba terdengar suara pak Hendra dari sentral. Kukira listrik masih padam? Kenapa sentral masih berfungsi?
"9.."
"Hitungannya sudah mulai, lari!" Ujar Yohan lagi dan kami berlari mencari tempat persembunyian.
"8.."
Kami masuk ke ruang kelas terdekat dan membuka jendela ruangan, Yohan memanjat keluar terlebih dulu, lalu dia membantuku.
"7.."
Kami lalu mencari tempat persembunyian di sekitar halaman belakang sekolah, dan kami memutuskan bersembunyi di gudang.
"6.."
Gudang ini begitu gelap dan pengap. Aku merasa tersandung sesuatu, dan ketika aku melihat apa yang menyandungku, aku berteriak dengan horor. Yohan buru-buru menutup mulutku.
"5.."
Rupanya jasad para korban yang meninggal disimpan di sini. Mereka bahkan tidak menyimpannya dengan layak, dan hanya asal tumpuk. Aku bisa mengenali sebagian dari mereka. Winsen, bu Lintang, Theia. Astaga.. tidak pernah tebayang sekalipun olehku, harus terjebak di sekolah bersama psikopat yang berusaha membunuhku dan bersembunyi di tempat penuh mayat seperti ini.
"4.."
Kami menahan bau dari jasad para korban yang sudah mulai membusuk. Ruangan sempit dan gelap, ditambah bau busuk, rasanya aku ingin muntah. Yohan mencari-cari benda yang dapat dijadikan sebagai alat perlindungan diri. Dia mengumpulkan beberapa kayu dan tongkat olahraga yang sudah tidak terpakai, entah berguna atau tidak.
"3.."
Hujan turun dengan derasnya dan aku tidak tahu ini situasi yang menguntungkan atau merugikan. Di satu sisi, akan lebih sulit bagi pak Hendra untuk mencari kami karena suara hujan yang deras. Di sisi lain, kami juga jadi tidak bisa mendengar jika ada langkah kaki menuju ke arah kami.
"2.."
"Aku tidak mengerti, kenapa dia juga membunuh bu Lintang? Mereka kan bersekongkol?" Tanyaku pada Yohan.
"L melihat mereka bertengkar, mungkin berselisih pendapat."
"Aku takut.."
Yohan memegang tanganku, dan kami berpegangan tangan dengan erat. Bisa kurasakan tanganku mulai berkeringat karena tegang, tapi Yohan mempererat genggamannya di tanganku. Apa kita bisa selamat? Hanya tinggal tunggu waktu saja sampai pak Hendra menemukan kami dan saat itu, kurasa hidupku akan berakhir dengan mengenaskan seperti tumpukan mayat di gudang ini.
Kami tidak lagi bisa mendengar suara pak Hendra dari sentral karena suara hujan yang semakin lama semakin deras. Meskipun begitu, kami tahu hitungannya sudah selesai. Aku dan Yohan pun saling diam dalam keheningan sambil berusaha mendengarkan suara dari luar. Waktu demi waktu berjalan dan keteganganku semakin bertambah. Aku hanya bisa berdoa dalam hati agar pak Hendra tidak bisa menemukan kami. Aku jadi teringat July, Elsa, dan L yang masih terjebak di kantin. Bagaimana nasib mereka? Apa mereka selamat?
Yohan tampak berusaha menghidupkan ponselnya.
"Sial, bateraiku tinggal sedikit dan tidak ada signal. Bagaimana dengan ponselmu?"
Aku menggeleng. Benda itu sudah lama mati.
Klontangg!
Kami mendengar suara benda jatuh dari luar. Aku kaget dan menatap Yohan dengan ketakutan. "Suara apa itu? Apa ada orang di depan?"
Yohan menggeleng. Dia mendekat ke arahku dan memeluk tubuhku yang gemetaran. "Arya, jika kita tidak selamat dari tempat ini, aku ingin kau tahu satu hal. Aku tidak bermaksud selalu menyudutkanmu. Aku juga tidak mau mencurigaimu, aku hanya ketakutan dan tidak bisa mempercayai siapapun. Walau begitu bagaimanapun juga, aku tetap lebih mempercayaimu dibanding yang lain. Aku tidak pernah membencimu."
"Jangan bilang begitu! Kita.. pasti bisa keluar dari sini." Pelukan Yohan bertambah erat usai aku berkata begitu. Aku tidak mau mati sia-sia, pasti ada cara.. pasti.. atau setidaknya biarkan ada keajaiban..
Waktu terasa berjalan dengan sangat lambat. Kami baru bersembunyi sekitar lima belas menit, tapi rasanya sudah seperti berjam-jam. Yohan melepaskan pelukannya dan berkata ingin mengintip untuk melihat situasi di luar.
"Kau sudah gila? Kita bisa ketahuan!"
"Lebih baik kita melakukan sesuatu daripada tidak sama sekali. Jika ada celah, kita bisa kabur."
"Kabur ke mana? Semua pintu dan gerbang masuk dikunci!"
Yohan tidak mendengarkanku dan membuka pintu sedikit untuk mengintip, tapi tiba-tiba pintu itu dibuka dengan kasar dari luar.
"Ketahuan." Ujar pak Hendra yang sudah berdiri di depan kami dengan pisau di tangannya. Hujan deras menerpa tubuhnya dan aku berani bersumpah, ini sudah persis dengan adegan film horor. Mendadak tubuhku kaku, dan aku sudah siap dengan apapun yang akan terjadi.
"Apa keuntungan yang kau dapat dari semua ini!? Kenapa kau setega ini pada kami!?" Seru Yohan dengan frustasi.
"Keuntungan ya? Saya tidak memikirkannya. Kami hanya ingin bersenang-senang." Pak Yohan tertawa. Aku benci suara tawanya.
"Sekarang, siapa yang siap mati duluan?"
Pak Hendra mendekat ke arah kami dan Yohan refleks melempar kayu-kayu yang dikumpulkannya ke arah pria itu, namun dia berhasil menghindar. Aku menutup mata dengan pasrah dan detik berikutnya aku mendengar suara teriakan Yohan. Bersamaan dengan itu, aku juga mendengar suara teriakan pak Hendra dan suara benda jatuh. Saat aku membuka mata, L sudah berdiri di depan kami.
"Ayo, keluar dari sini."
+++
KAMU SEDANG MEMBACA
Suspicious Nights
Mystery / ThrillerKejadian menyeramkan kerap kali terjadi di sekolah Arya, dan entah bagaimana Arya terperangkap di dalam sekolah bersama murid-murid lain yang tidak dia kenal. Satu hal yang pasti, Arya tidak boleh percaya pada siapapun. Mereka semua mencurigakan!